Oleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)
Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.
Tafsir Ayat Pertama: Makna Bismillah
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa basmalah adalah bagian dari Al-Qur’an. Ia merupakan bagian dari satu ayat dalam surah al-Naml. Yang menjadi perselisihan ulama adalah kedudukan basmalah dalam surah-surah yang lain.
Di antara ulama yang menyatakan bahwa basmalah merupakan ayat atau bagian dari setiap surah adalah para ulama salaf Mekkah dari kalangan fuqaha dan ahli qira’ah-nya, di antaranya Ibnu Katsir. Begitu juga dengan para ulama Kufah, seperti Ashim dan Al-Kisai yang ahli qira’ah. Demikian pula sebagian sahabat dan tabi’in Madinah, Imam Asy-Syafi’i dalam qaul jadid-nya dan para pengikutnya, Imam Al-Tsauri. Sementara itu, Imam Ahmad, dalam salah satu kitab fatwa dan salah satu kumpulan kitab haditsnya, berpendapat bahwa basmalah adalah bagian ayat dalam setiap surah.
Sementara para ulama dari kalangan sahabat yang mengeluarkan riwayat yang mendukung pandangan di atas antara lain Ali bin Abi Thalib ra., Abdullah bin Abbas ra., Abdullah bin Umar ra., dan Abu Hurairah ra. Sementara dari kalangan ulama tabi’in antara lain Said bin Jubair, Atha’, Al-Zuhri, dan Ibnu Al-Mubarak. Riwayat mereka semakin diperkuat oleh ijma’ para sahabat dan ulama sesudahnya yang menetapkan bahwa basmalah selalu disimpan di awal setiap surah dalam Mushaf Al-Qur’an kecuali dalam Surah al-Bara’ah. Padahal, sudah pasti mereka diperintahkan untuk membersihkan Al-Qur’an dari unsur-unsur yang bukan Al-Qur’an. Sebagai bukti, mereka tidak menuliskan lafaz aamiin di akhir Surah Al-Fatihah. Beberapa hadits populer yang memuat riwayat di atas dicantumkan oleh Ustadz Muhammad Abduh dalam kitab tafsirnya, Al-Manar.
Imam Malik dan ulama Madinah yang lain, Al-Auza’i dan ulama Syam yang lain, serta Abu Umar dan Ya’qub –dua ahli qira’ah dari Basra- berpendapat bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri yang diturunkan untuk memperjelas awal satu surah dan memisahkan antara satu surah dengan surah yang lain. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi. Sedangkan Imam Hamzah, salah seorang ahli qira’ah dari Kufah, berdasar pada riwayat Imam Ahmad, mengatakan, “Basmalah merupakan salah satu ayat dalam Surah Al-Fatihah, tetapi tidak dalam surah yang lain.”
Dalil paling kuat yang menunjukkan bahwa basmalah merupakan ayat dari Surah Al-Fatihah adalah penulisannya di dalam mushaf di awal Surah Al-Fatihah. Padahal, basmalah di Surat Al-Fatihah ini tidak memisahkan antara surah terebut dengan surah sebelumnya (karena Al-Fatihah adalah surah pertama).
Ditilik dari keterangan di atas, terlihat bahwa Al-Fatihah merupakan surah pertama yang diturunkan secara lengkap. Sementara itu, surah Al-‘Alaq diturunkan tidak disertai dengan basmalah dan tidak pula diturunkan sebagai satu surah yang utuh, seperti yang telah dibahas di atas.
Hadits yang menyatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari Surah Al-Fatihah berkualitas mutawatir (sangat diakui kesahihannya karena perawi di masing-masing tingkatan lebih dari satu orang). Oleh karena itu, orang yang menolak basmalah sebagai bagian dari surah Al-Fatihah tidak perlu didengarkan. Sedangkan, hadits yang menyebutkan bahwa Nabi saw tidak membaca basmalah dalam shalat berkualitas ahad (perawi di masing-masing tingkatan tidak lebih dari satu orang). Ia bertentangan dengan hadits sederajat yang mengatakan bahwa Nabi saw membacanya. Juga, bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat, yaitu basmalah dituliskan –dan dibaca- dalam Al-Fatihah secara mutawatir. Mungkin saja kemunculan hadits ahad itu disebabkan periwayatnya tidak mendengar Nabi saat membacanya, seperti yang saya jelaskan dalam Tafsir Al-Manar.
Ustadz Muhammad ‘Abduh berkata, “Al-Qur’an adalah pemimpin dan teladan kita. Basmalah yang mengawalinya mengajarkan kepada kita bahwa suatu pekerjaan mesti dimulai dengan basmalah. Namun, Al-Qur’an menghendaki kita mengucapkannya secara lengkap. Maksudnya, kita tidak hanya menyebutkan salah satu nama Allah untuk mencari berkahnya dan meminta pertolongan dari-Nya.”
Kata bismi (atas nama) merupakan kata yang sudah lumrah di kalangan masyarakat. Setiap bangsa menggunakannya. Di antara sekian bangsa yang biasa memakai kata itu adalah bangsa Arab. Jika salah seorang di antara mereka akan melakukan suatu perintah atas perintah seorang penguasa atau seorang pembesar, ia akan mengatakan, “Aku akan melakukan ini atas nama si fulan.” Ia menyebutkan nama penguasa atau pembesar yang ia maksud. Sebab, penyebutan nama sesuatu merupakan penanda keberadaannya.
Apabila saya mengerjakan sesuatu yang bergantung pada perintah sultan, saya akan katakan bahwa pekerjaan ini atas nama sultan. Maksudnya, pekerjaan itu ada atas nama sultan. Seandainya tidak ada sultan, saya tidak akan mengerjakannya. Dengan demikian, kalimat: “Saya mengawali pekerjaan atas nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” adalah bahwa saya melakukan pekerjaan itu atas perintah-Nya dan untuk-Nya, bukan untuk diri saya. Dan, saya tidak mengerjakannya atas nama diri saya. Dalam hal ini, seolah-olah saya berkata, “Sesungguhnya pekerjaan ini untuk Allah, bukan untuk diri saya sendiri.”
Ada pemaknaan lain terhadap makna kalimat itu. Makna yang dimaksud adalah bahwa kemampuan melakukan pekerjaan berasal dari Allah SWT. Seandainya Dia tidak menganugerahkan kemampuan itu, tentu saya tidak dapat mengerjakan apapun. Pekerjaan ini saya lakukan atas nama Allah, bukan atas nama sendiri. Sebab, seandainya Dia tidak memberi kemampuan, tentu saya tidak akan dapat melakukannya. Makna itu ditunjukkan oleh frasa, “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Alhasil, makna bismillâhirraẖmânirraẖîm adalah: Saya melakukan suatu perbuatan sama sekali bukan atas nama saya. Namun, atas nama Allah SWT. Sebab, saya mendapatkan kemampuan dan pertolongan dari-Nya dan berharap mendapatkan kebaikan-Nya. Jika bukan karena Dia, pasti saya tidak akan sanggup melakukannya dan tidak akan pernah melakukannya. Bahkan, kalau tidak ada perintah-Nya dan tidak berharap akan karunia-Nya saya tidak akan melakukan pekerjaan itu, sekalipun sanggup melakukannya. Kata ism (nama) memiliki makna tertentu. Kata Allâh pun demikian. Allâh adalah sebutan untuk suatu zat yang wajib ada yang disifati oleh sebutan-sebutan yang baik. Begitu pula dengan kata al-raẖmân dan al-raẖîm.
Penggunaan kata bismi (atas nama) seperti ini telah dikenal dalam setiap bahasa. Saya berikan contoh yang mudah. Di beberapa peradilan negara, putusan hukum yang dibacakan atau termaktub dalam undang-undang biasanya dimulai dengan kalimat: atas nama sultan anu atau pembesar anu. Jadi, makna basmalah dalam Al-Fatihah adalah semua hukum, ayat, dan ketetapan dalam Al-Qur’an hanya milik Allah dan berasal dari-Nya, bukan milik siapa pun selain-Nya.
Demikianlah inti sari pendapat Ustadz Muhammad Abduh tentang kata yang terkait (muta’allaq) atau terkandung dalam basmallah.
Berkenaan dengan muta’allaq ini, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril ke dalam hati Nabi saw. Setiap surahnya didahului dengan basmalah. Oleh karena itu, muta’allaq basmalah adalah dari malaikat penyampai wahyu yang diketahui sejak ayat pertama turun, yaitu Iqra’ bismi rabbika… (Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu). Maka, makna basmalah yang dipahami oleh Nabi saw. dari Jibril adalah, “Wahai Muhammad! Bacakanlah surah ini dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya!” Maksudnya, bacalah surah itu karena berasal dari Allah bukan dari kamu. Karena kasih sayang-Nya kepada mereka, Dia menurunkan surah itu untuk menunjukkan mereka pada jalan yang membawa kebaikan, baik di dunia mauun di akhirat.
Sehubungan dengan itu pula, setiap kali membacakan ayat, Nabi saw. selalu meniatkan kalimat yang maknanya: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku membacakan surah ini kepada kalian atas nama Allah bukan atas nama diriku. Bukan aku yang menghendaki. Aku sekadar penyampai kabar dari Allah sesuai dengan perintah-Nya,
وَّاُمِرْتُ اَنْ اَكُوْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ , وَاَنْ اَتْلُوَا الْقُرْاٰنَ
“Dan, aku diperintahkan agar menjadi orang yang pertama kali Islam, dan agar aku membacakan Al-Qur’an.” (QS An-Naml -27: 91-92)
Niat kita pun pada pembacaan basmalah sama seperti itu, sebagai wujud ketaatan dan kesadaran melaksanakan perintah-Nya. Maksudnya, apabila di antara kita hendak membaca Al-Qur’an, hendaknya ia mengatakan dalam hati, “Aku membaca Al-Qur’an atas nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Sebab, Dia yang memerintahkan, memberikan kemampuan dan kesempatan pada kita untuk membacanya.
Perbedaan antara kita dan Rasulullah saw. dalam hal ini adalah bahwa Rasulullah selain beribadah saat membaca Al-Qur’an, juga menyampaikannya dari Allah SWT kepada umatnya. Sementara, kita hanya beribadah saat membacanya, baik pada saat shalat maupun pada kesempatan lain.
Membaca basmalah di luar shalat, muta’allaq-nya disesuaikan dengan perbuatan yang akan kita lakukan. Umpamanya, saat menyembelih binatang kita niatkan, “Saya menyembelihnya dengan menyebut nama Allah.” Ini dapat dimaknai bahwa Dialah yang mewajibkan menyembelih hewan saat berkurban dan membolehkan penyembelihannya di luar itu.
Selanjutnya, Ustadz Muhammad ‘Abduh memberi penjelasan, “kata al-Raẖmân dan al-Raẖîm berasal dari kata al-raẖmah (kasih sayang). Kata ini mengandung makna rasa iba dalam hati yang mendorong pemiliknya melakukan perbuatan baik kepada orang lain. Pengertian seperti ini mustahil terjadi pada Allah Ta’ala. Sebab, rahmat dalam pengertian demikian adalah perasaan sakit dalam hati yang hanya terobati dengan perbuatan baik. Sementara, Allah sama sekali terbebas dari segala macam penyakit dan kecenderungan-kecenderungan emosional. Dengan demikian, makna rahmat bagi Allah adalah memberikan kebaikan (iẖsân).
Mayoritas ulama berpendapat bahwa makna Al-Raẖmân adalah Yang Maha Memberikan nikmat-nikmat besar. Sedangkan, Al-Raẖîm adalah Yang Memberikan nikmat-nikmat kecil. Sebagian ulama lain mengartikan Al-Raẖmân sebagai Yang Memberikan nikmat kepada semua makhluk, termasuk orang-orang kafir dan yang lain. Sedangkan, Al-Raẖîm adalah Yang Memberikan nikmat istimewa kepada orang-orang Mukmin.
Al-Raẖmân dan Al-Raẖîm adalah dua kata yang masuk pada kaidah: penambahan huruf (konsonan) yang menunjukkan penambahan makna. Namun, penambahan makna ini juga mengimbas pada penambahan sifat tanpa batas. Maka, sifat Allah Al-Raẖmân menunjukkan arti: yang banyak memberikan kebaikan, baik besar maupun kecil. Adapun pandangan yang menyebutkan bahwa jenis kebaikan yang ditunjukkan oleh kata yang lebih banyak hurufnya dikatakan lebih besar dibandingkan dengan kebaikan yang ditunjukkan oleh kata yang sedikit hurufnya adalah tidak tepat sasaran.
Ulama yang berpendapat bahwa Al-Raẖmân mengandung makna ‘yang berbuat baik dengan kebaikan yang umum’ agak mendekati kebenaran. Namun, tidak tepat saat mereka mengkhususkan Al-Raẖîm hanya untuk orang-orang Mukmin. Tampaknya, ulama yang berpendapat bahwa kata kedua (al-Raẖîm) adalah penguat bagi kata pertama (al-Raẖmân) adalah lebih tepat. Pendapat ini tidak membeda-bedakan kasih sayang Allah dan juga menyatakan tidak ada kasih sayang yang lebih baik daripada yang lain.
Ketika menggambarkan sifat-sifat Allah yang lebih tinggi daripada sifat sejenis yang dimiliki makhluk, Al-Qur’an tidak keluar dari gaya (uslûb) bahasa Arab yang sangat dalam itu. Kata al-raẖmân menunjuk pada seseorang yang merupakan sumber perwujudan kasih sayang. Perwujudan kasih sayang itu adalah dicurahkannya segala nikmat dan kebaikan. Sedangkan kata al-raẖîm menunjuk pada seseorang yang kemudian menumbuhkembangkan kasih sayang dan kebaikan.
Kedua sifat di atas merupakan dua sifat yang wajib ada dan selalu tetap ada. Dengan makna ini, sifat yang satu tidak perlu ada pada sifat yang lain; tidak juga sifat kedua menjadi penguat terhadap sifat yang pertama. Ketika mendengar Allah memiliki sifat al-Raẖmân dan memahami maknanya sebagai Yang Menganugerahkan nikmat, orang Arab dapat saja tidak meyakini bahwa sifat itu wajib ada pada Allah selamanya. Sebab, menganugerahkan bisa jadi selesai apabila tidak ditetapkan sebagai sifat yang tetap dan selalu ada sekalipun yang dianugerahkannya begitu banyak. Dan, ketika orang Arab mendengar kata al-Raẖîm disebutkan, keyakinannya pada satu sifat yang layak bagi Allah dan dikehendaki-Nya menjadi sempurna. Ia tahu bahwa Allah memiliki satu sifat yang selalu ada, yaitu al-raẖmâh (kasih sayang) yang menjadi akar dari segala bentuk perwujudan sifat itu. Namun, sifat itu tidak sama dengan sifat makhluk-makhluk-Nya (yang juga memiliki sifat kasih sayang). Penyebutan al-raẖîm setelah al-raẖmân sama halnya menyebutkan dalil setelah madlûl (yang diberi dalil) sebagai penjelasan terhadapnya.
Saya katakan bahwa Ibn Al-Qayyim sejak dahulu telah membedakan antara kedua bentuk kata itu. Namun, beliau berbeda pandangan mengenai dalâlah (makna yang ditunjukkan) kedua nama yang mulia itu.
Ibn Al-Qayyum menjelaskan, “Penggabungan kata al-raẖmân dan al-raẖîm mengandung makna yang mendalam.” Al-Raẖmân menunjuk pada satu sifat kasih sayang yang melekat kuat pada Allah Swt. Sedangkan, al-raẖîm menunjukkan keterkaitan sifat itu dengan objeknya. Seolah-olah kata pertama adalah kata sifat dan kata kedua adalah kata kerja. Kata pertama menunjukkan bahwa kasih sayang adalah satu sifat yang dimiliki Allah atau sifat Zat-Nya. Kata kedua menunjukkan bahwa Dia mengasihi semua makhluk dengan kasih sayang-Nya itu. Ini adalah sifat perbuatan-Nya.
Jika Anda ingin memahami pandangan di atas, silakan telaah ayat:
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا
“Dan, terhadap orang-orang Mukmin, Dia Maha Penyayang (raẖîm)” (QS Al-Ahzab – 33: 43)
Juga:
اِنَّه بِهِمْ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Sesungguhnya Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang (raẖîm) terhadap mereka.” (QS At-Taubah – 9: 117)
Dalam dua surah ini sama sekali tidak disebutkan kata al-raẖmân. Dengan demikian, Anda tahu bahwa al-Raẖmân berarti yang memiliki sifat kasih sayang (al-raẖmah). Sedangkan, al-raẖîm berarti yang mengasihi dengan kasih sayang (raẖmah)-Nya. Ibn Al-Qayyim berkata, “Inilah rahasia yang amat pelik. Hampir tidak dapat ditemukan dalam kitab mana pun. Kalau cermin hatimu berhenti sejenak, rahasia itu tidak akan tampak.”
Di tempat yang lain telah saya bahas bahwa nama al-raẖmân di dalam Al-Qur’an juga dijadikan nama jenis seperti nama Allah yang seluruh sifat Allah dan al-asmâ’ al-ẖusnâ’ terhimpun oleh nama itu. Dia berfirman,
قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰن
“Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah Al-Raẖmân. Dengan nama mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asmâ’ al-ẖusnâ’ (nama-nama yang terbaik.’” (QS Al-Isrâ – 17: 110)
Kata al-raẖmân terkadang digunakan dalam arti yang tidak ada kaitannya dengan makna ‘mengasihkan rahmat kepada hamba-hamba-Nya’. Misalnya, dalam ayat yang menceritakan ucapan Nabi Ibrahim kepada ayahnya,
يٰاَبَتِ اِنِّي اَخَافُ اَنْ يَّمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمٰنِ
“Wahai Bapakku! Sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa azab dari Al-Raẖmân (Tuhan Yang Maha Pemurah).” (QS Maryam -19: 45)
Sebelumnya telah saya jelaskan bahwa menurut mazhab salaf, kasih sayang (al-raẖmâh) merupakan sifat dzât yang mesti dipahami dengan pendekatan tanzih (apa adanya tanpa menyamakan dengan makhluk). Tidak harus dilakukan takwil seperti yang dilakukan oleh mazhab mutakallimin. Dengan begitu, mesti dikatakan bahwa kasih sayang (raẖmâh) Allah Swt lebih tinggi dan lebih sempurna dibanding dengan kasih sayang hamba-hamba-Nya. Sifat yang dimiliki-Nya itu (raẖmâh) bukanlah dorongan emosional dan psikologis. Sama halnya dengan sifat mengetahui, berkuasa, dan seluruh sifat-Nya yang lain yang tentu lebih tinggi dan lebih sempurna daripada sifat sejenis yang dimiliki makhluk-makhluk-Nya. Sifat-sfat-Nya tidak sama dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Sifat-sifat-Nya tidak sama dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Zat-Nya pun tidak sama dengan zat mereka.*
SUMBER: Diambil dari buku TAFSIR AL-FATIHAH, Menemukan Hakikat Ibadah; Muhammad Rasyid Ridha; Penerjemah: Tiar Anwar Bachtiar; Penerbit: Al-Bayan (2005). Terjemahan dari karya asli beliau: Tafsir Al-Fatihah wa Sittu Suwar min Khawatim Al-Qur’an, terbitan Al-Zahra li al-I’lam al-‘Arabi, Kairo.
BACA JUGA:
TAFSIR AL-FATIHAH, RASYID RIDHA – Tinjauan Umum
Pesan-Pesan Al-Fatihah yang Patut Direnungkan dalam Shalat – M. Rasyid Ridha
Tafsir Ringkas Surat Al-Fatihah – Syekh Ahmad Surkati
3 thoughts on “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 1”