Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)
Ulama kelahiran Kuala Kapuas (Kalteng) yang kemudian pindah dan meninggal di Pekalongan ini adalah salah satu murid takhasus Syekh Ahmad Surkati. Beliau salah satu ahli fikih besar Al-Irsyad yang lama menjadi ketua Majelis Ifta’ wa Tarjih DPP Al-Irsyad Al-Islamiyyah sampai akhir hayatnya, dan penulis puluhan buku tentang fiqih.
Jampi-jampi dalam bahasa Arab ialah ruqa, jamak dari ruqyah, yaitu doa-doa yang dibacakan untuk menyambuhkan sisakit.
Nabi sendiri telah membacakan beberapa macam doa kepada para sahabat beliau yang sakit, sehingga mereka sembuh dengan izin Allah Ta’ala.
Di antara doa-doa itu adalah:
Hadits dari ‘Aisyah ra., bahwa Nabi saw. berdoa,
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِه وأَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَآءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah kesusahan dan berilah ia kesembuhan, Engkau Zat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits dari Usman bin Abil-‘Ash, bahwa Nabi saw. berdoa,
بِسْمِ اللَّهِ أَعُوذُ بِاَللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Dengan nama Allah aku berlindung kepada kebesaran Allah dan kodrat-Nya dari penyakit yang kuderita dan aku kuatirkan.” (HR Muslim)
Hadits dari Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi saw. berdoa,
أَسْأَلُ الله الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ
“Aku memohon kepada Allah yang Maha Agung, Tuhan yang mempunyai ‘arsy yang agung, semoga ia menyembuhkan engkau.” (HR Abu Daud, Turmudzi dan Hakim)
Hadits dari Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi saw. berdoa memohon perlindungan bagi Hasan dan Husein, cucu beliau:
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
“Aku memohonkan perlindungan (untuk kalian berdua) dengan kalimat Allah yang sempurna dari gangguan semua setan, binatang berbisa, dan segala penyakit ‘ain yang ditimbulkan mata jahat.“ (HR Bukhari)
Hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash yang menderita sakit, bahwa Nabi saw. berdoa:
اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا
“Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad, Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad, Ya Allah sembuhkanlah Sa’ad.” (HR Muslim)
Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat bahwa beberapa orang sahabat Nabi saw. mendoakan (menjampi) seorang kepala desa bangsa A’rab (Arab badui) yang disengat kalajengking hingga sembuh.
Menurut keterangan bahwa para sahabat Nabi saw. karena jauhnya dan payahnya perjalanan telah kehabisan bekal dan mereka merasa lapar dan haus. Mereka kemudian singgah di suatu desa untuk meminta pertolongan makanan dan minuman sekadar yang dibutuhkan. Akan tetapi rupanya penduduk desa itu bersepakat untuk memboikot, dan tidak ada seorang pun mau menolong.
Tapi, dengan takdir Allah, kepala desa itu lalu disengat kalajengking, dan sengatan itu agaknya membahayakan jiwanya. Penduduk desa itu sudah berusaha sebisa-bisanya untuk menyelamatkan jiwa kepala desanya itu, namun tidak berhasil. Bahkan keadaannya makin bertambah parah. Maka mereka terpaksa minta pertolongan pada rombongan sahabat Nabi yang kebetulan masih berada di sana, barangkali ada yang bisa menyembuhkannya.
Mengingat sikap orang-orang desa itu yang tidak manis dan baik terhadap mereka, maka sebelum mengobatinya para sahabat itu mengajukan syarat lebih dulu, yaitu meminta imbalan berupa makanan dan minuman. Setelah warga desa itu menyanggupinya, maka salah seorang sahabat membaca surat Al-Fatihah sambil menggosok bekas sengatan itu. Dan dengan izin Allah, seketika kepala desa itu sembuh. Karena senang atas kesembuhan itu, maka para sahabat Nabi itu diupah dan dibekali makanan dan minuman serta beberapa ekor domba.
Setelah sampai kembali di Madinah, mereka pun menceritakan kisah itu kepada Nabi, dank arena wara’ nya mereka bertanya tentang halal atau tidaknya segala upah dan bekal yang mereka dapat dari warga desa tersebut. Lalu untuk menghilangkan keraguan mereka, Bai pun ikut serta makan bersama mereka.
Demikianlah beberapa dalil mengenai perjampian.
Perjampian ini termasuk ilmu pengobatan rohani yang gaib dan telah diakui pula oleh ahli ilmu kedokteran modern berdasarkan percobaan-percobaan, dan pernah juga dilakukan cukup lama di RSUP Jakarta.
Dalam mempercayai pengobatan dengan doa-doa (jampi) umumnya orang berpendapat bahwa pengobatan ini kadang-kadang dapat bermanfaat terutama terhadap orang yang berpenyakit syaraf yang dipengaruhi oleh prasangka dan kepercayaan. Akan tetapi, manfaatnya itu tidak selamanya seperti obat-obatan medis yang dipakai mengobati penyakit-penyakit yang sukar disembuhkan.
Selain dari itu, ruqa (penjampian) itu mempunyai beberapa syarat yang bila dipenuhi, insya Allah, dengan izin Allah ia dapat mempengaruhi si sakit. Begitu pula diisyaratkan hendaknya bagi si sakit mempunyai kepercayaan yang baik terhadap penjampinya. Sebab, kalau tidak demikian tidaklah akan mujarab penjampian itu. Salahnya bukan pada ruqa (jampi) itu sendiri, melainkan kurang dipenuhi syarat-syaratnya. Maka tidaklah setiap penjampian itu bermanfaat menyembuhkan.
Para alim ulama telah sepakat mengatakan bolehnya ruqa (penjampian) itu, kalau dilakukan dengan memakai doa-doa yang diajarkan Nabi dan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan terhadap si sakit atau si penderita.
Adapun menuliskan doa Nabi dengan ayat Qur’an di atas logam, kertas atau lainnya kemudian digantungkan pada leher anak kecil atau orang sakit, maka tidaklah baik, karena itu menyerupai “tamimah” (jimat) yang dilarang oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa menggantungkan tamimah (jimat), maka musyriklah ia.” (HR Ahmad)
Adapun perbuatan Abdullah bin ‘Amr ibnul-Ash yang menggantungkan di leher anak-anaknya yang belum akil baligh berupa doa:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ: مِنْ غَضَبِهِ، وَعِقَابِهِ، وَشَرِّ عِبَادِهِ، وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ، وَأَنْ يَحْضُرُونِ
“Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari amarah dan siksa-Nya dan dari kejahatan para hamba-Nya serta dari godaan setan bila dia datang.”
Maka, kalaupun riwayat itu sahih, ia tidak lebih daripada satu pendapat pribadinya sendiri, sedang pendapat dan ijtihad seorang sahabat, tidak mesti diturut, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih dan ilmu hadits. Sebab, setiap pendapat orang boleh diterima atau ditolak kecuali sabda Rasulullah saw. Dan tidak ada yang dapat dijadikan dalil kecuali hanya dari Rasulullah. Bahkan menurut penyelidikan ahli hadits, riwayat di atas tidak benar.
Selain penjampian yang diterangkan di atas, banyak orang yang suka memakai macam-macam jampi lainnya berkat pengaruh sangka dan duga serta lingkungan masyarakat di mana mereka berada. Ada yang bernama tiwalah, nasyarat, azimat, tabehir, tadkhin, dan lain sebagainya.
Para ulama telah berselisih faham tentang hukumnya dan bermacam-macam pendapat mereka tentangnya. Maka yang lebih baik adalah meninggalkannya, karena lebih dekat kepada takwa. Atau setidaknya orang telah meninggalkan perbuatan syubhat (tidak jelas hukumnya). Orang mukmin sangat berhati-hati tentang hal-hal yang syubhat. Malahan sebagian ada yang tegas-tegas syirik dan nyata-nyata kufur. Dalam hal ini bacalah kitab Azzawajir karangan Ibnu Hajar dan Fatawa Al-Manaar.*
SUMBER: RISALAH JANAIZ, karya Al-Ustadz Said Thalib al-Hamdani; Penerbit: PT Alma’arif, Bandung (1973), edisi ke-2. Buku ini aslinya ditulis dalam Bahasa Arab seperti karya-karya Ustadz Said Thalib lainnya, dan diterjemahkan oleh H. Ahmad Muhajir.
One thought on “Berobat dengan Jampi-Jampi (Ruqa)”