Oleh: ABDULLAH ABUBAKAR BATARFIE (Ketua Pusat Dokumentasi & Kajian Al-Irsyad)
Sjoe’aib Sastradiwirja, seorang maestro potret, mampu menghidupkan kembali wajah-wajah yang telah lama hilang.
DI TENGAH pergolakan semangat nasionalisme yang membara, dunia seni rupa Indonesia turut menjadi arena ekspresi perjuangan yang tak terlupakan. Pada tanggal 23 Oktober 1938, para perupa Indonesia bersatu dalam sebuah gerakan yang monumental, membentuk Persatuan Ahli Gambar Indonesia yang lebih dikenal dengan Persagi.
Organisasi ini dipimpin oleh Agus Djaja, namun akar inspirasinya tertanam dalam visi besar S. Soedjojono, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Seni Rupa Indonesia Modern.
Dalam hiruk-pikuk perjuangan kebangsaan, Persagi bukan hanya sekedar organisasi seni, melainkan juga simbol perlawanan dan kesadaran nasional. Dengan semangat yang tak pernah padam, para seniman ini menyuarakan kebebasan dan identitas melalui goresan warna dan kanvas, menjadikan seni rupa sebagai alat perlawanan dan penyadaran akan martabat bangsa.
Selain menjadi wadah ekspresi bagi para seniman yang menuangkan jiwa mereka melalui goresan kuas, Persagi memiliki visi yang jauh melampaui masa kini.
Organisasi ini mendorong para perupa untuk menciptakan karya seni yang tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga mencerminkan lingkungan, individu, dan identitas bangsa Indonesia yang kaya dan beragam.
Oleh ABDULLAH BATARFIE (Ketua Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad Bogor)
Nama lengkapnya adalah Toebagoes Sjoe’aib Sastradiwirja. Ia menyandang titel Haji setelah melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Sementara gelar Toebagoes (Tubagus) menandakan ia keturunan bangsawan (ningrat) Kesultanan Banten. Sebuah gelar yang mulai digunakan sejak masa Maulana Yusuf, Sultan Banten kedua.
Bahkan bila dirunut lebih dalam lagi, konon sebetulnya Tubagus itu adalah gelar Sayyid, yang menunjukan silsilahnya bersambung kepada para pendakwah Islam yang datang dari Arab (Hadramaut) yang kemudian melahirkan para penguasa di Cirebon dan Banten. Gelar Tubagus lazim dipakai oleh kaum laki-laki, sedangkan untuk perempuannya disebut dengan Ratu.
Tubagus Sjoe’aib adalah seorang tokoh agama atau ulama kelahiran Serang, Banten, 8 Februari 1894. Ia alumni Madrasah Al-Irsyad Batavia di bawah asuhan Syekh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Selain ulama, ia juga dikenal sebagai seniman perupa dan pelukis. Ia tercatat sebagai salah seorang pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), bersama Agus Djaja yang menjadi ketua pertamanya. Lahirnya Persagi dianggap sebagai tonggak awal sejarah seni lukis modern berciri Indonesia. Kelahirannya diilhami oleh S. Soedjojono, yang kelak dikenal sebagai Bapak Seni Rupa Indonesia Modern, terkenal dengan karyanya berjudul “Kawan-Kawan Revolusi” dan “Di Depan Kelambu Terbuka”.
Oleh: Abdullah Abubakar Batarfie (Ketua Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad Bogor)
BAGI yang pernah merasakan hidup di negeri yang masih berstatus sebagai Hindia Belanda lebih dari 100 tahun lalu, tentu akan mengalami masa pengklasifikasian golongan penduduk yang didasarkan kepada stratifikasi sosial, dimana setiap orang tidak bisa sesukanya untuk “Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah“. Sebuah peribahasa yang menggambarkan suatu kondisi yang setara, sama atau seimbang.
Ketidak setaraan itu berlaku pada semua sendi kehidupan masyarakat, baik dalam hal nasab (keturunan), pangkat (kedudukan) dan harta (kekayaan). Karena itu pula tidak semua anak-anak negeri memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang sama, Demikian pula dengan status sosial sesorang akan teridentifikasi dari gelar yang disandang dan pakaian yang dikenakan.
Gelar-gelar yang disandang, bahkan ada yang menggunakan dalih agama, dimana tidak sembarang orang menyematkan gelar itu di depan namanya. Meski tidak terancam dipidana, pakaian yang dikenakan pun disesuaikan dengan derajat para pemakainya.
Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan adalah ponpes modern yang terletak di Gerumbul Teleng, Kebarongan, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Ponpes ini juga merupakan Ponpes tertua di wilayah Banyumas, didirikan pada 1878 oleh KH Muhammad Habib bin Nur Hamdani.
Sejak didirikan sampai saat ini Ponpes MWI telah mengalami 12 kali pergantian pemimpin. Yang menarik, dari 12 kyai yang pernah memimpin Ponpes ini, tiga orang adalah alumnus Madrasah Al-Irsyad Batavia dan murid langsung dari Syekh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Mereka adalah KH Marghoni, Kyai Sunan Muhdir, dan Kyai Asifudin Zawawi. Kyai Sunan Muhdir ini adalah pengarang buku Sulamul Ma’rifah, buku tentang ilmu sharaf. Selain tiga nama tersebut, ada pula KH Munji Munir, yang tidak lain adalah ayah dari Drs. HM Said Munji, SH, MH, mantan sekretaris jenderal Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah di masa periode akhir Ketua Umum Geys Amar SH.
Informasi ini kami dapatkan dari buku Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa yang ditulis oleh H. Hussein Badjerei, pakar sejarah Al-Irsyad yang beberapa kali menjabat sekretaris jenderal PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Sayang tidak dijelaskan kapan mereka berempat lulus dari Madrasah Al-Irsyad, juga apakah ada lagi keluarga Pesantren Kebarongan ini yang dulu menempuh pendidikan di Madrasah Al-Irsyad selain empat nama tersebut. Bisa jadi ada, dan ini perlu penelitian lebih jauh.
KH Munji Munir adalah ulama yang cukup dikenal di Karisedanan Banyumas di tahun 1960-an sampai 1980-an. Beliau sangat akrab bergaul dengan tokoh-tokoh Al-Irsyad di Purwokerto dan Cilacap, terutama Ahmad Bamu’alim Ba’syir (mantan ketua umum PC Al-Irsyad Al-Islamiyyah Purwokerto) dan Ghozie Ba’syir (mantan ketua PC Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cilacap). Mereka bertiga sudah almarhum.
Said Munji sendiri, saat menjabat Sekjen PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah Said Munji sendiri adalah hakim tinggi di Mahkamah Agung. Kemudian beliau diangkat berturut-turut menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama (Tingkat Banding) di Semarang (Jawa Tengah) dan kemudian di Mataram (NTB). Kemudian menjabat sebagai Ketua PTA Banjarmasin (Kalsel), dan terakhir Ketua PTA Yogyakarta (DIY) sebagai penutup 36 tahun karirnya sebagai hakim agama.
Ponpes ini memiliki tiga jenjang pendidikan, yaitu MI, MTs dan MA Wathoniyah Islamiyah. Ada empat asrama yang menampung ribuan siswa-siswinya, yaitu dua asrama putra (Asrama Umar bin Khottob dan Asrama Abu Bakar As-Sidiq), dan dua asrama putri (Asrama Aisyah dan Asrama Khadidjah).
Di Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah tidak hanya mempelajari mata pelajaran pesantren seperti tauhid, nahwu, shorof, faraid, dan lain-lain, tapi juga mempelajari pelajaran umum, seperti Matematika, IPA, IPS dan lainnya. Para santrinya berasal dari berbagai daerah, bahkan ada yang berasal dari Malaysia dan Singapura. Di Ponpes ini ada diadakan pula beberapa kegiatan ekstrakulikuler seperti BKC, marching band, hadrah, PKS, Keputrian dan lain-lain.
Meski berada di Kabupaten Banyumas yang merupakan basis NU, Kampung Kebarongan termasuk Ponpes Madrasah Wathoniyah Islamiyah dikenal sebagai basis Islam modernis (reformis). Hanya saja tidak jelas apakah pesantren ini dari awal berdirinya sudah berbasis Islam modernis ataukah baru berubah menjadi modernis/reformis setelah kembalinya ustadz-ustadz mereka dari pendidikan di Madrasah Al-Irsyad Batavia.
“Kebarongan memang bukan basis NU. Ini agak berbeda dengan wilayah Banyumas lainnya,” kata Said Munji kepada Pusdok Al-Irsyad Bogor. Untuk pelajaran aqidah-tauhid, kitab pegangan utamanya adalah Fathul Majid, yang ditulis oleh Abdurrahman bin Hassan Al Syaikh, dan merupakan syarah (penjelasan) dari Kitab At-Tauhid al-Ladzi Huwa Haqqullah ‘ala al-‘Abid karya Muhammad bin Abdul Wahhab. Tak heran kalau kemudian Ponpes ini dituduh beraliran wahabi oleh kalangan tradisionalis, sebuah tuduhan yang aneh karena pesantren ini juga mengajarkan kegiatan seni musik seperti marching band dan hadrah yang tentunya sangat ditentang kelompok salafi-wahabi.
Dalam sebuah wawancara yang dimuat di Jurnal Al-Qalam, terbitan Balitbang Depag Makassar (2020), pengasuh Ponpes ini, Dr KH Ahmad Janan Asifudin juga menolak tuduhan ini. “Memang ada beberapa orang dengan paham Wahabi yang pernah mengajar di sini, tapi kemudian mereka keluar karena berseberangan dengan pemahaman di Ponpes MWI,” katanya.
Tauhid yang dikembangkan bagi santri dan alumni Ponpes MWI adalah Tauhidnya Rasulullah saw. “Tauhid yang murni dan tidak dikotori oleh kemusyrikan. Di sisi lain hendaknya tauhid menjadi ruh dan landasan menyeluruh dari segala sisi kehidupan kita,” kata Ahmad Janan Asifudin.
Said Munji juga menjelaskan, Kebarongan itu juga sudah lama dikenal sebagai kampung sarjana. “Rata-rata warganya kuliah, bahkan banyak yang menjadi doktor dan guru besar,” hatanya. Ia menyebutkan beberapa di antaranya, seperti Prof Dr. Susanto Zuhdi, ahli sejarah di Universitas Indonesia. “Kebetulan ia satu angkatan dengan saya,” tambah Said.
Ada pula Prof. Muhajir Markum, ahli linguistik yang juga guru besar di UI; Prof dr Rifki Muslim, mantan Direktur RS PKU Muhammadiyah Roemani, Semarang; Prof Dr Saad Abdul Wahid (paman Said Munji) di Jogjakarta; dan Dr. Inayah Asifudin, yang pernah menjadi dekan Fakultas Ushuludin UIN Jogjakarta.* (MANSYUR ALKATIRI)
Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.
Tafsir Ayat Keenam: Makna dan Hakikat Hidayah
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
“Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.” (QS Al-Fatihah: 6)
Terlebih dahulu Ustadz Muhammad ‘Abduh mengemukakan pendapat para ulama tentang makna hidayah secara etimologis. Menurut mereka, hidayah adalah petunjuk yang lembut tentang sesuatu yang akan mengantar pada perkara yang dicari. Selanjutnya, beliau menjelaskan jenis-jenis dan tingkatan-tingkatan hidayah.
Allah Ta’ala, kata Ustadz Muhammad ‘Abduh, telah menganugerahkan empat jenis hidayah kepada manusia sebagai pengantar menuju kebahagiaan.
Pertama, hidayah insting (naluri). Hidayah ini sudah diberikan kepada manusia sejak lahir. Ketika lahir, bayi akan memberitahukan rasa laparnya secara naluri, melalui tangisan. Ketika susu ibunya menempel di mulutnya, secara naluriah ia langsung saja meraihnya dan menetek air susu ibunya. BACA SELENGKAPNYA “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 6”→
Oleh: Syekh Al-Allamah Ahmad Surkati al-Anshari (1874-1943 M)
Bab Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, dinukil dari kitab yang berjudul “Tawjihul Ikhwan Ila Adabil Qur’an”, artinya; “Petunjuk Ikhwan pada peradaban Al-Qur’an”, karya Syekh Ahmad Surkati yang berisi tafsir sebagian ayat-ayat Al-Qur’an.*
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm – “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”
Maknanya: kami laksanakan perintah-perintah Allah, di antaranya juga terdapat pujian dan penyucian Dia yang terkandung dalam surat Al-Fatihah. Pengakuan bahwa Dialah sendiri yang bergelar “Rab” atau Allah. Dia sendirian pula penguasa Hari Kiamat atau yang berkuasa pada Hari Perhitungan dan Hari Pembalasan. Dialah yang bersifat pemurah lagi mengasihi.
Oleh: Abdullah Batarfi Ketua Pusat Dokumentasi dan Kajian (Pusdok) Al-Irsyad Bogor
Syekh Ahmad Surkati dikenal luas sebagai sumber inspirasi bagi para tokoh pergerakan Islam modernis yang mendorong lahirnya berbagai organisasi Islam di Indonesia. Melalui Madrasah Al-Irsyad yang dirintis dan dibinanya di Batavia dan juga kota-kota lain, Syaikh Ahmad Surkati telah banyak melahirkan lulusan (alumni) yang kelak memainkan peran penting di berbagai bidang kehidupan umat dan bangsa. Di antara mereka bahkan ada yang menjadi tokoh-tokoh reformasi Islam yang memiliki pengaruh besar terhadap Indonesia.
Anak didiknya tersebut tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Ada juga yang berasal dari kalangan anak-anak tokoh pergerakan Islam, seperti Muhammadiyah. Kita kenal misalnya beberapa nama yang kemudian tampil menjadi para pemuka dan pemimpin Muhammadiyah, antara lain KH Muhammad Junus Anis, Prof. Dr. KH Farid Ma’ruf, Prof KH Abdul Kahar Muzakir, Prof Dr HM Rasyidi, dan Prof Dr Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Kontribusi Ahmad Surkati terhadap kelahiran kader-kader inti di awal berdiri Muhammadiyah tersebut membuat surat kabar Adil di Solo dalam edisi 23 September 1939 memberinya pengakuan bahwa “Al-Irsyad adalah guru Muhammadiyah.”
Selain nama-nama di atas yang menjadi tokoh Muhammadiyah tingkat nasional, masih banyak lagi yang menjadi tokoh Muhammadiyah di tingkat lokal, antara lain kakak beradik Letkol Iskandar Idris dan Ismail Idris di Pekalongan, KH Achmad Syukri di Menggala (Lampung), dan KH MUHAMMAD AKIB yang pernah menjabat sebagai Ketua PW Muhammadiyah Sulawesi Selatan periode 1968-1971. BACA SELENGKAPNYA “Muhammad Akib, Murid Ahmad Surkati dari Tanah Bugis”→
Penentangan Ahmad Surkati terhadap penjajahan Belanda sangat jelas. Dukungan beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia juga sangat jelas. Menariknya lagi, meski Ahmad Surkati merupakan bagian dari kelompok Islam dan bahkan simpul gerakan Pan-Islam di Indonesia, beliau tidak membeda-bedakan kelompok dan ideologi para pejuang. Yang penting mereka adalah pejuang melawan penjajah Belanda.
Ketika banyak pejuang kemerdekaan dibuang Belanda ke Tanah Merah, Digoel, Ahmad Surkati mengumpulkan bantuan dari banyak warga Al-Irsyad untuk menyantuni keluarga mereka. Data-data keluarga mereka itu diperoleh dari sahabatnya, Mas Marco Kartodikromo, seorang wartawan revolusioner, novelis dan pejuang kemerdekaan beraliran kiri yang ikut ditahan di Digul pada Juni 1927. Meski dalam keadaan ditahan, Marco tetap bisa mengirimkan tulisan ke beberapa surat kabar dan mengirim surat ke sahabat-sahabatnya.
Ahmad Surkati sudah kenal dengan Mas Marco sebelum dibuang ke Kamp Digoel (Papua). Saat itu Marco dikenal sebagai aktivis Sarekat Islam (Merah) dan berkali-kali masuk penjara kolonial Belanda akibat tulisannya yang menyerang perilaku penjajah. Ia dikenal dengan kata-katanya: “Seseorang belum dikatakan pejuang bila belum pernah merasakan penjara.” Marco meninggal akibat sakit malaria di Kamp Digoel pada tahun 1932 dalam usia 42 tahun.
Menurut budayawan dan sejarawan Ridwan Saidi, dari surat-menyurat dengan Mas Marco, Ahmad Surkati mengetahui alamat keluarga para pejuang (di Batavia) yang ditahan di Digoel. Dan Ahmad Surkati pun membantu mereka dengan bahan-bahan makanan yang dibutuhkan. Salah satu yang dibantu adalah keluarga Alimin, tokoh Sarekat Islam Merah kemudian PKI. Alimin saat itu ditangkap penguasa Inggris di Singapura setelah meletus pemberontakan ISDV (PKI) di Hindia Belanda pada tahun 1926, dan kemudian lari ke Moskow (Uni Soviet).
“Jadi, Surkati membantu keluarga pejuang yang dibuang ke Digul (dan lainnya), tidak peduli siapa orangnya (ideologinya). Termasuk keluarga Alimin,” kata Ridwan.* MA
Tanggal 1 Oktober 1939 atau 80 tahun yang silam, sebuah peristiwa penting telah dicatat dalam lembaran sejarah Al-Irsyad. Karena di tanggal itulah bertempat di kota Surabaya, Congres Jubelium atau Peringatan 25 Tahun Al-Irsyad yang diselenggarakan secara besar-besaran dari sejak tanggal 26 September 1939 telah resmi ditutup.
Bagi Al-Irsyad, Kongres atau yang disebut sebagai Muktamar itu merupakan perhelatan akbar pertamanya yang diselenggarakan di tingkat nasional, karena sebelumnya kewajiban konstitusional tersebut masih dinamakan sebagai Rapat Umum Anggota atau Openbare Vergadering yang berlangsung setiap satu tahun sekali di Batavia (Jakarta), sejak pertama kalinya Al-Irsyad didirikan pada 6 September 1914. BACA SELENGKAPNYA “Ustadz Ahmad Mahfoudz, Sekretaris Panitia Kongres Pertama Al-Irsyad, Wafat”→
Pusat Dokumentasi Sejarah & Kajian (PUSDOK) Al-Irsyad Bogor kembali melakukan kegiatan napak tilas dengan menelusuri jejak keberadaan Al-Irsyad di Ranau, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, pada 7-8 Agustus 2019.
Pembentukan dan peresmian cabang Al-Irsyad pada 1927 di Desa Pagar Dewa, Ranau, pernah tercatat dalam notulen resmi yang ditulis oleh Hoodbestuur Al-Irsyad di Batavia (Jakarta). Berita itu oleh H.Hussein Badjerei kemudian dimuat dalam buku karyanya, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa (1996). Cuma sayang, dalam buku itu tidak tercantum tanggal pembentukan dan nama para pelaku yang terlibat di dalamnya. Hanya saja disebutkan pembukaan cabang Al-Irsyad di Ranau dihadiri dan diresmikan oleh Sekretaris Hoodbestuur Al-Irsyad, Ali Harharah dalam acara yang cukup meriah.
Setelah dilakukan ikhtiar penggalian dan pencarian lebih dalam oleh PUSDOK dari berbagai sumber dan literatur, akhirnya tabir sejarah ini terungkap sedikit lebih gamblang melalui buku Kaum Tuo-Kaum Mudo, hasil studi ilmiah tentang Perubahan Religius di Palembang periode 1821-1942 yang ditulis oleh seorang intelektual berkebangsaan Belanda Jeroen Peeters. Buku itu diterbitkan oleh Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) pada 1997. BACA SELENGKAPNYA “Napak Tilas Menelusuri Jejak Al-Irsyad di Ranau”→