Nishfu Sya’ban Menurut Syekh Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha

 

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib al-Hamdani (1903-1983)
Ahli fiqih Al-Irsyad, murid Syekh Ahmad Surkati al-Anshari

Malam Nishfu Sya’ban Menurut Syekh Muhammad Abduh

Al-Imam Muhammad Abduh berkata, “Apa yang dikatakan kebanyakan orang bahwa yang dimaksud dengan Lailah Mubarakah adalah malam Nishfu Sya’ban, di mana pada malam itu dibagi-bagikan rezeki dan umur, adalah suatu kelancangan mulut tentang urusan yang ghaib.

Tak ada dalil yang tegas dan tandas tentang itu. Dan kita tidak boleh meng-i’tikadkan sesuatu (yang ghaib) tanpa ada keterangan yang mutawatir dari Rasulullah saw. yang maksum. 

Sebab, apa yang seperti tersebut di atas (tentang pembagian rezeki dan umur serta lainnya) tidaklah benar, karena hadits-hadits yang berkenaan dengan itu sangat kacau dan lemah para rawinya dan banyak kebohongannya. Karenanya, tidak boleh dipergunakan untuk urusan akidah dan keimanan.”

Nishfu Sya’ban Menurut Al-Allamah As-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha 

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam Majalah Al-Manaar, jilid VI, halaman 969 menulis, “Doa Sya’ban yang terkenal itu, tidak diizinkan Allah.” (lihat uraian tentang Bid’ah Sya’ban dalam Al Manaar, jilid III)

Ia menjelaskan pula di Majalah Al-Manar, jilid XIV, halaman 250-256, “Diriwayatkan dalam kitab-kitab Al-Maudlu’at wal Wahiyat Wadli’af, bahwa hadits-hadits yang tidak dapat digunakan sebagai hujjah untuk melakukan ibadah banyak sekali, di antaranya:  shalat malam Raghaib di bulan Rajab dan shalat malam Nishfu Sya’ban.” Akan tetapi, syiar Islam yang tak berdasar dan terkenal  ini, yang tidak disebut dalam hadits, telah lama diamalkan oleh umat. Maka, sebagian kalangan ahli fikih dan tasawuf banyak yang tertipu dengan shalat Rajab dan Sya’ban ini, seperti Abi Thalib al-Makky dan Abi Hamid al-Ghazali (Imam Ghazali) yang memiliki kedudukan tinggi. Itu disebabkan oleh kelemahan mereka di dalam ilmu hadits. Para ahli hadits dan fuqaha juga telah menjelaskan kekhilafan dan kekeliruan kedua tokoh ini, seperti Imam Nawawi yang merupakan ahli hadits besar dan sokoguru pengikut Imam Syafi’i.

Dan Imam al-Hafizh Al-Iraqi (Zain al-Din ‘Abd al-Rahim al-‘Iraqi), telah mentarjih hadits-hadits dalam kitab Ihya’ Ulumuddin-nya Imam al-Ghazali, mana yang shahih dan mana yang tidak. Beliau menerangkan dalam kitabnya Al-Fawaid al-Madjmu’ah, “Ada sementara ahli fiqih dan tafsir yang terperdaya dengan keterangan Al-Ghazali bahwa telah diriwayatkan bermacam hadits tentang ini (shalat Nishfu Sya’ban), sebab semua itu adalah batil dan palsu.” Al-Iraqi menyimpulkan bahwa syiar-syiar yang dilakukan pada malam Nishfu Sya’ban tidak punya dasar yang benar dalam Kitab Allah ataupun As-Sunnah.

Sayyid Murtadla az-Zabidi, seorang pensyarah Ihya Ulumuddin, telah berkata, “Para ahli hadits telah menerangkan dalam kitab Al-Maudlu’at bahwa semua khabar tentang shalat Sya’ban dan mendirikannya adalah termasuk sesuatu yang orang tidak patut mengamalkannya walaupun dengan niat yang baik.”

Adapun riwayat-riwayat yang diterangkan oleh Ibnu Aqil (Usman bin Aqil bin Yahya) tidaklah benar dan tidak sah. Dan itu merupakan kebodohannya dalam soal hadits. Lagipula, ia tidak menukil dari kitab ulama-ulama terpandang, dan tidak menunjukkan ke-masyru’-annya.

Ibadat-ibadat pada malam itu (Nishfu Sja’ban) dan malam Raghaib telah terjadi sejak waktu lama dan diterima oleh banyak ahli tasawuf, tetapi disangkal oleh para ahli hadits dan ahli fiqih dikarenakan tidak kuat dasarnya. Sedangkan Allah Ta’ala telah melengkapkan urusan agama, dan barang siapa berani melebihi atau menambahnya, berarti sama dengan orang yang menguranginya, dan perbuatan kedua-duanya itu adalah bid‘ah.”

Dalam Al-Manar, jilid 24, halaman 424, Rasyid Ridha juga menjelaskan, “Para pemalsu hadits telah banjak membuat hadits yang menerangkan tentang keistimewaan malam Nishfu Sja’ban, dan keutamaan beribadah pada malan harinya dan berpuasa pada siang harinya. Perbuatan itu memberi jalan bagi raja-raja dan penguasa-penguasa ahli bid’ah untuk mengadakan upacara keagamaan. Dan selanjutnya beliau menerangkan, ”Telah kami terangkan dalam Al-Manar jilid III tentang bid’ahnja malam itu, dan kemunkarannja yang berjumlah 16 bid’ah, di antaranya do’a yang terkenal itu.”

Syekh Rasyid Ridha juga berkata, “Kemudian kami ditanya: Adakah diriwayatkan tentang Nishfu Sja’ban dengan hadits-hadits yang benar, yang dapat dijadlikan pegangan untuk mengamalkannya? Maka kami jawab dalam jilid VI Al-Manar dengan jawaban yang ringkas, yang tidak lebih dari dua halaman. Di antaranya kami terangkan, bahwa sebaik-baik hadits yang menerangkan tentang ini ialah hadits Ibnu Majah yang katanya bersumber dari Ali bin Abi Thalib ra., yaitu: ‘Jika telah sampai malam pertengahan bulan sya’ban (nisfu Sya’ban), shalatlah kalian pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena Allah turun pada saat matahari terbenam ke langit dunia, dan Dia berkata: Ketahuilah, siapa yang meminta ampun kepada-Ku akan Aku ampuni. Ketahuilah, siapa yang meminta rezeki kepada-Ku akan Aku berikan rezeki. Ketahuilah, siapa yang terkena musibah akan Aku hilangkan (musibahnya). Ketahuilah, dan seterusnya (turunnya Allah) sampai terbit fajar.’

Namun demikian, seperti dijelaskan oleh ahli hadits Abdurrazaq dalam sebuah karangannya, para ahli hadits berkata bahwa hadits tersebut lemah. Namun menurut kami, sebenarnya hadits tersebut adalah maudlu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat perawi Abu Bakar Abdullah bin Muhammad yang terkenal dengan nama lbnu Abi Busra yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Mu’in bahwa dia pemalsu hadits.”

Imam Turmuzi dan Ibnu Majah menyebutkan tentang turunnya Allah pada malam tersebut ada hadits tersendiri yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan hadits Abi Musa yang bunyinya, “Tuhan mengetahui pada malam Nishfu Sya’ban dan memberi ampun kepada semua manusia kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”

Hadits ini salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Walid bin Muslim al-Mudallis (pengabur hadits), dari riwayat Ibnu Lahi’ah, dan dia lemah.

Inilah yang hendak kami nukilkan untuk pembaca dari fatwa Rasyid Ridha dalam Majalah Al-Manar, jilid 3, 6, 14 dan 24. Bagi yang belum puas silahkan membaca jllid-jilid tersebut di atas.

  • Dinukil dari buku: “Sorotan terhadap Kisah Maulid, Nisfu Sya’ban, dan Manakib Syekh AK Jailani” oleh Ustadz Said Thalib Al-Hamdani; Penerbit: H.S.A AL-HAMDANY, Pekalongan, Tahun 1971.

[1] Tulisan tentang Ustadz Said Thalib al-Hamdani dapat dibaca di: https://al-irsyad.com/said-thalib-alhamdani-ahli-fiqih-al-irsyad/

Petunjuk Rasulullah tentang Shalat Id

HSA ALHAMDANIOleh: Ustadz Said Thalib al-Hamdani (1903-1983)

Ulama kelahiran Kuala Kapuas (Kalteng) yang kemudian pindah dan meninggal di Pekalongan ini adalah salah satu murid takhasus Syekh Ahmad Surkati. Beliau salah satu ahli fikih besar Al-Irsyad yang lama menjadi ketua Majelis Ifta’ wa Tarjih DPP Al-Irsyad Al-Islamiyyah sampai akhir hayatnya, dan penulis puluhan buku tentang fiqih.

Di antara petunjuk yang diberikan Rasulullah saw. dalam mengerjakan shalat Idul Fitri ialah bahwa sebelum berangkat ke tempat shalat (mushalla) beliau memakan kurma dengan bilangan yang ganjil, sedang pada waktu shalat Idul Adha beliau tidak makan apapun sampai pulang ke rumah.

Rasulullah mengakhirkan shalat Idul Fitri untuk memberi kesempatan yang longgar dalam memberikan zakat fitrah, dan beliau menyegerakan shalat Iedul Adha untuk melapangkan waktu menyembelih kurban.

BACA SELENGKAPNYA “Petunjuk Rasulullah tentang Shalat Id”

Hukum Shalat Witir

HSA ALHAMDANIOleh: Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983)

Ustadz Said Thalib Al-Hamdani adalah ulama kelahiran Kuala Kapuas (Kalteng) yang kemudian pindah dan meninggal di Pekalongan ini adalah salah satu murid takhasus Syekh Ahmad Surkati. Beliau salah satu ahli fikih besar Al-Irsyad yang lama menjadi ketua Majelis Ifta’ wa Tarjih DPP Al-Irsyad Al-Islamiyyah sampai akhir hayatnya, dan penulis puluhan buku tentang fiqih.

Nama witir, tahajud, shalat malam (shalat lail) dan shalat tarawih sebenarnya sama. Istilah ini dipergunakan untuk menyebut shalat-shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari, antara waktu isya sampai fajar. Perbedaannya hanyalah pada waktunya saja. Dinamakan Shalat Lail karena dikerjakan pada malam hari, dinamakan tahajud karena dikerjakan pada pertengahan malam atau akhir malam, dinamakan tarawih karena orang-orang yang mengerjakan beristirahat (yatawarrahun) setiap antara dua kali salam, dan dinamakan shalat witir karena dikerjakan dengan bilangan yang ganjil.

Hukum Shalat Witir

Rasulullah saw. tidak mengerjakan shalat sunnah secara terus-menerus seperti membiasakan shalat witir dan shalat fajar. Rasulullah selalu mengerjakannya baik sewaktu menetap di dalam kota ataupun sewaktu sedang bepergian. Tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah pernah meninggalkan shalat witir meskipun hanya satu kali.
BACA SELENGKAPNYA “Hukum Shalat Witir”

Berobat dengan Jampi-Jampi (Ruqa)

HSA ALHAMDANIOleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)

Ulama kelahiran Kuala Kapuas (Kalteng) yang kemudian pindah dan meninggal di Pekalongan ini adalah salah satu murid takhasus Syekh Ahmad Surkati. Beliau salah satu ahli fikih besar Al-Irsyad yang lama menjadi ketua Majelis Ifta’ wa Tarjih DPP Al-Irsyad Al-Islamiyyah sampai akhir hayatnya, dan penulis puluhan buku tentang fiqih.

Jampi-jampi dalam bahasa Arab ialah ruqa, jamak dari ruqyah, yaitu doa-doa yang dibacakan untuk menyambuhkan sisakit.

Nabi sendiri telah membacakan beberapa macam doa kepada para sahabat beliau yang sakit, sehingga mereka sembuh dengan izin Allah Ta’ala.

Di antara doa-doa itu adalah:              

Hadits dari ‘Aisyah ra., bahwa Nabi saw. berdoa,

BACA SELENGKAPNYA “Berobat dengan Jampi-Jampi (Ruqa)”

Karantina Kesehatan

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)

HSA ALHAMDANIUlama kelahiran Kuala Kapuas (Kalteng) yang kemudian pindah dan meninggal di Pekalongan ini adalah salah satu murid takhasus Syekh Ahmad Surkati. Beliau salah satu ahli fikih besar Al-Irsyad yang lama menjadi ketua Majelis Ifta’ wa Tarhih DPP Al-Irsyad Al-Islamiyyah sampai akhir hayatnya, dan penulis puluhan buku tentang fiqih.*

Islam adalah agama peradaban, yang ingin membentuk masyarakat yang benar-benar berperikemanusiaan. Karenanya Islam menyuruh memelihara dan menjaga keselamatan lima perkara: agama, jiwa, akal, turunan, dan harta benda.

Di antara cabang-cabang pemeliharaan atas diri manusia ialah bahwa Islam memerintahkan kita untuk menjaga kebersihan dan kesehatan.  Sebab, dengan kebersihan berkuranglah benih-benih kuman yang menularkan penyakit-penyakit yang membinasakan manusia. Dan dengan memelihara kesehatan berkuranglah penyakit, dan manusia dapat hidup aman dari wabah yang menyebabkan banyak kematian, dan seterusnya.

Di antara cara pemeliharaan kesehatan adalah menyingkirkan orang yang sakit dari orang yang sehat, dan selama sakitnya tidak diperkenankan bergaul dengan manusia sehat, kecuali saat-saat kunjungan dan sekedar waktu yang diperlukan.

BACA SELENGKAPNYA “Karantina Kesehatan”

Said Thalib Alhamdani, Ahli Fiqih Al-Irsyad

USTADZ SAID THALIB AL-HAMDANI, Riwayat Hidup, Perjuangan dan Karya Tulisnya

Oleh: Geys Machfoedz Amar, SH *

HSA ALHAMDANIUlama yang faqiih kian langka. Mereka satu persatu telah berpulang ke rahmatullah. Sebut saja Ustadz Umar Hubeis, Ustadz Said Thalib, Prof Rasyidi dan lain-lain. Demikian yang dikeluhkan banyak orang. Untunglah ada buku dan tulisan-tulisan yang ditinggalkannya. Tetapi siapa dari generasi muda yang kenal atau punya tulisan-tulisan ulama-ulama itu yang mengupas tentang bid’ah, khurafat, tasawwuf dan ekstrimitas serta masalah-masalah keagamaan yang lain? Kemana dicari jawab atas masalah fiqhiyah yang dihadapi umat dewasa ini? Inilah musykilaat yang ada dihadapan kita! Ulama yang telah dihasilkan oleh pendidikan Al-lrsyad pada masa-masa awal pendiriannya, keseluruhannya telah tiada. Buku-bukunya pun telah lenyap dari peredaran, dan Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah tidak lagi bisa berbuat banyak!

Pada beberapa waktu lalu penulis bertandang ke rumah seorang kerabat. Sesudah tegur sapa, dipersilahkan duduk sambil bercakap-cakap ringan. Pandangan segera terarah kepada lampu meja yang ada di ruangan itu, di mana sebagiannya ditutup dengan kertas. Setelah mendapat penjelasan mengenai alasan ditutupnya sebagian dari lampu hias tersebut adalah patung tentara kompeni yang merupakan karya seni yang indah, singkat kata sang kawan tersebut mengatakan bahwa Islam melarang hiasan patung berbentuk manusia! Benarkah itu? Dari mana kita akan mendapat jawab terhadap masalah seperti itu? Atau dari mana kita mendapat jawab dan petunjuk masalah-masalah lain, misalnya bersangkut paut dengan khurafat ahli sufi, kupasan tentang Syech Abdul Qadir Jaelani yang dipuja secara berlebihan atau bolehkah wanita menjadi imam shalat Jum’at?

BACA SELENGKAPNYA “Said Thalib Alhamdani, Ahli Fiqih Al-Irsyad”

Shalat Tarawih

Shalat Tarawih

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)

Rasulullah saw. suka sekali menyemarakkan bulan Ramadhan dengan shalat di malam harinya. Beliau memerintahkan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berdiri (shalat malam) di bulan Ramadhan karena iman dan karena mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosa sebelumnya.” (HR. Jamaah)

Dari Abdurrahman bin Auf, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,

Sungguh Allah telah mewajibkan puasa Ramadhan dan mensunnahkan shalat di dalamnya, barangsiapa yang berpuasa dan shalat di malamnya karena iman dan karena mengharap ampunan Allah, maka dia akan keluar dari dosanya ibarat pada pagi hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Ahmad)
BACA SELENGKAPNYA “Shalat Tarawih”

Khotbah Shalat Gerhana

SHALAT GERHANA (Bagian 8 – Habis)

Khotbah Shalat Gerhana

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)

Sesudah selesai shalat, imam berkhotbah memberikan nasihat kepada orang banyak agar memperbanyak istighfar, berzikir, bersedekah dan sebagainya. Rasulullah saw. setelah selesai shalat berkhotbah dan memuji Allah. Malik dan Abu Hanifah membenarkan hal ini. Sebagian pengikut Malik berpendapat bahwa Rasulullah saw. hanya menghadap kepada orang banyak untuk memberi nasihat, bukan untuk berkhotbah, karena maksudnya adalah untuk menolak anggapan bahwa terjadinya gerhana itu karena meninggal atau lahirnya seseorang, dan Rasulullah saw. menerangkan bahwa gerhana itu hanyalah sebagai salah satu tanda keagungan Allah.

Khotbah Rasulullah saw.

Setelah selesai shalat gerhana, Rasulullah saw. berdiri untuk berkhotbah dengan khotbah yang ringkas tetapi padat bersisi. Di antara isi khotbahnya ialah:

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak akan terkena gerhana karena meninggal atau lahirnya seseorang. Apabila kamu melihat ada gerhana maka berdoalah kepada Allah, agungkanlah Dia, dan bersedekahlah.

Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak akan seorang pun yang lebih cemburu dari pada Allah terhadap hamba-Nya yang berzina. Wahai umat Muhammad, demi Allah, kalau sekiranya kamu mengetahui apa yang aku ketahui pasti kamu tidak akan banyak tertawa, tapi akan banyak menangis.
BACA SELENGKAPNYA “Khotbah Shalat Gerhana”

Bacaan Surat dalam Shalat Gerhana

SHALAT GERHANA (Bagian 7):

Bacaan Surat dalam Shalat Gerhana

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)

Bacaan ayat dan surat dalam shalat gerhana dibaca dengan keras. Tapi, para ulama berselisih mengenai bacaan surat al-Fatihah pada waktu berdiri yang kedua kalinya sesudah ruku yang pertama pada setiap rakaatnya.

Abu Hanifah dan Malik mengatakan bahwa bacaan dalam shalat gerhana tidak dikeraskan. Mereka beralasan, kalau sekiranya Rasulullah saw. membaca dengan keras tentunya para sahabat mengetahui apa yang dibaca oleh Rasulullah saw.

Pendapat ini dibantah oleh Ibnu Hazm. Menurutnya, pendapat seperti itu tidak benar, sebab bacaan Rasulullah itu telah diketahui melalui hadits:

Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw. mengeraskan bacaannya yang panjang. Beliau mengeraskannya dalam mengerjakan shalat gerhana bulan.”

Selanjutnya Ibnu Hazm berkata, “Hadits Aisyah, Urwah, Az-Zuhri dan al-Auza’i adalah tegas yaitu bahwa Rasulullah saw. membaca ayat dengan keras. Keterangan ini lebih utama daripada anggapan-anggapan yang dusta.” 1)
BACA SELENGKAPNYA “Bacaan Surat dalam Shalat Gerhana”

Seruan untuk Shalat Gerhana

SHALAT GERHANA (Bagian 6)

Seruan untuk Shalat Gerhana

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)

Untuk mengerjakan shalat gerhana disunahkan untuk menyerukan kalimat ash-shalatu jaami’ah. Seruan ini khusus untuk memanggil shalat gerhana saja. Sedang untuk shalat lainnya, seperti shalat tarawih dan shalat hari raya tidak perlu dengan seruan ini karena tidak ada riwayat yang menerangkan hal itu.

Praktek yang dilakukan oleh kaum muslimin yang menyerukan ash-shalatu jaami’ah untuk shalat tarawih dan shalat hari raya adalah bid’ah. Kalau ada yang beralasan bahwa hal itu dilakukan karena meng-qiyas-kannya dengan shalat gerhana, maka qiyas itu tidak benar karena qiyas tidak boleh dipergunakan dalam masalah ibadah, karena ibadah adalah tuqifiy, artinya ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan kita wajib mengikutinya. Dan qiyas hanya dapat dipakai dalam urusan duniawi saja.* (MA)

BACA JUGA:
Shalat Gerhana (1): Pengertian Shalat Khusuf dan Kusuf
Shalat Gerhana (2): Hukum Shalat Gerhana: Sunnah atau Wajib?
Shalat Gerhana (3): Jumlah Rakaat Shalat Gerhana
Shalat Gerhana (4): Cara-cara Shalat Gerhana
Shalat Gerhana (5): Shalat Gerhana: Berjamaah atau Sendiri?