Penggunaan Hisab dan Rukyat
Oleh: Al-Ustadz Umar Hubeis (1904-1979)
Rasulullah saw. telah menetapkan awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal dengan rukyat. Beliau bersabda,
“Kita adalah suatu umat yang bodoh, tidak pandai menulis dan tidak pandai menghitung (hisab) bahwa satu bulan adakalanya 29 hari atau 30 hari.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar al-Asqalani menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kata “kita” dalam hadits di atas adalah kaum muslimin pada masa itu, saat beliau mengucapkan sabda itu. Kebanyakan mereka buta huruf dan tidak mengerti perhitungan (Fathul Baari IV hal. 89).
Rasulullah saw. bersabda,
“Janganlah kamu berpuasa hingga kamu melihat bulan. Dan jangan kamu berbuka hingga kamu melihat bulan. Maka apabila terhalang (tertutup oleh kabut), kirakanlah.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kata “kirakanlah” di atas adalah: perhitungkanlah, hisablah peredaran bulan itu (hisabul manazil). Demikianlah penafsiran sebagian ulama, seperti yang tertera dalam kitab Fathul Baari IV hal. 86.
Kebanyakan ulama mempergunakan rukyat lantaran dua hadits Rasulullah saw. di atas serta hadits-hadits lain. Memang begitu kenyataan yang berlaku pada zaman Nabi.
Namun demikian, ada pula ulama yang menjadikan dua hadits itu sebagai pendorong untuk berilmu, agar kemudian dapat menentukan permulaan bulan dengan hisab, tidak lagi dengan rukyah yang ada kalanya salah. Sebaliknya hisab itu dianggap ilmu yakin, qath’i, bukan zhanni seperti rukyah itu.
Tajuddin as-Subki dari ulama Syafi’iyah menulis antara lain:
“Apabila hisab sudah menunjukkan tanda-tanda yang positif, dimana rukyah tak akan dapat dilihat karena bulan sangat dekat dengan matahari, maka dalam keadaan demikian rukyah itu takkan dapat dilakukan, bahkan mustahil. Jika ada seseorang yang membawa berita rukyah yang kemungkinan beritanya itu dusta atau salah, maka kabar itu harus ditolak. Adapun hisab sudah positif, sedangkan soal penyaksian dan berita rukyah masih bersifat dugaan. Sudah tentu dugaan itu tak dapat mengalahkan kepastian.” (kitab Bayanul Adillah fi Isbaatil Ahillah).
Al-Qur’an sendiri cukup memberi perangsang dan dorongan agar umat Islam mempelajari perjalanan bulan, matahari dan planet-planet lainnya.
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan menentukan peredarannya, agar kalian mengetahui hitungan tahun-tahun dan mengetahui hisab (perhitungan). Hanya atas kebenaranlah Allah menciptakan semua itu. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang berpengetahuan.” (Yunus: 5)
Firman-Nya pula,
“Peredaran bulan dan matahari sudah dengan perhitungan.” (ar-Rahmaan: 5)
“Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kebalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengerjar bulan dan malam pun tidak mungkin mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Yaa-Sin: 39-40)
Ayat-ayat itu adalah sebagian dari ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menyebut adanya hisab sebagai perangsang dan anjuran bagi para ulama, yang tidak lagi merupakan ummatan ummiyah, umat yang buta huruf dan buta ilmu sebagai illat, sebagai penentuan wajib ber-rukyah sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits yang kami kutip sebelumnya.
Agama Islam telah menentukan waktu untuk ibadah dan hukum-hukum agama atas dasar peredaran bulan atau peredaran matahari. Para ulama juga telah meninggalkan prinsip rukyah dalam segala hal kecuali dalam soal penetapan Ramadhan dan awal Syawwal.
Dalam menentukan masa iddah karena kematian atau perceraian, waktu berbuka dan berimsak pada bulan puasa, mengerjakan shalat lima waktu, mereka tidak lagi menggunakan rukyat. Mereka telah menggunakan hisab dengan menetapkan jam-jam oleh para ahli hisab untuk waktu setahun atau lebih. Padahal Rasulullah saw. telah menetapkan waktu shalat dengan melihat (rukyat) condong dan tenggelamnya matahari untuk waktu zhuhur, ashar, maghrib, isya, serta menyingsingnya fajar untuk shalat shubuh. Mereka menyadari bahwa Nabi saw. menggariskan semua itu bukan untuk beribadat dengan mengetahui tanda-tanda naik fajar atau beribadat dengan melihat condong serta tenggelamnya matahari, melainkan Rasulullah saw. bermaksud selama umat Islam masih ummmiyah maka hendaklah pandangan mata (rukyat) yang dipergunakan agar semua dapat bersama (bersatu) dalam menentukan kewajiban beribadat sedapat mungkin.*