Oleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)
Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad A-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.
Wahai orang Muslim, apabila engkau berdiri menegakkan shalat, hadapkanlah segenap hatimu untuk memahami suara zikir dan tilâwah (bacaan) yang keluar dari mulutmu. Saat engkau mengucapkan Allâhu Akbar, camkanlah dalam hatimu bahwa Allah SWT adalah Mahaagung dan Mahabesar. Tidak pantas ada sesuatu selain-Nya yang memalingkanmu dari shalat. Sebab, segala sesuatu lebih rendah daripada-Nya.
Saat engkau membaca doa iftitâh, janganlah jiwamu disibukkan oleh apa punselain oleh makna yang terkandung di dalam doa itu. Makna itu tersirat begitu jelas. Saat engkau membaca ta’awwudz (a’ûdzu billâhi minasy-syaithân ar-rajîm), ketahuilah bahwa engkau sedang mengamalkan firman Allah SWT,
فَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ
“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS An-Nahl -16:98)
Bayangkanlah makna kalimat isti’âdzah tersebut. Dalam hal ini, engkau tengah menyandarkan diri dan bergantung kepada Allah SWT dari terjangan bisikan-bisikan setan yang akan melalaikanmu dari shalat dan dari keharusan menelaah kitab Allah, khusyuk, serta mengikhlaskan niat hanya untuk-Nya.
Saat engkau membaca basmalah, telaahlah maknanya. Sesungguhnya aku shalat atau membaca bismillâh yang menjadi syariat shalat adalah karena ditakdirkan oleh Allah Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang. Dialah pemilik kasih sayang universal yang menyebar untuk segala sesuatu di dunia dan akhirat dan Pemilik kasih sayang khusus yang diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya yang ikhlas.
Saat engkau membaca Al-ẖamdu lillâhi rabbil-‘âlamîn, hayatilah maknanya bahwa segala pujian yang baik sesungguhnya hanya milik Allah SWT, yang paling berhak mendapatkannya. Sebab, Dialah Tuhan yang menciptakan seluruh alam, mengurus, dan mengatur seluruh urusan mereka. Dialah, Al-Raẖmân, Sang Pemilik kasih. Dialah Al-Raẖîm, Yang Mengasihi seluruh ciptaan-Nya. Dialah Mâliki yaumid-din, Yang Merajai dan Mengatur seluruh makhluk pada Hari Perhitungan dan Pembalasan amal mereka. Tidak ada yang diharakan selain Dia.
Saat engkau mengucapkan iyyâka na’budu, ingatlah bahwa engkau tengah bertatap muka dengan Tuhan Yang Mahabesar yang mewajibkan agar engkau membenarkan-Nya. Makna ucapan itu adalah kami hanya menyembah-Mu, tidak kepada yang lain, dengan berdoa dan menghadapkan muka kepada-Mu. Sedangkan, wa iyyâka nasta’în bermakna: kami hanya memohon pertolongan-Mu untuk beribadah kepada-Mu dan mengerjakan seluruh urusan kami. Kami tetap berikhtiar sesuai dengan kemampuan kami dan bertawakal hanya kepada-Mu saat kami tidak mampu mengerjakannya.
Ihdinash-shirâthal-mustaqîm bermakna tunjukkan dan antarkanlah kami dengan taufik dan pertolongan-Mu pada jalan kebenaran, baik lmu maupun amal, yang tidak bengkok dan tidak rusak. Jalan kebenaran itu adalah jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat dengan keimanan yang benar, amal saleh, dan buahnya, yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ingatkan olehmu dalam benakmu bahwa mereka adalah para nabi, orang-orang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Caramu mendapatkan petunjuk menuju jalan mereka adalah dengan mencontoh dan meneladani mereka di dunia. Maka, di akhirat kelak engkau akan menjadi teman mereka. Mereka adalah sebaik-baik teman. Jalan kebenaran itu bukan jalan (cara) yang ditempuh oleh orang-orang yang dimurkai karena mereka lebih memilih kebatilan daripada kebenaran dan lebih mengutamakan keburukan daripada kebaikan. Dan, bukan pula jalan orang-orang yang tersesat dari jalan kebenaran dan kebaikan karena kebodohan mereka:
اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
“(Yaitu) orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini. Sedangkan, mereka mengira bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al-Kahfi: 104)
Saya nasihatkan kepada Anda, wahai orang yang membaca Al-Qur’an, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Bacalah Al-Qur’an dengan tenang dan tidak tergesa-gesa, disertai khusyuk dan penghayatan. Berhentilah pada setiap ayat. Bacalah dengan tajwid dan nada yang merdu. Namun, jangan terlalu memaksakan diri dan bernyanyi-nyanyi. Juga, berhati-hatilah agar lantunan kata-kata tidak lebih menyibukkan Anda daripada makna-makna yang dikandungnya. Membaca satu ayat dengan penuh kekhusyukan dan penghayatan lebih baik daripada membaca sampai tamat dalam keadaan lalai.
Di antara hal-hal yang merusak adalah menutup mata saat shalat yang akan berpengaruh pada pikiran. Oleh sebab itu, memejamkan mata pada saat shalat makruh hukumnya. Saat melaksanakan shalat jahar, terutama saat shalat malam, keraskanlah suara sepantasnya. Hal itu akan menyingkirkan kelalaian dan membangkitkan kekhusyukan. Membaca setiap kata dengan intonasi yang tepat sesuai dengan kedudukannya dalam struktur kalimat akan membantu memahami makna bacaan dan merangsang air mata tercucur yang akan mengurangi kelalaian.
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيْلً
“Dan, janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalat dan janganlah merendahkannya. Carilah jalan tengah di antara keduanya itu.” (QS Al-Isrâ’ -17:110)
Untuk penjelasan lebih lengkap tentang pengaruh bacaan dapat dilihat dalam Tafsir Al-Manâr pada pembahasan tafsir awal Surah Al-A’râf yang membahas huruf-huruf yang berdiri sendiri.*
SUMBER: Buku TAFSIR AL-FATIHAH, Menemukan Hakikat Ibadah; Muhammad Rasyid Ridha; Penerbit: Al-Bayan (2005). Terjemahan dari karya asli beliau: Tafsir Al-Fatihah wa Sittu Suwar min Khawatim Al-Qur’an, terbitan Al-Zahra li al-I’lam al-‘Arabi, Kairo.
4 thoughts on “Pesan-Pesan Al-Fatihah yang Patut Direnungkan dalam Shalat”