Mabadi Alirsyad (6 dari 6 bagian, Habis)

Tafsir dan Keterangan (3-Habis)

Oleh: Geys Amar, SH (Ketua Umum PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah 1982-2000)

Geys Amar baju putih  28. BID’AH

Bid’ah adalah semua perbuatan keagamaan yang tidak didasarkan atas perintah Allah dan Rasul-Nya.

Menurut Syekh Ahmad Surkati, perbuatan bid’ah berpangkal dari pengertian al-Din yang disisi lain adalah al–Dunya. Jika bid’ah tumbuh dalam al-Din ia harus ditolak karena sesat, tapi kalau tumbuh dalam sisi al-Dunya adalah diterima

Pengertian al-Din dan al-Dunya dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, yaitu:

Al-Din berarti:

– Al-khudu′ al-mutlaq (tunduk secara mutlak) dalam kaitannya dengan ungkapan maliki yauma ad-din atau yaum al-khudu’ (hari penyerahan secara mutlak).

– Al-ibadah, pendekatan diri kepada Allah dengan cara yang telah ditentukan oleh Allah. Perhatikan surat Al Bayyinah (98) ayat 5:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

          Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah  Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.”

– Al-qanun al-samawi, peraturan dari Allah yang wajib ditaati dengan mutlak tanpa pemilihan yang tidak diizinkan, dan dijunjung tinggi serta dilakukan tanpa perasaan sesak dada dengan keyakinan Allah lebih mengetahui dan lebih bijaksana, sebagaimana disebut didalam surat Al-Hajj (22) ayat78:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”

Dari pengertian al-Din seperti di atas kita dapat mendekati makna bid’ah, karena al-Din sudah mengandung ketentuan dan cara untuk melaksanakan ketentuan tersebut. Bahkan Nabi pun dilarang atau tidak bisa mengubah sekehendaknya kaidah-kaidah peribadatan. Perhatikan ayat Al-Qur’an dalam surat Yunus (10) ayat 15:

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: ‘Datangkanlah Al Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia’. Katakanlah: ‘Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)’.” (Yunus: 15)

Memang, Imam Syafii telah menggolongkan bid’ah didalam fiqih menjadi dua macam, yaitu: (1) bid’ah madhmumah, dan (2) bid’ah mahmudah. Lalu beliau menjabarkan hal ini ke dalam hukum fiqih menjadi lima macam, yaitu:

1)  Bid’ah al-wajibah (bid’ah yang diwajibkan), yaitu segala sesuatu yang mendukung hal-hal yang wajib dan alasan-alasannya. Dalam bentuk ini tercakup segala yang dapat memelihara agama dan dapat menjelaskan hukumnya. Misalnya, mengumpulkan dan menyusun mushaf Al-Qur’an atau menyebarkan ilmu yang dapat membantu memahami Al-Qur’an.

2)  Bid’ah al-wajibah Bid’ah al-mandubah (bid’ah yang terpuji), yaitu segala sesuatu yang mendukung hal-hal yang sunah dan dalil-dalilnya, misalnya shalat tarawih berjamaah di masjid.

3)  Bid’ah al-mubahah (bid’ah yang mubah), yaitu segala sesuatu yang mendukung hal-hal yang dibolehkan dan dalil syariatnya, misalnya seperti bersenang-senang dalam perjalanan.

4)  Bid’ah al-makruhah (bid’ah yang makruh), yaitu segala sesuatu yang membawa pada hal-hal yang makruh, misalnya berlebih-lebihan mengerjakan hal-hal yang sunnah yang telah ditentukan batasannya oleh Rasulullah, misalnya banyak mengerjakan shalat rawatib sehingga shalat wajibnya tertunda.

5)  Bid’ah al-muharramah (bid’ah yang haram), yaitu segala sesuatu yang mendukung hal yang haram, misalnya mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kelima penggolongan di atas, disamping tidak sesuai juga bertentangan dengan hukum syariah, karena pintu bid’ah akan selalu terbuka bagi mereka yang akan mengadakan bid’ah.

Al-Dunya berarti segala sesuatu yang tidak termasuk sasaran yang ditegaskan kepada para Rasul. Contohnya: pertanian, pertukangan, perindustrian. Masalah-masalah keduniaan tersebut asal hukumnya mubah, di mana semua masalah keduniaan itu boleh asal bermanfaat dan tidak membahayakan masyarakat atau individu, kecuali bila ada dalil yang melarangnya.

Islam sebagai agama sudah dinyatakan oleh Allah sebagai telah sempurna, sebagaimana pernyataan Al-Qur’an dalam surat Al-Maidah (5) ayat 3:

اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maa-‘idah: 3)

Contoh-contoh perbuatan bid’ah:

1)  Membayar fidyah, dalam arti seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada orang lain untuk tebusan terhadap shalat anggota keluarganya, dengan kata-kata: “Terimalah uang ini sebagai penebus shalat dan puasa si fulan.” Dan si penerima menjawab: “Saya terima pemberian ini.” Perbuatan sedemikian ini dilarang karena tidak didasarkan atas dalil agama dan merupakan bid’ah.

2)  Membaca talqin terhadap mayat yang baru dikubur. Perbuatan ini tidak berdasarkan tuntunan Al-Qur’an atau Sunah Rasul. Tidak pula diperoleh petunjuk dari para sahabat atau imam mujtahid. Perbuatan membaca talqin menurut kecenderungan banyak ulama yang menyetujui, sekali-kali tidak akan mengubah bid’ah menjadi agama. Sebab dalam pandangan agama bid’ah tetap bid’ah dhalalah meskipun dipandang baik oleh semua orang, sebagaimana sunnah tetap sunnah; meskipun tidak ada seorang pun yang menjalankannya.

3)  Perbuatan berdiri pada saat melakukan pembacaan kisah maulid Nabi Muhammad saw. bukan perbuatanlah agama! Apabila perbuatan tersebut dipandang sebagai perbuatan agama atau termasuk dalam lingkup al-Din, maka perbuatan tersebut merupakan bid’ah.

4)  Mengucapkan niat “nawaitu ushalli…” adalah perbuatan bid’ah. Melafalkan niat demikian merupakan tambahan dalam melaksanakan niat, yang seharusnya merupakan maksud di dalam hati. Tidak pernah ada petunjuk bahwa perbuatan demikian itu dirawikan orang dari Nabi saw. atau dari para sahabat, ataupun dari salah satu imam yang empat. Lebih tidak beralasan lagi, pendapat tentang wajib atau sunnah pengucapan lafal niat. Hal sedemikian berarti “mewajibkan apa yang sebenarnya tidak wajib”.

5)  Adat kebiasaan untuk melakukan upacara tahlil di rumah orang yang baru mengalami musibah kematian salah satu anggota keluarganya adalah bid’ah dan bertentangan dengan sunnah Rasul. Perbuatan sedemikian membebani keluarga yang mengalami musibah. Adalah perbuatan yang terpuji terhadap keluarga yang mengalami kematian ialah menyediakan makanan, sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika Ja’far bin Abi Thalib meninggal dunia maka Nabi saw. bersabda:

Agar kamu membuat makanan bagi keluarga Ja’far, sebab mereka telah ditimpa sesuatu yang membuat mereka lupa makan.”

9. SUNNAH

Kata al-Sunnah mempunyai makna yang bermacam-macam, antara lain:

– Suatu hukum dan ketetapan. Coba perhatikan kalimat Al-Qur’an dalam surat al-Isra’ (17) ayat 76-77.:

وَإِن كَادُواْ لَيَسْتَفِزُّونَكَ مِنَ الأَرْضِ لِيُخْرِجوكَ مِنْهَا وَإِذًا لاَّ يَلْبَثُونَ خِلافَكَ إِلاَّ قَلِيلاً

سُنَّةَ مَن قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِن رُّسُلِنَا وَلاَ تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلاً

Dan sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekkah) untuk mengusirmu daripadanya, dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja. (Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu.” (al-Israa’: 76-77)

Bentuk ketetapan (sunnah) dari dua ayat di atas adalah bahwa tiap-tiap umat yang mengusir rasul pasti dibinasakan oleh Allah.

– Jalan dan cara hidup, yang dilalui seseorang atau golongan. Ini berdasarkan ungkapan Rasulullah: “Annikaah sunnati (nikah itu sunnahku – jalan dan cara hidupku)”. Yaitu, sesuatu yang bersumber dari Nabi yang dijadikan dalil selain dalil Al-Qur’an.

Menurut para ahli hadist, sunnah ialah perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw.. Sedang ahli fiqih mengartikan sunnah sebagai perbuatan yang apabila dikerjakan memperoleh pahala, dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.

Dari dalil-dalil tersebut Syekh Ahmad Surkati mengetengahkan pendapatnya dalam hal ibadah, sebagai berikut:

Asal hukum setiap peribadatan, di mana orang tidak diperkenankan mengada-ada sesuatu atau menambah dalam bentuk apapun kecuali atas dasar syariat dari Allah dan Rasul-Nya dengan dalil yang tegas berupa ucapan, perbuatan dan persetujuan. Perhatikan Al-Qur’an surat ash-Shuraa’ (42) ayat 21 dan surat Huud (11) ayat 112.

Perkataan sunnah yang dinisbahkan kepada seseorang selain Rasulullah bukan berarti perkenan menciptakan cara yang bersifat ibadah. Hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menciptakan cara yang baik dalam Islam (man sanna sunnat hasanah), ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa menciptakan cara yang jelek dalam Islam (sunnat sayyi’ah) ia menanggung dosanya ditambah dosa mereka yang mengikutinya.”

Pengertian perkataan “sanna sunnah” bukan berarti membuat syariat baru, dimana perbuatan demikian dilarang oleh Allah dan menolak pendapat yang mendukung dibolehkannya bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.

10.  SYAFA’AT

Makna syafa’at adalah menunjukkan kekuasaan Allah yang mutlak dan tiada yang lain, bisa mewujudkan sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya. Hanya Dia yang bisa memberi apapun, pemberian siksa dan pahala di akhirat. Tidak ada yang dapat merubah ketetapan-Nya dan tiada yang sanggup memberi pertolongan tanpa izin-Nya.

Jadi syafa’at bukan dimaksudkan untuk menyelamatkan seseorang dari hukuman yang telah ditetapkan Allah, berupa siksa atau adzab yang pasti dan tidak dapat dielakkan.

Syafa’at juga bukan untuk menolak atau mangatasi hukum-hukum ketetapan Allah, karena Allah menetapkan hukum-hukum menurut kehendak-Nya, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya.

Tidak pula dengan syafa’at itu berarti Allah mencabut atau menarik kembali iradat-Nya, dalam hal menjatuhkan siksa kepada seseorang.

Dalil dari pada ketentuan syafa’at ialah:

وَاللّهُ يَحْكُمُ لاَ مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya, dan Dia-lah yang Maha cepat hisab-Nya.” (ar-Ra’d: 41)

قُلْ مَن بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Katakanlah: Siapa yang ditangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui.” (al-Mukminun: 88)

وَلَا تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ عِندَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَن قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan di hati mereka, mereka berkata: ʻApakah yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ʻ(Perkataan) yang benar,’ dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Saba’: 23)

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء

Siapakah yang dapat memberi syafa’at disisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yng di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak megetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikendaki-Nya.” (al-Baqarah: 255)

قُل لِّلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا لَّهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Katakanlah: ʻhanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan.’” (az-Zumar: 44)

Meski telah jelas penjelasan Allah Ta’ala sendiri tentang syafa′at, ternyata masih banyak pemahaman yang salah di masyarakat. Syafa′at diartikan dan diyakini sebagai: pembebasan diri dari siksa (azab) Allah, yaitu pembebasan atas ketetapan perhitungan amal manusia oleh Allah. Jadi menurut mereka, pembebasan itu karena pertolongan seseorang yang bisa memberikan syafa′at.

Sesungguhnya, barang siapa yang mempercayai bahwa syafa′at itu dapat membatalkan atau mengubah hukum Allah, atau menyelamatkan seseorang dari adzab yang telah dijatuhkan Allah kepadanya, maka orang yang berkeyakinan sedemikian berarti telah kafir!

11.  TAWASSUL

Pengertian tawassul adalah pendekatan kepada Allah, mencari jalan untuk mendapatkan keridhaan-Nya dengan jalan mentaati perintah-perintah-Nya, beribadat dan berdoa dengan rasa takut akan adzab-Nya dan mengharap rahmat-Nya.

Dalilnya adalah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang menyampaikan kamu kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keburuntungan.” (al-Maa-‘idah: 35)

Katakanlah: ʻPanggillah mereka yang kamu anggap (Tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (al-Israa’: 56-57)

Para ahli tafsir menegaskan bahwa yang dimaksud “mereka” (yang diminta berkat, syafa’at dan sebagainya) dalam ayat ini para nabi, seperti Isa as. dan Uzair.

Bila para nabi tidak mampu menolak/mengenyahkan bahaya dari dirinya, merekapun tentu tidak mungkin melakukan hal yang sama. Ini faham yang dianut Rasulullah saw. dan para sahabat dalam memahami ayat di atas dan diikuti para imam mujtahid. Belum pernah diceritakan bahwa ada seorangpun di antara mereka yang melakukan tawassul dengan menggunakan susuatau hak/kedudukannya sebagai makhluk Allah. Bahkan mereka semuanya melakukan tawassul dengan jalan pendekatan melalui ketaatan, berdoa dan memperbanyak istighfar.

Juga bertawassul dengan cara meminta kepada seseorang yang diperkirakan doanya makbul, agar ia (si peminta) atau lainnya didoakan. Dan ia tinggal menyerukan kata: amin (kabulkan Ya Allah) atas doa yang dipanjatkan kepada-Mu untuk kita. Cara ini dibolehkan, tetapi terbatas kepada yang masih hidup. Seperti yang pernah dilakukan Umar ibnul-Khattab dan para sahabat lainnya ketika mereka dalam suatu kesempatan shalat istisqa memohon kepada Al-Abbas ra., paman Nabi saw., untuk berdoa, lalu para sahabat menyerukan kata amin atas doanya itu. Demikian pula para sahabat pernah meminta didoakan dan dimohonkan ampun kepada Allah, oleh Nabi saw. seperti yang dikisahkan dalam Al-Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 64:

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohonkan ampun kepada Allah dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

12.  BAHASA ARAB

Umat Islam tidak boleh menganggap bahasa Arab sebagai bahasa asing, tetapi adalah bahasanya sendiri yang dipergunakan dalam shalat dan bermunajat kepada Allah. Dengan demikian setiap Muslim harus berusaha mengerti dan memahami apa-apa yag terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Dalam konsistensi denga hal tersebut di atas, bahasa Arab harus dikembalikan pada posisinya yang utama di sekolah-sekolah Al-Irsyad, dan juga dipergunakan dalam percakapan sehari-hari sebagai bahasanya sendiri.*

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *