SHALAT GERHANA (Bagian 4)
Cara-cara Shalat Gerhana
Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)
Para ulama berbeda pendapat mengenai cara-cara mengerjakan shalat gerhana. Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad serta jumhur ulama berpendapat bahwa caranya tiap rakaat dua kali ruku. Ada yang mengatakan bahwa tiap rakaat lima kali ruku, beralasan dengan hadits Ubay bin Ka’ab.
Sementara Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan An-Nakha’i berpendapat bahwa shalat gerhana itu caranya sama seperti shalat-shalat sunnah lainnya, yaitu sekali ruku pada tiap rakaat.
An-Nawawi meriwayatkan dari orang-orang Kufah bahwa mereka beralasan dengan haditsnya Nukman bin Basyir.
Sedang menurut Hudzaifah, setiap rakaat tiga kali ruku. Ia beralasan dengan haditsnya Jabir, Aisyah dan Ibnu Abbas.
Selanjutnya An-Nawawi berkata bahwa hadits yang paling shahih dalam masalah ini adalah hadits yang menerangkan dua kali ruku dalam satu rakaat, sedang hadits lainnya banyak mengandung cacat atau lemah, demikian menurut Al-Baihaqi dan Asy-Syafi’i. Ahmad dan Al-Bukhari juga mengatakan bahwa tambahan ruku pada setiap rakaat adalah kekeliruan dari sebagian rawi hadits, karena banyaknya jalan dalam meriwayatkan hadits memungkinkan sebuah hadits bertentangan dengan hadits lainnya, dan semuanya berpangkal pada peristiwa meninggalnya Ibrahim putra Rasulullah saw.. Apabila riwayat tentang meninggalnya Ibrahim itu telah disepakati maka tidak diragukan lagi bahwa hadits yang menerangkan dua kali ruku dalam satu rakaat adalah yang paling shahih.
Al-Asqalani dalam Fahul Bari mengatakan bahwa sebagian ulama mengkompromikan hadits-hadits itu dengan berulang-ulangnya gerhana yang terjadi di masa Rasulullah saw. Mengingat gerhana itu terjadi berulang kali maka berarti Nabi sering melakukan shalat gerhana dengan cara yang bermacam-macam, dan semua cara itu diperbolehkan.
Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir dan Al-Khaththabi, serta ulama-ulama Syafi’iyah lainnya memperbolehkan semua cara karena termasuk ikhtilaf yang diperbolehkan. Imam Yahya berkata, “Yang benar, kalau gerhana itu terjadi berulang-ulang dan semua hadits yang menerangkan adanya tambahan ruku lebih dari dua dalam satu rakaat itu shahih, maka semua cara itu dapat kita amalkan karena tidak mengandung pertentangan. Dan, apabila gerhana itu terjadi hanya sekali maka hadits tentang ruku dua kali dalam satu rakaat adalah yang paling shahih.”[1]
Nukman bin Basyir berkata, “Pernah terjadi gerhana di masa Rasulullah saw., kemudian beliau segera pergi dengan menyingsingkan jubahnya menuju ke masjid, kemudian shalat bersama-sama kami sampai selesainya gerhana. Sesudah shalat beliau bersabda, “Orang-orang menyangka bahwa gerhana matahari atau bulan tidaklah terjadi kecuali karena meninggal atau lahirnya seorang besar, padahal tidak demikian. Sesungguhnya, bulan dan matahari tidak tertutup (gerhana) karena meninggal atau lahirnya seseorang, tetapi sebagai tanda keagungan Allah. Sesungguhnya, apabila Allah akan menjelaskan sesuatu kepada hamba-Nya, dititahkannya untuk khusyu. Maka, apabila kamu melihat gerhana, shalatlah seperti kamu mengerjakan shalat fardhu.’”
Nukman kemudian berkata, “Siapa yang mau maka boleh shalat dua rakaat, setiap rakaat dua kali ruku. Membaca (surah Al-Qur’an) kemudian ruku, lantas bangkit kemudian ruku lagi, kemudian bangkit dengan membaca sami’allahu liman hamidah, kemudian sujud dua kali. Kemudian berdiri untuk rakaat yang kedua, tiap rakaat dua kali ruku seperti yang diterangkan di muka, lantas duduk, bertasyahudlah, kemudian salam.”
Cara seperti di atas dipegangi oleh Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur.
Ibnu Abbas berkata, “Pernah terjadi gerhana di masa Rasulullah saw., kemudian beliau shalat. Beliau berdiri lama kira-kira sekitar bacaan surat Al-Baqarah. Kemudian ruku lama, lantas berdiri lagi, tapi lamanya tidak lebih lama dari berdiri yang pertama. Kemudian ruku lagi tetapi tidak lebih lama dari ruku yang pertama. Kemudian bangkit berdiri agak lama tetapi tidak lebih lama dari berdiri yang sebelumnya, lantas sujud dan menyelesaikan shalatnya.”
Kemudian Ibnu Abbas berkata, “Kalau mau, boleh shalat dua rakaat di mana setiap rakaat tiga kali ruku. Membaca (surah) kemudian ruku lagi, kemudian bangkit dengan mengucapkan sami’allahu liman hamidah, kemudian sujud dua kali, kemudian berdiri lagi untuk rakaat yang kedua dengan tiga kali ruku, kemudian bangkit membaca tasyahud, kemudian salam.”[2]
Menurut Hasan Al-Bashri, Ali bin Abi Thalib shalat gerhana dengan sepuluh rakaat dan empat kali sujud.
Abu Muhammad bin Hazm (Ibnu Hazm) berkata, “Semuanya itu benar dan berasal dari Rasulullah saw., dari para sahabat dan tabi’in, karena itu tidak boleh membatasi diri dengan salah satu atsar saja tanpa memperhatikan atsar yang lain, karena semuanya adalah sunnah Rasulullah saw.. Dan tidak seorang pun boleh mencegah perbuatan sunnah.”
Ibnu Hazm berkata, “Kalau ada orang yang berkata: mana mungkin semuanya dapat dikatakan sunnah padahal Rasulullah saw. shalat gerhana hanya sekali, yaitu pada waktu meninggalnya Ibrahim putra Rasulullah? Pendapat itu adalah dusta dan bodoh sekali. Aisyah menerangkan bahwa Rasulullah saw. pernah shalat gerhana di pendopo sumur zamzam empat rakaat dengan empat kali sujud. Shalat ini adalah shalat gerhana yang dilakukan di Mekkah, di samping shalat yang beliau lakukan di Madinah. Tidak ada seorang pun yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. hanya satu kali saja mengerjakan shalat gerhana, sebab gerhana matahari terjadi setiap lima bulan qamariyah, maka siapa yang membantah terjadinya gerhana sepuluh kali selama masa kenabian beliau?”
Pendapat Ibnu Hazm di atas diberi komentar oleh Syeikh Ahmad Syakir dalam hamisy (penjelasan) kitab tersebut (Al-Muhalla V: 103)
Hadits-hadits mengenai cara shalat gerhana sangat banyak sekali dan kebanyakan juga shahih. Para ulama mengambil jalan mengkompromikan hadits-hadits itu, dengan sering terjadinya gerhana di masa Rasulullah saw.. Pendapat inilah yang diikuti oleh Ishaq dan dikuatkan pula oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid (II: 362).
Jalan kedua adalah dengan men-tarjih-kannya. Ibnu Hajar berkata bahwa pengarang kitab Al-Hadyun Nabawi menukil pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad dan Bukhari, bahwa anggapan ruku lebih dari dua kali dalam satu rakaat adalah kekeliruan dari sebagian rawi hadits, akibat banyaknya jalan dalam periwayatan hadits yang memungkinkan hadits yang satu berlawanan dengan hadits lainnya. Tapi semuanya berpangkal pada peristiwa meninggalnya Ibrahim putra Rasulullah saw.. Apabila waktu meninggalnya Ibrahim itu telah disepakati, maka hadits yang paling kuat dapat diamalkan, dan yang paling kuat adalah hadits Aisyah yang menerangkan dua kali ruku dalam satu rakaat. Untuk masalah ini tidak cukup dengan memperkirakan saja tetapi harus dipastikan. Namun sebagian ulama kita –rahimahumullah– sayangnya menganggap ilmu hisab tidak dapat diterima dan tidak boleh dipegangi karena dianggap sebagai ilmu nujum. Mereka tidak mengetahui kalau ilmu hisab itu membuahkan dalil yang pasti, seperti untuk menetapkan terjadinya gerhana, bukan sebagai ilmu gaib sebagaimana anggapan sementara orang. Gerhana matahari terjadi karena bulan terletak di antara matahari dan bumi, sedang gerhana bulan terjadi karena adanya bayangan bumi yang mengenai bulan, sebab sinar bulan itu bergantung kepada sinar dari matahari. Apabila sinar matahari itu terhalang maka bulan menjadi gelap.
Ahli-ahli falak purbakala mengetahui mengetahui adanya gerhana atas dasar pengalaman, setiap 6585 hari lebih 1/3, atau dalam setiap 8 tahun 11 hari akan terjadi 70 kali gerhana, yaitu 29 kali gerhana bulan dan 41 kali gerhana matahari. Dan sekurang-kurangnya terjadi dua kali gerhana, di mana salah satunya adalah gerhana matahari. Kadang-kadang sampai tujuh kali, di antaranya 2 atau 3 kali gerhana bulan dan 4 atau 5 kali gerhana matahari. Bahkan, ulama falak sekarang lebih cermat dan teliti dalam menghitung, sehingga dapat mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi di masa mendatang. Gerhana bulan dapat dilihat dari separoh bagian bumi, sedang gerhana matahari hanya dapat dilihat pada tempat-tempat tertentu, bahkan kadang-kadang terjadi tanpa diketahui. Gerhana penuh terjadi apabila wajah matahari tertutup sepenuhnya oleh bayangan bulan sehingga hanya terlihat di daerah yang sempit yang tidak lebih dari seluas 165 mil dan waktunya tidak lebih dari 5 atau 6 menit.
Selanjutnya Syekh Ahmad Syakir berkata,
“Kalau kita telah mengetahui hal ini (maksudnya pendapat Ibnu Hazm), yang mengatakan bahwa jarak waktu antara dua gerhana itu lima bulan qamariyah, maka pendapat ini mendekati kebenaran. Dan pendapat itu berdasarkan perhitungan ilmu falak yang telah dipujinya dalam kitabnya Al-Milal wan Nihaal (Juz V: 37), dan ilmu falak ini dapat dipergunakan untuk menentukan hilal atau awal bulan, menetapkan waktu puasa dan untuk menetapkan terjadinya gerhana. Kami ingin mendapatkan keterangan seorang ahli falak yang dapat memberikan hisab yang teliti tentang berapa kali terjadinya gerhana di masa Nabi Muhammad saw. menetap di Madinah dan terjadinya gerhana yang dapat dilihat di masa itu, tetapi semuanya tidak sesuai dengan pendapat kami.
Kami lalu mendapat sebuah risalah yang ditulis oleh Mahmud Basya al-Falaki yang berjudul Nataijul Afham fi Taqwiemil Arabi qablal Islam. Berdasarkan hitungan yang teliti risalah tersebut menerangkan bahwa terjadinya gerhana matahari jatuh pada tahun 10 Hijriyah, yaitu pada hari meninggalnya Ibrahim. Pada hari itu jelas terjadi gerhana matahari di kota Madinah, yaitu pada hari Senin tanggal 29 Syawwal tahun 10 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 27 Januari 632 Miladiyah, jam 08:30 pagi. Keterangan ini membantah bermacam-macam hadits yang bersumber pada hari meninggalnya Ibrahim. Mungkin sekali pembahasan ini sejalan dengan pendapat ahli-ahli falak terkenal yang menetapkan hari terjadinya gerhana di Madinah pada tahun-tahun sepuluh hijriyah sampai wafatnya Rasulullah saw. pada tanggal 12 atau 13 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriyah, bertepatan dengan hari Senin tanggal 7 atau 8 Juni 632 Miladiyah.
Apabila telah dapat diketahui berapa kali terjadinya gerhana di masa Rasulullah saw. maka dapatlah ditempuh dua jalan. Pertama, menerima semua riwayat yang terhubung dengan berulang-ulangnya gerhana, atau yang kedua, dengan men-tarjih-kan salah satu riwayat, yaitu hadits yang menerangkan shalat gerhana dengan dua kali ruku dalam satu rakaat. Dan kami sangat condong kepada dugaan bahwa shalat gerhana hanya satu kali dikerjakan di masa Rasulullah saw..
Kita mengetahui dari risalah yang ditulis oleh Mahmud Basya al-Falaki bahwa gerhana bulan di masa Rasulullah terjadi di Madinah pada hari Rabu tanggal 14 Jumadil Akhir tahun ke-4 H, bertepatan dengan 20 November 625 M, dan tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa dalam gerhana ini Rasulullah mengumpulkan para sahabatnya untuk shalat gerhana.
Pendapat ini dikuatkan pula oleh hadits yang menerangkan bahwa hadits tentang gerhana itu sendiri menunjukkan bahwa shalat tersebut adalah baru pertama kali akan dikerjakan karena para sahabat tidak mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh Rasulullah saw. pada waktu itu. Dan para sahabat juga mengira kalau shalat yang dikerjakan itu berkenaan dengan meninggalnya Ibrahim, dan jarak antara hari meninggalnya Ibrahim dengan hari wafat ayahnya tidak lebih dari empat setengah bulan.
Maka, kalau seandainya gerhana itu terjadi berulang kali, tentunya para sahabat juga telah berulang kali mengerjakan shalat gerhana, dan khabar dari mereka pasti jelas karena tentunya akan banyak hadits dari mereka dengan sanad yang bermacam-macam. Wallahu a’lam.”[3] (mansyur alkatiri)
***
Catatan kaki:
[1] Nailul Authar, III: hal. 16; Subulul salam II: hal. 102; Zaadul ma’ad I:hal. 124.
[2] Al-Muhalla, V: hal. 95.
[3] Hamisy Al-Muhalla, V: hal. 103.
BACA JUGA:
Shalat Gerhana (1): Pengertian Shalat Khusuf dan Kusuf
Shalat Gerhana (2): Hukum Shalat Gerhana: Sunnah atau Wajib?
Shalat Gerhana (3): Jumlah Rakaat Shalat Gerhana
One thought on “Cara-cara Shalat Gerhana”