Oleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)
Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.
Tafsir Ayat Ketiga: Memahami Rahmat Allah
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Fâtiẖah: 3)
Ustadz Muhammad ‘Abduh mengatakan bahwa makna kedua kata ini telah dijelaskan di atas (dalam penafsiran basmalah). Penjelasan ini sekadar pengulangan.
Rahasia di balik kedua kata ini cukup jelas bahwa pemeliharaan Allah terhadap seluruh alam bukan karena Allah memerlukan mereka untuk mendatangkan manfaat atau menghindari bahaya. Namun, hal itu semata karena kasih sayang dan kebaikan-Nya yang diberikan merata kepada seluruh alam.
Ada pula rahasia lain. Dalam kata rabb terkandung makna ‘menguasai’ dan ‘memaksa’. Dengan menyebutkan sifat kasih sayang dan kebaikan-Nya, Allah menginginkan agar manusia menggabungkan dua keyakinan sekaligus: keyakinan terhadap kegagahan Allah dan keyakinan terhadap keindahan-Nya. Untuk itu, Allah menyebutkan kata al-raẖmân yang berarti Zat yang mencurahkan berbagai nikmat dengan sangat lapang dan terus memperbaruinya tanpa batas, dan menyebutkan kata al-raẖîm yang berarti bahwa sifat kasih sayang (raẖmah) itu tetap ada dalam Zat-Nya. Ia tidak akan hilang selama-lamanya. Seolah-olah, saat Allah ingin memperlihatkan kasih sayang-Nya terhadap semua hamba, Dia beritahukan bahwa pemeliharaannya (rubûbiyyah) adalah pemeliharaan yang mencerminkan kasih sayang dan kebaikan. Hal tersebut agar mereka tahu bahwa sifat kasih sayang inilah yang menjadi pangkal sifat-sifat-Nya yang lain. Selain itu, agar mereka bergantung kepada-Nya dan berusaha mendapatkan ridha-Nya dengan tenang dan damai.
Kasih sayang Allah yang diberikan secara umum untuk seluruh alam tidak harus meniadakan hukuman di dunia dan di akhirat bagi orang yang melanggar aturan, sebagaimana yang telah ditetapkan. Sebab, sekali pun (hukuman itu) secara fisik hal itu dapat dikategorikan sebagai pemaksaan, secara hakiki sebenarnya masih bagian dari kasih sayang. Hukuman bisa juga diartikan “pendidikan” dan pencegahan bagi manusia agar tidak terjerumus pada perbuatan yang keluar dari aturan syariat. Pelanggaran terhadap syariat akan menghasilkan petaka dan bencana, dan ketaatan pada syariat akan membuahkan kebahagiaan dan kenikmatan. Ayah yang baik pasti akan mendidik anaknya dengan memberikan motivasi untuk melakukan perbuatan baik. Ia pun akan memperlakukannya dengan baik ketika anaknya mau berbuat baik. Namun, kadang-kadang ia perlu mengancam dan menghukum anaknya secara fisik apabila situasinya mendukung hal itu.
Demikianlah, penjelasan Ustadz Muhammad Abduh. Menurut saya, apabila basmalah tidak dianggap sebagai salah satu ayat dalam Surah Al-Fatihah, tidak perlu ada penjelasan tentang pengulangan kata al-raẖmân dan al-raẖîm. Namun, apabila dianggap sebagai salah satu ayat dalam Surah Al-Fatihah, perlu ada penjelasan dan penegasan.
Maksud penetapan basmalah sebagai salah satu ayat dalam Surah Al-Fatihah dan surah yang lain –seperti yang telah dijelaskan di atas- adalah untuk menunjukkan bahwa surah yang diajarkan dan disampaikan oleh Nabi saw. kepada manusia berasal dari Allah. Ia diturunkan dengan penuh kasih sayang agar makhluk-Nya mendapatkan petunjuk. Di dalamnya sama sekali tidak ada satu pun rekaan dari Nabi. Nabi saw. sekadar menyampaikan surah itu atas perintah Allah swt. Untuk itu, basmalah dijadikan pendahuluan seluruh surah, kecuali pada Surah Al-Bara’ah (At-Taubah) yang berisi tentang peperangan dan penelanjangan kemunafikan orang-orang munafik. Sebagian besar isi surah ini diturunkan sebagai ancaman kepada orang-orang yang tidak mendapatkan kasih sayang.
Apabila maksud penetapan basmalah di awal Surah Al-Fatihah untuk memperlihatkan bahwa surah ini diturunkan sebagai wujud kasih sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya, isi surahnya pun mesti sesuai dengan maksud itu. Ia menjelaskan kasih sayang Allah yang disandingkan dengan rubûbiyyah (pemeliharaan)-Nya terhadap seluruh makhluk dan kekuasaan-Nya dalam membalas amal seluruh makhluk. Dengan nama-nama dan sifat-sifat ini, Dia berhak mendapatkan pujian dari hamba-hamba-Nya, sebagaimana secara esensial Dia juga berhak mendapatkan-Nya. Sehubungan dengan itu, kata al-ẖamdu (pujian) dilekatkan pada nama Zat (Allah) yang memiliki sifat-sifat tersebut.
Jadi, kata al-raẖmân dan al-raẖîm yang menyertai basmalah di setiap surah menunjukkan bahwa surah tersebut turun disertai kasih sayang dan karunia Allah. Apabila kata-kata ini disebutkan kembali di awal atau di tengah-tengah surah, dan bukan pengulangan, sekali pun disertakan pada kata tanzîl (penurunan wahyu), seperti pada awal Surah Fushshilat (41):
حٰمۤ , تَنْزِيْلٌ مِّنَ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Haa miim, Kitab ini diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lag Maha Penyayang,” maka ia memiliki makna umum untuk seluruh wahyu dalam surah itu. Sedangkan, penyebutan kata-kata tersebut di awal surah memiliki makna khusus yang dijelaskan oleh surah itu. Makna demikian dipegang oleh ulama yang berpendapat bahwa basmalah adalah ayat mandiri yang berfungsi sebagai pemisah antarsurah. Sementara, ulama yang berpendapat bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dalam setiap surah menetapkan hal-hal berikut, antara lain: basmalah mesti dibaca saat mulai membaca surah bersangkutan; apabila ayat itu berisi sumpah (Allah), orang yang membacanya tidak akan terbebas dari sumpah itu kecuali dengan membaca basmalah; dan shalat tidak sah apabila basmalah tidak dibaca di awal Surah Al-Fatihah.
Sementara itu, kewajiban seorang hamba terhadap pemeliharaan (rubûbiyyah) Allah adalah memuji dan bersyukur kepada-Nya. Caranya adalah memanfaatkan segala nikmat-Nya –yang dengan nikmat itu kekuatan fisik dan nalar manusia terpelihara- untuk memperbaiki kualitas pendidikan dirinya dan orang-orang harus ia didik, yaitu keluarga dan murid-muridnya. Nikmat itu juga mesti digunakan untuk mengarahkan pendidikan spiritual dan sosial dirinya dan orang-orang yang harus ia didik dengan petunjuk agama.
Kewajiban lain bagi sang hamba terhadap rubûbiyyah Allah adalah tidak menyesatkan diri seperti Fir’aun yang mengaku dirinya sebagai tuhan dan Fir’aun-Fir’aun lain yang menempatkan diri mereka sebagai pembuat aturan untuk manusia. Sehingga, mereka berani membuat-buat peribadatan yang sama sekali tidak pernah diturunkan oleh Allah. Bahkan, mereka berani mengatakan ini halal dan itu haram atas kehendak sendiri atau kehendak berhala mereka. Cara demikian telah menempatkan mereka sebagai sekutu bagi Allah dalam rubûbiyyah al-tasyrî’ (pemeliharaan syariat). Allah berfirman,
اَمْ لَهُمْ شُرَكٰۤؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللّٰهُ
“Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (QS Al-Syuraa, 42: 21)
Nabi saw. menafsirkan ayat ini dengan bagaimana ahli kitab menjadikan kaum cendekia dan rahib mereka sebagai “tuhan-tuhan” yang membuat syariat atas hawa nafsu mereka sendiri.
Adapun kewajiban hamba terhadap kasih sayang Allah adalah meneladani sifat-Nya. Ia mesti mengasihi setiap makhluk Allah yang berhak dikasihi sekalipun hewan yang tidak berakal. Ia pun mesti mengingat bahwa dengan kasih sayang, ia berhak mendapatkan rahmat Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda,
“Allah hanya mengasihi hamba-hamba-Nya yang pengasih.” (HR Al-Thabrani dari Jarir dengan sanad yang sahih)
Sabdanya yang lain,
الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَانُ، اِرْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Para pengasih akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah oleh kalian makhluk yang ada di bumi maka yang ada di langit akan mengasihi kalian.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Al-Turmudzi, dan Al-Hakim dari Ibn Umar)
Diriwayatkan pula secara musalsal (berantai) dari jalur Abi Al-Mahasin Muhammad Al-Qawaqiji Al-Tharabalisi Al-Syami, Nabi saw. bersabda,
“Barang siapa berbuat kasih sayang, sampai saat menyembelih burung gereja sekalipun, Allah pasti akan mengasihinya pada Hari Kiamat nanti” (HR Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dan Al-Thabrani dari Abu Umamah. Dalam Al-Jami’ Al-Shaghir, Al-Suyuthi menyatakan kesahihannya).
Ada pula hadits yang menganjurkan untuk menyayangi binatang tanpa menyebutkan secara eksplisit kata “kasih sayang” (raẖmah), seperti hadits:
“Setiap kali menyakiti (binatang), berkuranglah pahala.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, disebutkan,
“Dalam setiap (binatang) yang merasakan kesakitan, terdapat pengurang pahala.” (HR Imam Ahmad dan yang lain)
Dalam disiplin ilmu bahasa, kata al-raẖmân khusus untuk Allah Swt. seperti kata “Allah” (lafzh al-jalâlah). Para ahli bahasa mengemukakan, “Tidak pernah terdengar orang Arab menggunakan kata allâh untuk selain Allah Swt. Demikian pula kata al-raẖmân yang digunakan secara khusus. Kata ini tidak pernah digunakan untuk selain Allah Swt kecuali dalam syair yang dibuat oleh orang-orang yang terpengaruh oleh Musailamah Al-Kadzdzab, seperti syair berikut.
Dan engkau, wahai hujan
Selalu saja amat pengasih (raẖmân)
Ungkapan ini dianggap sebagai penyimpangan dari kebiasaan orang Arab dalam bertutur kata. Sementara, kata rabb sering juga digunakan untuk manusia. Contohnya rabb al-dâr (pengurus rumah) dan rabb al-an’âm (pemelihara hewan) –tetapi bukan memelihara dalam arti yang mutlak.
Pada saat terjadi penyerangan Ka’bah oleh pasukan Gajah Abrahah, Abd Al-Muththalib berkata, “Ammâ al-ibil fa ana rabbuhâ wa ammâ al-bait fa inna lahû rabban yaẖmîhi” (Unta ini aku yang memeliharanya, sementara rumah itu -Ka’bah- ada Pemeliharanya).
Ketika menceritakan Nabi Yusuf yang berkata kepada tuannya, penguasa Mesir, Allah Swt berfirman,
اِنَّه رَبِّيْ اَحْسَنَ مَثْوَايَ
“Sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” (QS Yusuf: 23)
Sebagian ulama berpendapat bahwa penggunaan kata rabbi untuk memanggil majikan dilarang dalam Islam. Dalil atas larangan ini terdapat dalam hadits yang melarang seorang hamba sahaya yang memanggil majikannya dengan sebutan rabbî. Jadi, berdasarkan nash agama, tidak boleh menggunakan kata-kata seperti al-rabb, rabb al-nâs, rabb al-makhlûqât, rabb al-‘âlamîn, dan semisalnya selain untuk Allah swt. *
SUMBER: Diambil dari buku TAFSIR AL-FATIHAH, Menemukan Hakikat Ibadah; Muhammad Rasyid Ridha; Penerjemah: Tiar Anwar Bachtiar; Penerbit: Al-Bayan (2005). Terjemahan dari karya asli beliau: Tafsir Al-Fatihah wa Sittu Suwar min Khawatim Al-Qur’an, terbitan Al-Zahra li al-I’lam al-‘Arabi, Kairo.
BACA JUGA:
TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat ke-2: Makna Hamdalah
TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat ke-1: Makna Bismillah
TAFSIR AL-FATIHAH, RASYID RIDHA – Tinjauan Umum
3 thoughts on “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 3”