Kronik Sejarah Al-Irsyad:
Al-Irsyad dan Kongres Muslimin Indonesia 1949
Untuk menyatukan langkah umat Islam Indonesia setelah penyerahan kedaulatan pada 1949, umat Islam mengadakan Kongres Muslimin Indonesia, di Jogjakarta pada 20-25 Desember 1949. Panitia Kongres ini diketuai oleh Wali Alfatah, dengan sekretaris jendralnya: MOHAMMAD SALEH SU’AEDI, seorang pemuda Padang kelahiran Aceh, tokoh muda Al-Irsyad dan murid langsung Syekh Ahmad Surkati.
M. Saleh Su’aedi memegang peran penting dalam Kongres ini. Ia memimpin beberapa sidang penting.
Kalau Kongres serupa di bulan November 1945 mencetuskan ikrar semua kekuatan Islam bergabung ke Masyumi, dalam Kongres ini ada dorongan untuk membawa seluruh organisasi pemuda Islam melebur dalam satu wadah organisasi GPII, dan seluruh organisasi pelajar Islam melebur ke dalam PII. Organisasi mahasiswa Islam juga melebur ke dalam HMI.
Dalam Kongres ini PB Al-Irsyad diwakili oleh Muhammad Assulaimani, sedang PB Pemuda Al-Irsyad diwakili oleh Adnan Nurdiny (putera asli Aceh yang tinggal di Pekalongan). Syarifah Azminah Hadi mewakili PB Wanita Al-Irsyad.
Dalam Kongres yang dihadiri oleh 129 organisasi Islam, baik lokal maupun nasional, ADNAN NURDINI selaku ketua umum PB Pemuda Al-Irsyad menyatakan: “Pemuda Al-Irsyad bukanlah organisasi pemuda Arab, tapi organisasi pemuda Islam Indonesia. Saya sendiri asli orang Aceh, bukan keturunan Arab.”
Adnan menegaskan, “Kami datang untuk mencari persatuan! Tapi kami menolak kalau GPII dipakai sebagai wadah peleburan organisasi-organisasi pemuda Islam yang telah ada, yang masing-masing punya sejarah sendiri.”
Dalam Kongres tersebut antara lain diputuskan:
1. Membentuk Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI)
2. Semua organisasi yang hadir setuju menjadi anggota
3. Mengusulkan agar pemerintah membentuk Komisi Penyelesaian untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya bagi penyelesaian masalah Darul Islam (DI)
4. Mengusulkan agar pelajaran agama Islam dijadikan mata pelajaran pokok pada semua masalah negeri
5. Organisasi Islam yang bergerak di bidang pendidikan agar menyeragamkan “leerpan” dan “sylabus”
6. Mendesak pemerintah untuk segera menyusun peraturan untuk memperbaiki perjalanan haji.
7. Menolak pembentukan “organisasi Islam” baru selain dari yang sudah ada.
8. Setuju untuk kembali kepada Ikrar Nopember 1945 bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam dan semua organisasi sosial Islam menjadi anggota istimewanya.*
(SUMBER: Buku “AL-IRSYAD MENGISI SEJARAH BANGSA”,
karya: Hussein Badjerei)