Debat Surkati dan Semaun

Debat Ahmad Surkati dan Semaun di Kongres Al-Islam

Syekh Ahmad Surkati
SYEKH AHMAD SURKATI

Di sela-sela Kongres Al-Islam I di Cirebon pada 1922, Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral pendiri Jum’iyyah (Perhimpunan) Al-Irsyad Al-Islamiyyah, mengadakan debat terbuka dengan Semaun, pemimpin Sarekat Islam Merah (komunis) kelahiran Mojokerto. Semaun di damping oleh sahabatnya, Hasan dari Semarang dan Sanusi dari Bandung. Sementara Syekh Surkati didampingi oleh Abdullah Badjerei (Jakarta) dan Umar Naji Baraba (Bogor).

Topik debat itu sekitar masalah Pan-Islamisme dan Komunisme, yaitu: Islam atau Komunisme yang bisa membebaskan negeri ini dari penjajahan?

Sebagai penganut Pan Islam, Surkati tentu saja berusaha meyakinkan Semaun, bahwa hanya dengan Islam dan persatuan Dunia Islam, negeri Indonesia ini bisa dimerdekakan. Sedangkan Semaun berpendapat bahwa komunisme lah yang mampu menghadapi kolonialisme Belanda. Dua jam lebih perdebatan itu berlangsung, namun tidak ada titik temu di antara mereka.

Debat atau dialog terbuka itu telah menempatkan Syekh Ahmad Surkati sebagai sosok penting di tengah-tengah pemimpin Pergerakan Kebangsaan ketika itu. Jalan menuju pintu dialog lebih lanjut kian terbuka baginya. Di lain pihak para pemimpin Islam sudah bisa membuka mata masing-masing, bahwa ulama kelahiran Sudan ini dalam tahun 1922 sudah berbicara masalah memerdekakan rakyat negeri tempat ia melaksanakan misinya sebagai pengikut ‘ulama salaf’.

SEMAUN
SEMAUN

Menurut penuturan Abdullah bin Aqil Badjerei, yang mendampingi Syekh Surkati dalam debat itu, meski berbeda paham ideologi, Syekh Ahmad Surkati tetap memuji Semaun. “Saya suka sekali orang ini karena keyakinannya yang demikian kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunismelah tanah airnya dapat dimerdekakan.” Ini menunjukkan jiwa besar dan watak kepemimpinan Surkati.

Debat terbuka itu digagas Ahmad Surkati dengan harapan bisa menyadarkan Semaun dari kekeliruannya, dan mau bersatu kembali dengan HOS Tjokroaminoto, ketua Sarekat Islam (SI). Saat itu, SI memang sedang terancam perpecahan, akibat benturan keras antara golongan merah dan golongan konservatif. Bagi Surkati, pecahnya SI akan menjadi hambatan bagi pengembangan Pan Islam selanjutnya di Indonesia. Semaun sendiri termasuk tokoh SI-Merah yang lebih suka tetap menjaga persatuan.

Upaya Surkati ini sekaligus memberi bukti kepada kita, betapa luas wawasan yang dimiliki Surkati. Juga betapa luas medan perjuangan yang ia hamparkan, bukan sekedar melulu mengurusi masyarakat Hadrami (keturunan Arab) di Indonesia.

Sarekat Islam saat itu amat terpukul dengan Peristiwa Leles di Garut pada 1919. Peristiwa yang sebenarnya masalah lokal, yaitu pembantaian oleh polisi Belanda terhadap H. Hasan Arif dan anggota keluarganya yang menolak jual paksa padinya kepada pemerintah kolonial Belanda. Namun kemudian pemerintah kolonial membuat skenario bahwa Peristiwa Leles bukanlah soal penolakan jual paksa padi tapi sebuah peristiwa politik yang didalangi oleh Sarikat Islam, dan SI dituduh sedang menyusun makar pemerintah kolonial dan berencana membantai orang-orang Belanda di Jawa. Kebetulan, menantu H. Hasan Arif yang bernama Haji Ghozali adalah anggota SI.

Maka kemudian banyak pengurus dan anggota SI ditangkap pemerintah kolonial, termasuk ketuanya, HOS Tjokroaminoto, yang dipenjara sampai tujuh bulan. Akibatnya, organisasi pergerakan nasional yang anti Belanda itu menjadi lemah dan porak-poranda.

Setelah lepas dari penjara, Tjokroaminoto menemui Syekh Ahmad Surkati, untuk mencari dukungan bagi penyelenggaraan Kongres Islam I. Tjokroaminoto Nampak sekali ingin menggunakan Pan Islam untuk melakukan reorientasi politik organisasinya guna mengangkat kembali pamor dan kekuatan Sarekat Islam.* MA

Diolah dari buku: AL-IRSYAD MENGISI SEJARAH BANGSA, karya Hussein Badjerei

2 thoughts on “Debat Surkati dan Semaun

  1. Terima kasih.
    Selama ini dikesankan bahwa Al-Irsyad Al-Islamiyyah adalah organisasinya keturunan Arab karena didirikan oleh keturunan Arab di Indonesia dan banyak pengurusnya keturunan Arab. Di awal berdirinya juga banyak berkutat dengan persoalan-persoalan di keturunan Arab, seperti keseteraan (musawwa) di mana ada segolongan keturunan Arab ada yg merasa lebih tinggi derajatnya. Al-Irsyad menentang pendirian yang demikian, sehingga menimbulkan banyak polemik.

    Tapi itu cerita lama. Sudah lama Al-Irsyad tidak lagi berkutat di isu-isu seperti itu. Sekolah-sekolah Al-Irsyad sejak awal juga terbuka bagi semua Muslim. Sekarang pun banyak pengurusnya bukan keturunan Arab, apalagi di cabang-cabang di luar Pulau Jawa.

    Dan, secara resmi Al-Irsyad adalah organisasi Islam nasional (Indonesia) lintas suku atau ras.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *