Petunjuk Rasulullah tentang Shalat Id

HSA ALHAMDANIOleh: Ustadz Said Thalib al-Hamdani (1903-1983)

Ulama kelahiran Kuala Kapuas (Kalteng) yang kemudian pindah dan meninggal di Pekalongan ini adalah salah satu murid takhasus Syekh Ahmad Surkati. Beliau salah satu ahli fikih besar Al-Irsyad yang lama menjadi ketua Majelis Ifta’ wa Tarjih DPP Al-Irsyad Al-Islamiyyah sampai akhir hayatnya, dan penulis puluhan buku tentang fiqih.

Di antara petunjuk yang diberikan Rasulullah saw. dalam mengerjakan shalat Idul Fitri ialah bahwa sebelum berangkat ke tempat shalat (mushalla) beliau memakan kurma dengan bilangan yang ganjil, sedang pada waktu shalat Idul Adha beliau tidak makan apapun sampai pulang ke rumah.

Rasulullah mengakhirkan shalat Idul Fitri untuk memberi kesempatan yang longgar dalam memberikan zakat fitrah, dan beliau menyegerakan shalat Iedul Adha untuk melapangkan waktu menyembelih kurban.

BACA SELENGKAPNYA “Petunjuk Rasulullah tentang Shalat Id”

Hukum Shalat Witir

HSA ALHAMDANIOleh: Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983)

Ustadz Said Thalib Al-Hamdani adalah ulama kelahiran Kuala Kapuas (Kalteng) yang kemudian pindah dan meninggal di Pekalongan ini adalah salah satu murid takhasus Syekh Ahmad Surkati. Beliau salah satu ahli fikih besar Al-Irsyad yang lama menjadi ketua Majelis Ifta’ wa Tarjih DPP Al-Irsyad Al-Islamiyyah sampai akhir hayatnya, dan penulis puluhan buku tentang fiqih.

Nama witir, tahajud, shalat malam (shalat lail) dan shalat tarawih sebenarnya sama. Istilah ini dipergunakan untuk menyebut shalat-shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari, antara waktu isya sampai fajar. Perbedaannya hanyalah pada waktunya saja. Dinamakan Shalat Lail karena dikerjakan pada malam hari, dinamakan tahajud karena dikerjakan pada pertengahan malam atau akhir malam, dinamakan tarawih karena orang-orang yang mengerjakan beristirahat (yatawarrahun) setiap antara dua kali salam, dan dinamakan shalat witir karena dikerjakan dengan bilangan yang ganjil.

Hukum Shalat Witir

Rasulullah saw. tidak mengerjakan shalat sunnah secara terus-menerus seperti membiasakan shalat witir dan shalat fajar. Rasulullah selalu mengerjakannya baik sewaktu menetap di dalam kota ataupun sewaktu sedang bepergian. Tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah pernah meninggalkan shalat witir meskipun hanya satu kali.
BACA SELENGKAPNYA “Hukum Shalat Witir”

Berobat dengan Jampi-Jampi (Ruqa)

HSA ALHAMDANIOleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)

Ulama kelahiran Kuala Kapuas (Kalteng) yang kemudian pindah dan meninggal di Pekalongan ini adalah salah satu murid takhasus Syekh Ahmad Surkati. Beliau salah satu ahli fikih besar Al-Irsyad yang lama menjadi ketua Majelis Ifta’ wa Tarjih DPP Al-Irsyad Al-Islamiyyah sampai akhir hayatnya, dan penulis puluhan buku tentang fiqih.

Jampi-jampi dalam bahasa Arab ialah ruqa, jamak dari ruqyah, yaitu doa-doa yang dibacakan untuk menyambuhkan sisakit.

Nabi sendiri telah membacakan beberapa macam doa kepada para sahabat beliau yang sakit, sehingga mereka sembuh dengan izin Allah Ta’ala.

Di antara doa-doa itu adalah:              

Hadits dari ‘Aisyah ra., bahwa Nabi saw. berdoa,

BACA SELENGKAPNYA “Berobat dengan Jampi-Jampi (Ruqa)”

Shalat Gerhana Sunnah Berjamaah

SHALAT GERHANA (Bagian 5)

Shalat Gerhana: Berjamaah atau Sendiri?

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)

Shalat gerhana SUNNAH untuk dikerjakan dengan berjamaah di masjid, tanpa azan dan iqamah. Alasannya:

1. Mengikuti sunnah atau praktek yang dilakukan Rasulullah saw., yaitu dengan memerintahkan seseorang untuk menyerukan: ash shalatu jami’ah, kemudian setelah orang-orang berkumpul Rasulullah shalat bersama mereka.

2. Berdasarkan keumuman hadits yang menerangkan bahwa shalat jamaah lebih utama dua puluh tujuh kali dibanding dengan shalat sendirian.

3. Berdasarkan perintah Rasulullah saw. kepada para sahabat untuk bergegas menunaikan shalat gerhana ke masjid apabila melihat ada gerhana:

Matahari dan bulan adalah dua di antara tanda-tanda keagungan Allah. Keduanya tidak akan tertutup (terjadi gerhana)karena meninggal atau lahirnya seseorang. Apabila kamu melihatnya maka bergegaslah segera pergi ke masjid.”
BACA SELENGKAPNYA “Shalat Gerhana Sunnah Berjamaah”

Jumlah Rakaat Shalat Gerhana

SHALAT GERHANA (Bagian 3)

Jumlah Rakaat Shalat Gerhana

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)

Shalat gerhana dikerjakan dengan bilangan rakaat shalat sebelum terjadinya gerhana. Kalau gerhana itu terjadi sebelum waktu zhuhur, maka dikerjakan dua rakaat seperti shalat shubuh. Kalau gerhana terjadi sesudah zhuhur dan sebelum ashar, maka dikerjakan empat rakaat seperti shalat zhuhur. Kalau terjadi sesudah ashar sebelum maghrib, maka dikerjakan empat rakaat. Demikian seterusnya.

Jumhur ulama mengerjakannya dengan empat ruku dan empat kali sujud dalam satu rakaatnya, sebanyak dua rakaat. Jadi, dalam setiap rakaat dua kali berdiri dari ruku (i’tidal), dua kali membaca surat, dua kali ruku, dan dua kali sujud.

Para ulama berbeda pendapat, apakah shalat gerhana bulan caranya sama dengan shalat gerhana matahari. Menurut hemat kami, caranya sama saja berdasarkan hadits Rasulullah saw.:

“…… maka apabila kamu melihatnya maka shalatlah, berdoalah sampai gerhana itu berakhir.”

An-Nawawi berkata, “Menurut mazhab Syafi’i dan sekelompok ahli hadits, shalat gerhana bulan sama caranya dengan cara shalat gerhana matahari, tetapi Abu Hanifah dan Malik membedakan cara shalat gerhana bulan dengan gerhana matahari, yaitu disunnahkan untuk shalat dua rakaat seperti shalat sunnah lainnya yang dikerjakan dengan sendirian.”[1]

Ibnu Hazm berkata, “Shalat gerhana itu dikerjakan dua rakaat seperti shalat tathawwu lainnya, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan.”

Abi Bakrah menerangkan, “Kami sedang bersama Rasulullah saw., kemudian terjadi gerhana. Rasulullah saw. lalu pergi ke masjid dengan menarik selendangnya turun dari kendaraannya, dan orang-orang pada mengikuti beliau. Beliau shalat dua rakaat, kemudian berkhotbah.”

[1] Syarah Umdah, II: hal. 137.

SUMBER: Buku “SHALAT-SHALAT SUNNAH” (HSA Al-Hamdani) 

BACA JUGA:
Shalat Gerhana (1): Pengertian Shalat Khusuf dan Kusuf
Shalat Gerhana (2): Hukum Shalat Gerhana: Sunnah atau Wajib?

Tabir di Masjid

TABIR DI MASJID UNTUK KAUM WANITA

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib al-Hamdani **)

Memasang hijab atau tabir yang kita lakukan sekarang ini tidak ada di masa Rasulullah saw. Tidak ada hijab pemisah antara laki-laki dan perempuan. Lantas, dimanakah harus dipasang tabir? Kaum wanita keluar rumah tanpa memakai perhiasan, mereka memakai baju yang longgar, kudung mereka sampai menutup leher, maka tempat manakah yang lebih utama dipasang tabir? Di mushala kah ataukah di masjid?

Rasulullah saw. tidak pernah menyuruh untuk memasang tabir di masjid dan juga tidak pernah mempergunakan tabir di mushalla, tetapi Rasulullah saw. hanya memerintahkan kepada kaum wanita kalau ke masjid supaya pulang lebih dahulu dari pada kaum pria.
BACA SELENGKAPNYA “Tabir di Masjid”