Oleh ABDULLAH BATARFIE (Ketua Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad Bogor)
Nama lengkapnya adalah Toebagoes Sjoe’aib Sastradiwirja. Ia menyandang titel Haji setelah melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Sementara gelar Toebagoes (Tubagus) menandakan ia keturunan bangsawan (ningrat) Kesultanan Banten. Sebuah gelar yang mulai digunakan sejak masa Maulana Yusuf, Sultan Banten kedua.
Bahkan bila dirunut lebih dalam lagi, konon sebetulnya Tubagus itu adalah gelar Sayyid, yang menunjukan silsilahnya bersambung kepada para pendakwah Islam yang datang dari Arab (Hadramaut) yang kemudian melahirkan para penguasa di Cirebon dan Banten. Gelar Tubagus lazim dipakai oleh kaum laki-laki, sedangkan untuk perempuannya disebut dengan Ratu.
Tubagus Sjoe’aib adalah seorang tokoh agama atau ulama kelahiran Serang, Banten, 8 Februari 1894. Ia alumni Madrasah Al-Irsyad Batavia di bawah asuhan Syekh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Selain ulama, ia juga dikenal sebagai seniman perupa dan pelukis. Ia tercatat sebagai salah seorang pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), bersama Agus Djaja yang menjadi ketua pertamanya. Lahirnya Persagi dianggap sebagai tonggak awal sejarah seni lukis modern berciri Indonesia. Kelahirannya diilhami oleh S. Soedjojono, yang kelak dikenal sebagai Bapak Seni Rupa Indonesia Modern, terkenal dengan karyanya berjudul “Kawan-Kawan Revolusi” dan “Di Depan Kelambu Terbuka”.
Sebagai seorang seniman, Tubagus Sjoe’aib banyak menghasilkan karya semasa hidup, baik berupa karya ilustrasi untuk cover buku dan majalah, serta lukisan. Ia cukup dikenal kemampuannya membuat lukisan potret, salah satu genre lukisan yang ditujukan untuk menggambarkan subjek secara visual berupa manusia.
Selain menjadi wadah berekspresi para seniman yang dituangkan dalam bentuk goresan, Persagi juga mendorong para perupa untuk membuat karya seni yang mencerminkan lingkungan, pribadi dan identitas bangsa Indonesia. Dalam mengembangkan lahirnya kreativitas seni lukis, Persagi pun berhasil menyelenggarakan pameran para perupa pribumi di Gedung Kolf & Co dan Bataviasche Kunstkring, tempat yang biasa dipakai untuk pameran para pelukis Barat yang menganggap diri mereka seniman kelas satu (di atas pribumi).
Dalam sebuah situs family tree, TM Musa Zakaria, salah seorang cucu Tb. Sjoe’aib, mengungkapkan saat dirinya masih berusia 10 tahun pernah tinggal serumah dengan kakeknya itu di kawasan Petodjo Melintang, Jakarta Pusat. Sang kakek, Sjoe’aib Sastradiwirja, mampu membuat lukisan potret ayahnya sendiri, Toebagoes Ismail Sastradiwirja, yang telah wafat berpuluh tahun lamanya, dengan menggunakan imajinasinya sendiri. Hasilnya dinilai sempurna dan nyata sebagaimana paras asli wajahnya.
Hadji Toebagoes Sjoe’aib Sastradiwirja merupakan empat bersaudara, anak pasangan Tubagoes Ismail Sastradiwirja dan Raden Ajoe Soewanda. Menempuh pendidikan dasarnya pada perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Batavia, lembaga pendidikan Islam bercorak modern yang didirikan oleh ulama terkemuka Indonesia, Syaikh Ahmad Surkati pada 6 September 1914. Di lembaga pendidikan itulah, Ia ditempa dengan berbagai bidang ilmu pengatahuan hingga lulus setingkat muallimin.
Selepas lulus dan sempat mengajar di almamaternya, Hadji Toebagoes Sjoe’aib Sastradiwirja kemudian turut larut dalam pergerakan dakwah pembaharuan Islam yang disebarkan oleh Syekh Ahmad Surkati dan organisasi yang dibidaninya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Ahmad Surkati adalah ulama tokoh pembaharu Islam di Indonesia, yang dalam pidato Hamka, saat akan menerima augerah gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar Mesir (1958), disebutnya sebagai pembawa faham Muhammad Abduh ke Indonesia.
Hadji Toebagoes Sjoe’aib Sastradiwirja bersama sahabat dekatnya, Hamka, dan tokoh-tokoh lainnya, ikut mendirikan Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar dan pembangunan Masjid Agung Al-Azhar di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, pada 19 November 1953. Dari sumber wikipedia disebutkan bahwa nama Al-Azhar tersebut disematkan oleh Imam Besar Al-Azhar Mahmud Syaltut saat berkunjung ke Indonesia pada 1960. Penamaan ini merujuk pada pencapaian imam besar masjid, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), seorang ulama dan aktivis Islam besar, mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir tahun 1958.
Masjid Agung Al-Azhar pernah menyandang status sebagai masjid terbesar di Jakarta sebelum pembangunan Masjid Istiqlal selesai pada 1978. Dalam perkembangannya, masjid ini menjelma menjadi kompleks lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya Universitas Al Azhar Indonesia. Dari 14 orang tokoh yang tercatat sebagai para pendiri YPI Al-Azhar dan Masjid Agung Al-Azhar tersebut, lima di antaranya berasal dari kalangan Al-Irsyad, yaitu Tubagus Sjoe’aib Sastradiwirja, Hasan Argoebi, Rais Chamis, Abdullah Salim dan Faradj Said Martak.
Kiprah Wak Mantri di Al-Irsyad
Hadji Toebagoes Sjoe’ib Sastradiwirja oleh orang-orang terdekatnya disapa dengan panggilan Wak Mantri. Ia telah menekuni profesinya sebagai guru di almamaternya sejak masa Hindia Belanda. Bersama guru lainnya, ia dikenal sebagai guru republiken, karena memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Kesan itu ditulis oleh salah seorang muridnya dalam sebuah otobiografi:
“Saya teringat dalam menghadapi Pemerintah Pendudukan Belanda, Al-Irsyad Jakarta termasuk sekolah yang bersikap non kooperatif, artinya tidak mau bekerja sama dengan Pemerintah Pendudukan Belanda. Dalam keadaan kurang persiapan untuk ujian akhir, Al-Irsyad dibantu oleh seorang guru yang berjiwa republiken 24 karat. Guru ini mempersiapkan bahan-bahan ujian masuk sekolah lanjutan yang sudah matang yang ditulis dengan tangannya pada buku tulis. Buku ini dipinjamkan secara bergilir kepada murid-muridnya untuk disalin.”
“Waktu itu, Penilik Sekolah Al-Irsyad adalah Bapak H. Dahlan Abdullah yang setelah kedaulatan RI pulih, diangkat sebagai Duta Besar pertama RI untuk Irak. Dahlan Abdullah kemudian wafat dalam tugas negara dan dimakamkan di Baghdad, ibukota Irak. Kedua tokoh inilah (Dahlan Abdullah dan Toebagoes Sjoe’aib Sastradiwirja) yang menjadikan anak-anak Al-Irsyad dan madrasahnya menjadi republiken sejati,” tulis Hussein Badjerei dalam buku Anak Krukut Menjelajah Mimpi (penerbit LSIP 2003).
Dahlan Abdullah atau yang nama lengkapnya H. Bagindo Dahlan Abdullah (15 Juni 1895–12 Mei 1950), adalah seorang pejuang kemerdekaan dan diplomat Indonesia. Pada 1942, sewaktu Jepang mengambil alih kekuasaan dari Belanda, Dahlan Abdullah pernah diangkat menjadi Tokubetsu Sicho atau Walikota Kota Istimewa Jakarta. Dengan kedudukannya sebagai Tokubetsu Sicho, beliau disebut-sebut memiliki andil yang besar terhadap proses dan berlangsungnya persiapan, hingga terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Selain menjadi tenaga pengajar, Wak Mantri (Tubagus Sjoe’aib) selama masa revolusi kemerdekaan pernah menjadi Ketua Majelis Pendidikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Di masa yang serba sulit itulah, dalam ancaman teror agresor Belanda, semua kegiatan belajar mengajar di Al-Irsyad tetap dapat dikendalikannya, meski pada situasi yang amat mencekam. Kepiawiannya dalam menyelesaikan masalah dunia pendidikan di internal Al-Irsyad dinilai sangat mumpuni, termasuk saat terjadinya kemelut yang pernah melanda perguruan Al-Irsyad Cabang Bogor pada era tahun 60-an.
Selepas Muktamar Al-Irsyad ke-27 yang berlangsung di kota Surakarta pada bulan Desember 1951, Tubagus Sjoe’aib duduk sebagai anggota Pengurus Besar (PB) Al-Irsyad Al-Islamiyyah, yang kala itu diketuai oleh Ali Salim Hubeis (Ketua Umum). Mantan Perdana Menteri RI dan eks Ketua Umum Masyumi, Bapak DR. Moh. Natsir, saat itu juga diangkat sebagai penasehat PB Al-Irsyad.
Pada 24 November 1962, Tubagus Sjoe’aib dan teman-temannya alumnus Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah Batavia mengadakan reuni di bekas gedung sekolah yang dulu mereka mendapatkan didikan, gemblengan dan asuhan dari guru utamanya, Syaikh Ahmad Surkati. Mereka mengenang dan merefleksikan kembali perjuangan bersama Al-Irsyad . Pertemuan itu menjadi yang terakhir bagi mereka karena selepas itu satu persatu dipanggil Allah SWT. Hadir bersama Tubagus Sjoe’aib di reuni itu antara ialah Prof. KH Farid Ma’ruf, HM Yunus Anis, H. Moh. Saleh Syu’aidy, H. Moh. Akib, H. Letkol Iskandar Idris, Ali Hubeis, Said Mangun, dan lain-lain.
Reuni tersebut diselenggarakan di tengah berlangsungnya Muktamar Muhammadiyyah ke-35 di Jakarta. Sebagian dari alumnus Al-Irsyad Al-Islamiyyah tersebut kemudian tampil menjadi ulama dan kader terbaik Persyarikatan Muhammadiyah dan menjadi pemimpin terkemuka di organisasi modernis yang didirikan KH Ahmad Dahlan di tahun 1912 itu. Ahmad Dahlan adalah sahabat dekat Syekh Ahmad Surkati,
Tubagus Sjoe’aib wafat di Jakarta pada 1 September 1972, setelah sebelumnya menderita sakit paru-paru yang cukup lama. Dari pernikahannya dengan Nyi Raden Entin Chatarina, Tubagus Sjoe’aib memiliki tujuh orang anak. Dua di antaranya yang diketahui oleh penulis ialah Tubagus Mohammad Sulaiman Sastradiwirja dan Toebagoes Adam Sastradiwirja.
Di mata anak dan cucunya, Tubagus Sjoe’aib adalah sosok panutan, yang hidup sederhana dan bersahaja. Pribadi yang taat dalam beribadah. Kebiasaan rutinnya selepas shalat adalah mengaji Al-Qur’an, terutama di kala fajar usai shalat subuh yang tak pernah ia lewatkan setiap harinya.
Salah satu karya tulisnya adalah buku panduan Cara Membaca Al-Qur’an. Buku yang dicetak dan diperbanyak dengan biaya dari koceknya sendiri ini dibagikan dengan cuma-cuma kepada para pengemudi becak dan orang-orang yang datang mengunjunginya. Tubagus Sjoe’aib selalu dengan sabar dan telaten memberikan nasehat dan bimbingan kepada siapa saja yang ditemuinya.* MA