Sejarah dan Tujuan Puasa

Al-Ustadz UMAR HUBEISOleh: Al-Ustadz Umar Hubeis (1904-1979)

(Murid Syekh Ahmad Surkati di Madrasah Al-Irsyad Batavia. Lahir di Jakarta kemudian setelah lulus dikirim Syekh Ahmad Surkati untuk memimpin Madrasah Al-Irsyad Surabaya. Beliau meninggal di Surabaya). 

Allah swt. Berfirman,

Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat yang sebelum kamu, agar kamu sama bertakwa.” (al-Baqarah: 183)

Dijelaskan pada ayat tersebut tujuan dari kewajiban ibadah puasa, yaitu “agar bertakwa”.

Takwa artinya: “Penyempurnaan kepatuhan mutlak kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.” Takwa itu akan menambah kesucian jiwa, kesehatan badan, dan keluhuran akhlak. Takwa akan menstabilkan akal fikiran, memerdekakan kehendak-iradah, membebaskannya dari belenggu kebiasaan-kebiasaan dan pengaruh syahwat.

Sebenarnya, kebanyakan manusia diperbudak oleh syahwat dan adat kebiasaan sampai dia tidak lagi mempedulikan halal atau haram, manfaat atau madharat. Maka puasa akan melatihnya untuk meninggalkan kebiasaan seperti makan pagi, makan tengah hari, minum kopi dan merokok. Semua itu ditinggalkan karena patuhnya kepada Tuhannya, bukan kerana sebab lain. Seseorang yang sudah menjalankan puasa dengan ikhlas, ia akan memiliki sifat muraqabah (mawas diri) dan perasaan malu pada Tuhan, bila ia melanggar perintah-Nya atau larangan-Nya atau menjadi hamba bagi selain-Nya.

Umat beragama sebelum Islam juga mengenal puasa sebagai suatu kewajiban, akan tetapi sudah mengalami bermacam-macam perubahan. Di antara pengikut Brahma ada yang berpuasa 24 hari atau 40 hari berturut-turut dengan cara yang sangat berat, yaitu dengan bersemedi di goa-goa beryoga atau bergelandangan di terik panas matahari dan sebagainya.

Sebaliknya, kaum Yahudi dan kaum Nasrani, umat Katolik pada hari-hari tertentu berkewajiban menahan nafsu makan, yaitu sedikit makan di pagi hari sekadar penyegar badan, tengah hari diperbolehkan makan kenyang tetapi petangnya hanya sedikit pula. Sewaktu-waktu, di tengah hari diizinkan juga makan daging, kecuali pada hari-hari pantang, dan sebagainya. Untuk jelasnya baca Ensiklopedia Indonesia.

Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa bukan begitulah waktu dan cara puasa. Maka Allah swt mengutus beliau untuk membawa kebenaran, sekaligus mengoreksi apa yang dilakukan sebelumnya dan membebaskan mereka dari belenggu yang memberatkan mereka agar mereka berbahagia. Bacalah Al-Qur’an surat al-Ma-‘idah ayat 48 dan surat al-A’raaf ayat 157.

Rasulullah saw bersabda,

Sesungguhnya sendi agama Islam itu ada tiga: syahadat yang meyakinkan keesaan Tuhan, shalat yang wajib, dan puasa pada bulan Ramadhan. Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan dengan memperhatikan hukum-hukum dan adab-adabnya serta memelihara dirinya dari segala apa yang diwajibkan untuk dijauhi, niscaya puasanya itu akan mengugurkan dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Ahmad dan Baihaqi)

Barang siapa tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tanpa uzur, seperti sakit dan sebagainya, maka tidak tertebus dengan puasa dahr (puasa seumur hidup)(HR Abu Dawud)

Puasa itu wajib bagi setiap orang muslim dan muslimah yang sudah mukallaf. Kewajiban ini dapat diringankan bagi orang yang telah lanjut usia, orang sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, orang yang kerjanya sangat berarti seperti buruh tambang, begitu pula seorang wanita yang tengah mengandung atau menyusui anaknya. Maka bagi mereka itu, apabila tidak kuat atau takut menderita madharat karena puasa itu, diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak wajib qadha, hanya diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi pada orang miskin untuk seharinya. Demikian tafsir Al-Manar tentang ayat 184 surah al-Baqarah. Di dalam ayat tersebut juga disebut : orang sakit atau orang yang takut sakit bila dia berpuasa diperbolehkan untuk tidak berpuasa tetapi dengan wajib qadha.

Wanita yang sedang haid atau sedang nifas (sesudah melahirkan) diharamkan baginya untuk berpuasa dan wajib qadha sesudah suci dari dua macam darah itu.

Waktu Puasa ialah sesudah fajar menyingsing sampai matahari terbenam. Pada waktu puasa diharamkan makan, minum, bersenggama, bersetubuh, memasukkan sesuatu ke dalam melalui mulut, hidung, telinga, kubul, dubur, walaupun sedikit, keras, cair, atau berupa asap seperti asap rokok. Akan tetapi, memasukkan sesuatu dengan perantaraan injeksi atau pengobatan mata, tidak membatalkan puasa, diperbolehkan, begitu juga hukumnya kalau mengerjakan semua larangan itu karena betul-betul lupa.

Seseorang yang berpuasa hendaknya menahan nafsu, menjauhkan diri dari sengketa, memaki-maki, dan dari segala kezhaliman. Seseorang yang tidak meninggalkan dusta, bicara cabul, hasut, dengki, fitnah, korupsi waktu atau uang, khianat terhadap agama, Nabi dan bangsa, maka belumlah dapat dinamakan shaa’im (berpuasa).

Disunnahkan agar bersahur, makan malam sebelum fajar (kurang lebih 10-30 menit) dan menyelenggarakan buka sesudah matahari terbenam sebelum shalat dan membaca do’a:

Ya Allah, karena Engkaulah aku berpuasa, dan dengan rezeki Engkau aku berbuka, dan kepada Engkau aku beriman.”

Selain shaum wajib pada bulan Ramadhan atau shaum wajib karena “nazar”, niat mewajibkan puasa atas dirinya bila berhasil maksudnya, ada pula shaum sunnah menurut kehendak yang ingin berpuasa, asal tidak berlebih-lebihan dan tidak dikerjakan pada dua hari raya (Syawwal dan Haji). Niat berpuasa wajib harus dilakukan waktu malam sebelum fajar menyingsing, sedang niat untuk puasa sunnah boleh sesudah subuh. Hari-hari Rasulullah berpuasa ialah hari tanggal 9 bulan Haji, kecuali bila beliau sedang berhaji, hari kesepuluh Muharram dan pada tiap hari Senin dan Kamis. Ketika ditanya mengapa, menjawab, “Karena pada dua hari itu, Senin dan Kamis, dilaporkan amal tiap orang dan diberi ampun bagi setiap orang mumin (yang berpuasa, kecuali mereka yang sedang memutuskan hubungannya (tidak saling bicara) dengan saudaranya. (HR Ahmad.) Seseorang tidak boleh memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari.

Di zaman Rasulullah saw ada seorang sahabat bernama Abu Darda hendak berpuasa wisaal (siang malam) dan Abdullah Ibnu Amr telah berpuasa tiap hari. Ada sahabat lain hendak berpuasa dalam perperangan dan ada lagi yang sudah berpuasa dalam perjalanannya sampai pingsan karena panas dan lemah badannya. Samua mereka itu dicela, bahkan diancam dengan hukuman. Rasulullah saw bersabda kepada Abu Darda dan kepada Abdullah Ibnu Amr,

Sesungguhnya dirimu sendiri, istrimu, tetanggamu, tamumu, dan Tuhanmu masing-masing mempunyai hak atasmu. Karena itu berilah hak mereka masing-masing.” (HR Ahmad dan Bukhari)

Maksudnya ialah agar dalam beribadah tidak harus mengabaikan kesehatan, mengorbankan kerukunan berumah tangga atau mengorbankan kerukunan berumah tangga atau mengorbankan pergaulan bertetangga dan bermasyarakat.

Abu Said al-Khudri ra. berkata, “Aku menyediakan makanan untuk Rasulullah saw., kemudian beliau datang bersama beberapa sahabatnya. Ketika aku hidangkan makanan itu, ada di antara mereka yang berkata, ʻ Aku puasa.’ Lalu beliau bersabda, ʻSaudaramu mengundangmu dan ia dengan susah payah menyiapkan hidangan ini. Bukalah dan qadhalah nanti jika engkau ingin mengqadha (qadha puasa sunnah tidak wajib).’” (HR. al-Baihaqi)

Dr. Med. Ramali menulis tentang puasa antara lain sebagai berikut:

“Jika pada orang lain ʻTuhan itu ada di sisinya’ adalah suatu kepercayaan, bagi orang yang berpuasa hal itu menjadi suatu kenyataan. Dan yang demikian ini tidak sedikit disebabkan oleh disiplin jiwa dan moril, yang menjadi pokok dasar puasa itu. Suatu kesadaran hidup yang lebih tinggi menjulang di antara hidup yang hanya dipupuk dengan makan minum saja, lalu menyingsing di dalam hidup rohani orang yang berpuasa itu, seperti fajar menyingsing pada dini hari, pada ketika terang pecahkan gelap. Sesungguhnya puasa itu adalah suatu masa latihan dan dalam latihan inilah orang itu mendapat pelajaran susila yang terbesar dalam hidupnya, yakni bahwa dia harus senantiasa siap sedia dan rela menderita kekurangan dan kesukaran hidup yang seberat-beratnya. Dan bahwa dia harus selalu kuat dan kokoh menangkis segala daya dan bujukan iblis. Dalam bulan puasa itulah dilatih kemauan kerasnya. Dilatihnya dirinya menguasai dan mengalahkan nafsu dan hasrat keduniaan. Baik sekali kita kemukakan di sini apa yang disebut dalam sabda Nabi Muhammad saw yang berhubungan dengan itu. Rasulullah telah berkata, ‘Apabila bulan Ramadhan sudah datang, sekalian pintu surga dibuka. Dan tertutuplah semua pintu neraka. Setan pun terkurung.’ (HR. Bukhari)

Sabda Nabi itu bolehlah kita umpamakan lukisan orang yang puasa, setan dan iblis dikurung, padanya berarti: dia menahan dan menundukkan segala hawa nafsunya yang tidak baik, hawa nafsu yang selalu dihidup-hidupkan iblis supaya manusia berbuat jahat. Pintu neraka ditutupnya, sebab ia menjauhkan dirinya dari segala kejahatan, yang sebenarnya adalah neraka manusia di atas dunia ini. Pintu surga terbuka baginya sebab ia bisa mengebelakangkan segala hasrat dan cita-cita duniawi agar dapat berbakti kepada Allah, supaya dapat mendekati Dia yang menjadikannya.

Bagi kesehatan pun ada arti dan kepentingan berpuasa itu, seperti yang sudah disangkakan oleh Optiz dan Wessel Rasslan dan seperti sudah diajarkan 2.000 tahun yang lalu oleh Gelgius. Istirahat yang diberikan kepada alat-alat pencernaan tiap-tiap siang hari sebulan lamanya, tak lain menambah tenaganya semata, seperti tanah ladang yang diberikan beberapa lamanya agar kesuburannya memberi hasil. Timbul pula tenaga kembali, sebab alat-alat tubuh manusia itu sudah dijadikan demikian, hingga istirahat baginya berarti menambah tenaga bekerja dan kekuatan menahan payah. Makin baik kerja usus besar dan usus panjang, makin sehat tubuh itu.

Nabi Muhammad saw telah bersabda, ‘Berpuasalah agar kamu sehat.’”

Demikianlah tulisan dr. Med. Ahmad Ramali dalam kitabnya: Peraturan-peraturan untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara Islam (hal. 294-295).

Allah swt dengan jelas menerangkan bahwa manusia tidak sama. Ada manusia yang beramal untuk memperoleh manfaatnya di dunia saja dan ada pula manusia yang beramal untuk keridhaan Tuhannya, agar memperoleh kembali kelak pada hari kiamat. Maka Allah akan meluluskan harapan masing-masing. Hanya orang yang mengharap keridhaan-Nya akan diberi manfaat amal itu di dunia dan pahalanya nanti di akhirat. Bacalah ayat 18-20 surat al-Isra’ dan ayat 200-203 surah al-Baqarah.

Puasa dianggap amal ibadah bila dilaksanakan dengan perasaan patuh dan ikhlas untuk Allah swt, bukan untuk selain-Nya. Puasa inilah yang akan menguntungkan pelakunya di dunia dengan manfaatnya dan nanti di akhirat memperoleh sebesar-besar dari Allah swt.

Rasulullah saw bersabda,

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

Bagi seseorang yang berpuasa ada dua kegembiraan. Pertama, waktu berbuka; kedua, tatkala dia bertemu dengan Tuhannya.” (HR Muslim)

Beliau juga bersabda,

Sesungguhnya ada pintu di surga, namanya Rayyan. Nanti pada hari kiamat dimasukkan orang-orang yang berpuasa ke dalamnya, lalu ditutup sesudah masuk orang terakhir dari mereka yang berpuasa.” (HR Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah swt. menolong kita agar menjalankan puasa sebagaimana kehendak-Nya. *

Sumber: FATAWA Ustadz Umar Hubeis, Anda Bertanya Ustadz Umar Menjawab; terbitan PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Tahun 2013.

2 thoughts on “Sejarah dan Tujuan Puasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *