Oleh: Mansyur Alkatiri
Namanya memang tidak banyak dikenal. Namun, nama Ustadz Hadi Addaba, seorang ulama dan pejuang ini tidak bisa dilupakan begitu saja. Jasanya cukup besar bagi Republik Indonesia yang baru merdeka, karena ia melalui corong radio setiap hari menyiarkan berita-berita kemerdekaan dan eksistensi Republik Indonesia ke dunia luar, khususnya ke negara-negara Timur Tengah.
Ustadz Hadi Addaba adalah guru sekolah Al-Irsyad Surabaya di masa-masa awal (tahun 1920-an), bersama Al-Ustadz Umar Hubeis, Ustadz Abdullah Jalal al-Makky, Ustadz Ali Balbeid dan lain-lain, di mana salah satu muridnya yang terkenal adalah Mohammad Saleh Suaidy (1913-1976), salah satu kader hebat Al-Irsyad yang dikenal namanya sebagai pengusul berdirinya Kementerian Agama RI dulu.
Dalam Kongres Al-Islam ke-12 di Solo 5-8 Juli 1941, yang merupakan Kongres MIAI ke-II (disebut juga Kongres Muslimin Indonesia ke-III), Ustadz Hadi Addaba tampil mewakili Al-Irsyad Al-Islamiyyah bersama Said Marzuq.
Hadi Addaba kemudian menjadi kolega M. Saleh Suaidy, mantan muridnya, dalam siaran Bahasa Arab Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta, dan berperan dalam menyebarkan berita-berita seputar kemerdekaan dan eksistensi RI ke negeri-negeri Timur Tengah, khususnya saat ibukota pemerintahan Indonesia berpindah ke Yogyakarta sejak Januari 1946. Lewat berita-beritanya itu, kemerdekaan Republik Indonesia disambut gempita di negara-negara Arab, dan bantuan pun mengalir dari mereka dalam bentuk diplomasi, solidaritas, bahkan materi.
Namun, ustadz pejuang ini harus menemui syahid di tangan para pemberontak PKI Madiun (September 1948) pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin, yang merupakan antek Moskow dan Belanda. Saat itu, Ustadz Hadi Addaba tercatat sebagai salah satu pengajar (guru) di Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran, Magetan. Milisi FDR/PKI menangkap dan menculik para ustadz di pesantren itu, termasuk pemimpinnya, Kiai Imam Mursjid Muttaqien, Ustadz Hadi Addaba, Ustadz Ahmad Baidawy, Ustadz Husein, Ustadz Hartono, Ustadz Imam Faham, dan lain-lain. Pesantren Sabilil Muttaqin Takeran ini merupakan salah satu pesantren yang paling berwibawa di Magetan saat itu.
Mereka tidak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembatantaian yang tersebar di berbagai tempat di magetan. Jenazah Ustadz Hadi Addaba sendiri diketemukan di sebuah semur tua di Desa Cigrok, Takeran (Magetan), bertumpuk bersama jenazah-jenazah lainnya. Adasekitar 30 jenazah yang menjadi korban pembantaian di sumur tua itu. Selain Hadi Addaba, ada pula jenazah KH Imam Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussu’ada Rejosari, Madiun, dan dua puteranya. KH Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur itu setelah disiksa berkali-kali. Bahkan ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan sempat mengumandangkan adzan. Dua putra KH Imam Shofwan, yakni Kyai Zubeir dan Kyai Bawani juga jadi korban dan dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.*