Khusyuk dan Hadir Hati adalah Syarat Sah Shalat

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Konstituante, Partai MasjumiOleh: Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-1975)

(Murid Syekh Ahmad Surkati dan Rektor Universitas Al-Irsyad, Solo, 1962)

Jiwa shalat adalah ikhlas dan khusyuk. Mendirikan shalat adalah mewujudkan jiwa shalat dan hakikatnya dalam gerakan lahir. Maka, wajib bagi kita mewujudkan khusyuk yang menjadi jiwa shalat, sebagaimana kita wajib melaksanakan bentuk gerakan shalat dengan sebaik-baiknya.

Kedudukan khusyuk dan ikhlas dalam shalat adalah seperti kedudukan ruh (jiwa) dalam suatu tubuh. Kita perlu mengatakan pengertian khusyuk, ikhlas, takut dan hadir hati yang menjadi ruh shalat dan menjadi sebab pokok diterimanya shalat seseorang.

Ulama berbeda pendapat dalam mengartikan kata khusyuk. Sebagian ulama mengatakan, “Khusyuk ialah memejamkan mata (penglihatan) dan merendahkan suara.” Ali ibn Abi Thalib ra. Mengatakan, “Khusyuk ialah tidak berpaling ke kanan dan ke kiri dalam shalat.”

BACA SELENGKAPNYA “Khusyuk dan Hadir Hati adalah Syarat Sah Shalat”

Hukum Menegakkan Shalat Berjamaah

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Konstituante, Partai MasjumiOleh: Teungku Muhammad Hasbi Ash-Ahiddieqy (1904-1975)

(Murid Syekh Ahmad Surkati dan Rektor Universitas Al-Irsyad, Solo, 1960-an)

Saat awal  Nabi saw. mengerjakan shalat berjamaah secara terang-terangan dan terus menerus, yaitu ketika di Madinah. Pada saat di Makkah, Nabi saw. tidak mengerjakan shalat dengan berjamaah di masjid, karena para sahabat Nabi kala itu dalam keadaan lemah. Nabi saw. melaksanakan shalat berjamaah di rumahnya, kadang bersama sayidina Ali ra, terkadang bersama sayyidatina Khadijah ra. Kalaupun Nabi saw. shalat berjamaah bersama para sahabat di luar rumah, itupun dilakukan Nabi di tempat-tempat sunyi. Para Sahabat Nabi saw. pun demikian pula halnya, yakni berjamaah di rumah atau di tempat-tempat yang tersembunyi.

Sesudah Nabi saw. hijrah ke Madinah, Nabi mengerjakan shalat berjamaah secara besar-besaran dan terang-terangan.

Para ulama telah sepakat bahwa ”menegakkan jamaah shalat di masjid-masjid itu adalah setinggi-tingginya taat, seteguh-teguhnya ibadah, dan sebesar-besarnya syiar agama Islam”
BACA SELENGKAPNYA “Hukum Menegakkan Shalat Berjamaah”

Cara Turunnya Al-Qur’an dari Lauh Al-Mahfudh ke Dunia

hasbi1Oleh: Teungku Muhammad Hasbi Ash-Ahiddieqy (1904-1975)

(Murid Syekh Ahmad Surkati dan Rektor Universitas Al-Irsyad, Solo, 1960-an)

Para ulama berbeda pendapat tentang kaifiyah menurunkan Al-Qur’an (dari Lauh al-Mahfudh). Dalam soal ini para ulama mempunyai tiga pendapat.

a. Al-Qur’an itu diturunkannya ke langit dunia pada malam Al-Qadar sekaligus, yaitu lengkap dari awal hingga akhirnya. Kemudian diturunkan (ke Nabi Muhammad saw.) berangsur-angsur sesudah itu dalam tempo 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun berdasarkan kepada perselisihan yang terjadi tentang berapa lama Nabi bermukim di Makkah sesudah beliau diangkat menjadi Rasul.

b. Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia dalam 20 kali Lailah al-Qadar selama 20 tahun, atau dalam 23 kali Lailah al-Qadar selama 23 tahun, atau dalam 25 kali Lailah al-Qadar selama 25 tahun. Pada tiap-tiap malam diturunkan ke langit dunia sekedar yang hendak diturunkan dalam tahun itu kepada Muhammad saw. dengan cara berangsur-angsur.

BACA SELENGKAPNYA “Cara Turunnya Al-Qur’an dari Lauh Al-Mahfudh ke Dunia”

Derajat Orang-orang yang Berpuasa

Derajat Orang-orang yang Berpuasa

hasbi1Oleh: Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy (1904-1975)

(Murid Syekh Ahmad Surkati dan Rektor Universitas Al-Irsyad, Solo, 1960-an)

Orang yang berpuasa ada tiga tingkatan derajatnya:

  1. Meninggalkan makan minum dan persetubuhan
  2. Meninggalkan makan dan syahwat karena Allah dengan mengharapkan ampunan dan surga atau terhindar dari neraka.
  3. Meninggalkan makan dan minum serta syahwat, bahkan menahan hati dari segala yang lain dari Allah, karena semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya saja.

Golongan yang kedua dinamakan ahlul khusus dan golongan yang ketiga dinamakan ahlul ma’rifah.

Ahlul khusus memelihara lidah dari berdusta, sesudah menahan diri dari makan, minum dan jimak.

BACA SELENGKAPNYA “Derajat Orang-orang yang Berpuasa”

Puasa dan Al-Qur’an

Puasa dan Al-Qur’an

hasbi1Oleh: Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy (1904-1975)

(Murid Syekh Ahmad Surkati dan Rektor Universitas Al-Irsyad, Solo)

Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaibi berkata, “Allah swt. telah mengistimewakan bulan Ramadhan dengan menurunkan Al-Qur’an di bulan itu. Maka dari itu, Allah pun mengkhususkan bulan itu dengan sebuah ibadat yang sangat istimewa, yaitu puasa. Puasa itu suatu senjata yang menyingkapkan tabir-tabir yang menghalangi kita (manusia) dari memandang Nur Ilahi Yang Mahakudus.”

Allah memfardhukan puasa Ramadhan atas kita (umat Islam) dan menjadikan puasa itu sebagai salah satu rukun asasi agama Islam agar Al-Qur’an tetap diingat dan dimuliakan oleh umat Islam. Sebab, Al-Qur’an adalah nikmat yang tiada taranya yang Allah limpahkan kepada kita di bulan puasa itu.

Ibadah puasa yang difardhukan di bulan Ramadhan ini merupakan manifestasi rasa syukur kita kepada Allah ayas hidayah-Nya (Al-Qur’an) yang Dia limpahkan itu.

BACA SELENGKAPNYA “Puasa dan Al-Qur’an”