Oleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)
Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.
Tafsir Ayat Ketujuh: Kriteria Jalan yang Lurus – HABIS
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ , غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ
“Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS A-Fatihah: 7)
Ustadz Muhammad ‘Abduh menyatakan bahwa al-shirât al-mustaqîm (jalan yang lurus) adalah jalan yang akan mengantarkan kita pada kebenaran. Akan tetapi, Allah SWT tidak menjelaskannya seperti dalam Surah Al-‘Ashr, tetapi hanya memberikan penjelasan dengan mengaitkannya kepada orang orang yang menempuh jalan ini. Hal ini sama seperti firman-Nya dalam surah Al-An’âm setelah menyebutkan beberapa rasul yang terkenal,
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ فَبِهُدٰىهُمُ اقْتَدِهْ
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi hidayah oleh Allah. Ikutilah petunjuk mereka.” (Al-An’âm -6:90)
Sebelumnya telah saya jelaskan bahwa surah Al-Fâtiẖah mencakup prinsip-prinsip umum kandungan Al-Qur’an, termasuk berita-berita umat terdahulu. Berita-berita ini merupakan contoh, peringatan, pelajaran, serta sarana penyadaran dan pencerahan. Sementara itu, seluruh berita Al-Qur’an -secara global- tercakup dalam ayat Al-Fâtiẖah yang terakhir ini.
Beberapa ulama menafsirkan bahwa orang-orang yang diberi nikmat adalah orang-orang Muslim. Sedangkan, orang-orang yang dibenci adalah orang-orang Yahudi. Adapun orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.
Saya berpendapat bahwa Al-Fâtiẖah adalah surah pertama yang diturunkan oleh Allah. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ali ra. Beliau paling tahu tentang masalah ini dibandingkan sahabat yang lain. Sebab, beliau dibesarkan di rumah Nabi saw. dan termasuk orang yang pertama kali beriman. Sekalipun tidak disepakati secara mutlak sebagai surah yang pertama kali diturunkan, tidak ada perselisihan pendapat bahwa surah ini termasuk salah satu surah yang diturunkan lebih awal.
Pada saat awal-awal diturunkan wahyu, kaum Muslim belum mendapatkan petunjuk, selain petunjuk para nabi terdahulu. Petunjuk yang mereka bawa itu pun berasal dari wahyu. Kemudian kaum Muslim diperintahkan untuk memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk pada satu jalan, yaitu jalan orang-orang sebelum mereka yang dianugerahi nikmat oleh Allah. Sehubungan dengan hal ini, Allah menurunkan firman-Nya,
فَبِهُدٰىهُمُ اقْتَدِهْ
“Maka itulah petunjuk mereka.” (QS Al-An’âm -6: 90)
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّنَ مِنْ ذُرِّيَّةِ اٰدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوْحٍ وَّمِنْ ذُرِّيَّةِ اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْرَاۤءِيْلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا
“Mereka itulah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu dari (golongan) para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang yang Kami bawa (dalam kapal) bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil (Yakub) dan dari orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih.” (QS. Maryam -19:58)
Yang disebutkan dalam dua ayat di atas adalah umat terdahulu. Dalam Surah Al-Fâtiẖah ini, mereka disebutkan secara global. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikutnya mereka diperinci sesuai dengan kebutuhan. Sekitar tiga perempat Al-Qur’an berisi kisah-kisah dan petunjuk agar manusia dapat mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada umat-umat terdahulu, baik kekufuran, keimanan, kesulitan, maupun kebahagiaan mereka. Tidak ada cara memberi petunjuk yang lebih mengena kepada manusia selain dengan memberitahukan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian masa lampau. Ketika kita melaksanakan satu perintah, lalu kita perhatikan keadaan umat-umat terdahulu –sebab-sebab kepintaran dan kebodohan mereka, kekuatan dan kelemahan mereka, kemuliaan dan kehinaan mereka, serta kejadian-kejadian lain yang menimpa mereka- maka akan timbul pengaruh dalam jiwa kita. Pengaruh ini membuat kita mau mengambil teladan yang akan melahirkan kebahagiaan dan kesejahteraan di bumi dan menjauhi segala hal yang akan menyebabkan munculnya kesusahan, keruwetan, dan kehancuran.
Sehubungan dengan hal di atas, tampak bahwa ilmu sejarah sangat penting bagi orang-orang yang berakal. Sebab, di dalamnya terkandung faedah dan manfaat tak terkira. Orang pasti akan kaget dan heran apabila mendengar banyak ahli agama umat ini yang memusuhi dan membenci ilmu sejarah atas nama agama. Mereka katakan bahwa mempelajari sejarah tidak penting dan tidak ada nilainya. Bagaimana tidak akan kaget dan heran, Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa mengetahui keadaan umat-umat terdahulu merupakan salah satu hal terpenting yang diserukan oleh agama:
قُلْ يٰاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
“Katakanlah (Muhammad): Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu.” (QS Ali Imran: 64)
Dan,
اِنَّا اَوْحَيْنَا اِلَيْكَ كَمَا اَوْحَيْنَا اِلٰى نُوْحٍ وَّالنَّبِيّنَ مِنْ بَعْدِه
“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya.” (QS An-Nisâ’: 163)
Iman kepada Allah, kepada utusan-utusan-Nya, kepada hari akhirat, meninggalkan keburukan, melakukan kebaikan, dan berakhlak baik sama-sama diajarkan kepada semua umat.
Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita agar memerhatikan apa yang dilakukan oleh umat terdahulu, lalu kita ambil pelajaran dari mereka. Hal ini agar kita dapat mencontoh mereka dalam melaksanakan pokok-pokok kebaikan.
Saya tambahkan bahwa dalam Islam terdapat berbagai jenis petunjuk yang terkadang dianggap sebagai kaidah-kaidah pokok khas. Petunjuk-petunjuk itu antara lain masalah akidah dalam Al-Qur’an yang dibangun dengan pendekatan argumentasi akal dan realitas alam serta masalah adab dan hukum ‘amaliyah (aplikatif) yang dibangun atas dasar kaidah: mendatangkan maslahat dan manfaat, menyingkirkan bahaya dan kerusakan.
Contoh lain dalam Al-Qur’an, bahwa alam semesta ini memiliki hukum tetap (sunnatullâh) yang menjadi aturan pasti bagi seluruh isi alam, baik yang berakal maupun yang tidak. Al-Qur’an pun menganjurkan untuk meneliti alam semesta agar timbul pengetahuan tentang hukum-hukum dan rahasia-rahasia alam semesta yang dapat menambah kecerdasan akal dan meluaskan pintu-pintu kemaslahatan bagi manusia. Semua itu merupakan hal-hal yang hanya terdapat dalam Al-Qur’an.
Kembali kepada pertanyaan di atas yang mengatakan bahwa mengapa Allah memerintahkan kepada kita untuk memperhatikan keadaan umat masa lalu padahal kita punya hukum yang terperinci?
Jawaban atas pertanyaan itu, selain ditegaskan Al-Qur’an, adalah bahwa syariat kita merupakan penyempurna tiga fondasi agama yang dibawa oleh semua nabi dan rasul sebelumnya, agar disesuaikan dengan perkembangan manusia. Ketiga fondasi itu adalah iman yang benar, beribadah hanya kepada Allah SWT, dan berhubungan secara tepat dengan sesama manusia. Tiga fondasi ini tidak diperselisihkan lagi oleh syariat mana pun.
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa orang-orang yang diberi nikmat oleh-Nya adalah mereka yang tidak dimurkai dan tidak sesat. Penafsiran yang dapat diterima dalam hal ini adalah tafsir yang menyatakan bahwa orang-orang yang dimurkai adalah mereka yang meninggalkan syariat Allah setelah mereka mengetahuinya. Mereka menolak kebenaran itu, berpaling dari dalil, hanya menerima apa yang diwariskan oleh pemimpin mereka, bertaklid buta, dan mengikuti hawa nafsu.
Murka Allah ditafsirkan oleh sebagian ulama dengan kelaziman murka, yaitu siksaan (hukuman fisik). Ustadz Muhammad ‘Abduh sepakat dengan penafsiran ini. Tafsir mengenai murka Allah yang dikemukakan oleh ulama salaf adalah bahwa murka merupakan salah satu keadaan yang dimiliki Allah SWT. Keadaan ini diikuti oleh siksaan dan azab-Nya. Namun, murka Allah tidak sama dengan murka kita, sebagaimana kasih sayangnya tidak sama dengan kasih sayang kita. Demikian pula zat dan seluruh sifat-Nya yang lain.
Adapun yang dimaksud dengan orang-orang sesat (al-dhâllîn) dalam ayat di atas adalah mereka yang sama sekali tidak mengetahui kebenaran. Atau, mereka tidak mengetahui kebenaran secara tepat, tetapi mereka mengamalkannya. Kata al-dhâllîn yang disambungkan dengan kata sebelumnya diimbuhi huruf lâ. Sebab, kata sebelumnya (al-maghdhûb) diimbuhi kata ghair yang mengandung arti penafian. Jadi, maknanya pun sama, yaitu ghair al-dhâllîn (bukan orang-orang yang sesat).
Ayat yang terakhir ini menunjukkan ada tiga golongan manusia. Pertama, manusia yang diberi nikmat (al-mun’am ‘alaihim). Kedua, manusia yang dimurkai (al-maghdhûb ‘alaihim). Ketiga, manusia yang sesat (al-dhâllîn). Orang-orang yang dimurkai sebenarnya termasuk sesat juga. Sebab, saat mencampakkan kebenaran, mereka telah berpaling dari tujuan yang benar dan menghadap ke arah yang keliru. Mereka tidak akan pernah sampai pada tujuan yang diinginkan dan tidak akan pernah mendapatkan tujuan untuk memperoleh yang dikehendaki.
Memang dibedakan antara orang yang telah mengetahui kebenaran lalu berpaling darinya dan orang yang tidak pernah mengetahui kebenaran lalu ia bingung di antara berbagai jalan. Ia tidak menemukan petunjuk mana jalan yang benar. Mereka adalah orang yang belum tersentuh risalah kenabian. Atau, bisa saja risalah telah sampai, tetapi mereka tidak menerimanya secara sempurna. Sehingga, kebenaran yang hakiki belum mereka terima. Mereka pantas menyandang nama orang-orang sesat. Sebab, orang yang sesat adalah orang yang linglung dalam kebutaan, tidak mendapatkan petunjuk untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam agama, kebutaan adalah pencampur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan dan perancuan batas antara yang benar dan yang salah.
Ustadz Muhammad ‘Abduh menyatakan bahwa orang-orang yang sesat terdiri atas beberapa golongan. Pertama, orang yang belum tersentuh dakwah atau dakwah telah sampai kepadanya tetapi dalam bentuk yang sama sekali tidak membuatnya mampu melihat kebenaran. Mereka itu adalah orang yang tidak mendapatkan hidayah, selain hidayah indriawi dan akal. Mereka tidak mendapatkan hidayah agama. Kalaupun tidak tersesat dalam kehidupan duniawi, tidak mustahil mereka tersesat saat mencari keselamatan jiwa dan kebahagiaan di kehidupan yang lain.
Agama yang benar akan mencurahkan kepada para pemeluknya ruh kehidupan yang menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat. Orang yang tidak memiliki agama tidak akan mendapatkan dua kebahagiaan itu. Dalam perilaku sehari-hari pun ia akan terlihat bertindak serampangan dan tampak gelisah. Biasanya, dalam mengikuti kesesatan dan keserampangannya, ia akan mencari sandaran apa saja. Itulah sunnatullah di alam ini. Sunnatullah itu tidak akan pernah berubah. Sementara di akhirat, karena mereka tidak mungkin dapat mencapai kedudukan orang-orang yang mendapatkan petunjuk, bisa saja Allah memberikan maaf kepada mereka. Dialah Zat yang selalu melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya. Demikian, kata Ustadz.
Saya tambahkan bahwa orang-orang yang sama sekali tidak pernah mendapatkan hidayah agama tidak masuk akal akan disiksa di akhirat akibat meninggalkan sesuatu yang tidak dapat mereka ketahui selain dengan petunjuk agama. Mereka termasuk pada kelompok ghair mukallaf (tidak terkena beban syariat). Mayoritas ahli kalam berpendapat seperti ini. Mereka mendasarkan pada firman Allah dalam Surah Al-Isrâ’,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلً
“Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS Al-Isrâ’ -17: 15)
Orang yang berpendapat bahwa mereka tetap termasuk mukallaf, karena masih memiliki akal, tidak tepat alasannya. Lain halnya apabila yang dimaksud olehnya adalah bahwa keberadaan mereka di akhirat kelak bergantung pada seberapa jauh jiwa mereka tercerahkan dengan petunjuk akal dan nalurinya. Sebab, tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak tersentuh risalah kenabian berbeda-beda tingkat pengetahuan dan amalnya sesuai dengan bakat naluriah dan baik-buruk pendidikannya. Dengan penjelasan ini, kedua pendapat, mukallaf dan bukan, dapat dikompromikan dan dapat dibedakan. Balasan yang diberikan oleh Allah kepada mereka yang tidak tersentuh syariat di akhirat bergantung pada kebaikan dan keburukan yang mereka lakukan. Ini adalah balasan yang adil atas perbuatan sadar mereka. Jika menghendaki, Allah akan menambah balasan itu sebagai kemurahan-Nya.
Masalah ini akan saya jelaskan secara lebih terperinci dalam tafsir ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan masalah ini. Sekarang saya kembali melanjutkan pembicaraan Ustadz Muhammad ‘Abduh.
Golongan kedua orang yang sesat adalah orang yang sudah menerima dakwah secara memadai sehingga dirinya mengetahui kebenaran. Keinginannya sudah cenderung pada kebenaran dan ia pun telah sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Sayangnya, ia tidak menemukan keimanan. Umurnya habis digunakan untuk mencari kebenaran tanpa ia mengimani keberadaan Allah. Kasus ini hanya terjadi pada beberapa individu di suatu umat, tidak merata pada seluruh individu umat yang bersangkutan. Dampaknya pada umat pun secara keseluruhan tidak tampak. Keberadaannya tidak akan membuat umat bahagia atau sengsara di dunia. Mengenai orang ini, sebagian ulama Asy’ariyyah berpendapat bahwa ia termasuk orang yang diharapkan mendapatkan rahmat Allah. Pendapat ini dikutip langsung dari Abu Hasan Al-Asy’ari. Sedangkan, menurut mayoritas ulama, tidak diragukan, ia akan mendapatkan siksa. Namun, siksaannya lebih ringan daripada siksaan bagi orang yang mengingkari wahyu, menolak dalil, mengufuri nikmat akal, dan senang tetap dalam kebodohannya.
Golongan ketiga adalah mereka yang telah mendengar risalah dan membenarkannya. Namun, mereka tidak memerhatikan dalil-dalil dan kaidah-kaidah dasar dari risalah itu. Akhirnya, dalam memahami dasar-dasar akidah, mereka hanya mengikuti hawa nafsu. Mereka adalah para ahli bid’ah dalam setiap agama, termasuk dalam Islam. Mereka adalah orang-orang yang mengubah akidah yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan diikuti oleh ulama salaf dan generasi pertama Islam. Mereka adalah orang-orang yang menggiring umat menuju banyak tempat minum. Namun, saat airnya diminum, dahaga tetap tidak hilang. Berikut ini adalah contoh yang menggambarkan orang sesat yang termasuk golongan ketiga.
Seorang laki-laki datang ke persidangan. Ia bersumpah atas nama Allah atau menggunakan mushaf Al-Quran. Saat melakukan sumpah tersebut, di wajahnya tampak tanda-tanda kebohongan. Kemudian, dari sudut lain datang orang yang menyuruhnya bersumpah. Ia memintanya bersumpah atas nama guru spiritual (syaikh) yang ia yakini kewaliannya. Tiba-tiba air mukanya berubah, tubuhnya gemetar, lalu mengatakan yang sebenarnya. Ia menarik kembali sumpahnya yang pertama karena menghormati syaikh itu. Ia takut kehilangan nikmat atau ditimpa bencana gara-gara bersumpah palsu atas nama syaikh.
Dari sisi akidah, apa yang dilakukan oleh orang itu jelas sebuah kesesatan. Ia tersesat dari keimanan kepada Allah SWT dan kewajiban mengesakan-Nya melalui tindakan.
Kalau kita mengungkap semua kesesatan kaum Muslim dalam masalah akidah yang disebabkan oleh bid’ah terhadap agama Islam, pasti akan sangat panjang. Dibutuhkan berjilid-jilid buku untuk menjelaskan kesesatan yang mereka lakukan itu. Dan, di antara bid’ah yang dampaknya paling buruk dan berbahaya adalah perbuatan para pemuka sekte-sekte tertentu yang masuk terlalu jauh dalam membicarakan masalah qadha dan qadar , ikhtiar manusia, pemaksaan Tuhan, pembuktian janji dan ancaman Tuhan, yang diikuti oleh sikap meremehkan pengingkaran kepada Allah SWT yang dilakukan manusia.
Apabila kita menimbang keyakinan dalam otak kita dengan kitab Allah sebelum kita menggunakan otak itu, akan tampak apakah kita mendapatkan petunjuk atau sesat. Namun, apabila belum apa-apa sudah memasukkan apa yang ada dalam otak ke dalam Al-Qur’an, kita tidak akan mungkin membedakan petunjuk dari kesesatan. Sebab, antara yang ditimbang dan timbangan mengalami kerancuan. Tidak jelas mana yang ditimbang dan mana timbangan.
Saya menginginkan agar Al-Qur’an dijadikan landasan berbagai mazhab dan pemikiran dalam agama. Bukan mazhab-mazhab itu sendiri yang dijadikan dasar, lalu Al-Qur’an yang dicocok-cocokkan, ditakwil, atau diubah agar sesuai dengan mazhab-mazhab itu, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang sesat.
Golongan keempat adalah orang yang sesat dalam tindakan karena mengubah hukum-hukum yang telah ditetapkan. Umpamanya, mereka salah memahami makna shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lain. Mereka pun salah memahami makna hukum-hukum lain dalam hukum muamalah. Bentuk paling nyata dari sikap mereka –sebagai contoh- adalah menghindar dari kewajiban zakat dengan cara memindahkan kepemilikan harta ke tangan orang lain sebelum ẖaul (genap satu tahun). Beberapa saat setelah habis masa ẖaul, mereka mengambil lagi hartanya hingga tidak terkena kewajiban zakat. Orang ini mengira, dengan kelakuannya itu, terbebas dari kewajiban dan selamat dari murka Allah –padahal di hadapan-Nya tidak ada sesuatu pun yang samar. Ia tidak sadar bahwa perbuatannya itu telah menghancurkan salah satu rukun agama yang paling penting.
Tiga kelompok dari keempat golongan orang yang sesat di atas, yaitu golongan pertama, ketiga, dan keempat, pengaruhnya sangat besar terhadap umat, di antaranya rusaknya kekuatan pikiran, hancurnya akhlak, kacaunya amal, dan lahirnya kesengsaraan. Hal itu tiada lain kecuali sebagai siksaan dari Allah yang pasti akan ditimpakan kepada mereka. Itulah sunnatullah, dan sunnatullah tidak akan berganti. Munculnya kelemahan dan turunnya bencana terhadap suatu umat adalah pertanda murka Allah SWT akibat mereka telah membuat-buat keyakinan dan tindakan yang tidak mengikuti sunnah-Nya.
Allah SWT mengajarkan kepada kita agar memohon ditunjukkan pada jalan orang-orang yang telah mendapatkan nikmat-Nya karena menaati batas-batas-Nya. Kita pun diajari untuk meminta kepada-Nya agar pikiran dan amal kita diluruskan dengan memahami petunjuk-Nya. Kita diajari agar dijauhkan dari jalan orang-orang yang mendapatkan siksa Allah karena melanggar syariat-Nya, baik karena sengaja dan menolak maupun karena keliru dan bodoh.
Apabila suatu umat telah tersesat dari jalan yang lurus dan memainkan kebatilan dengan hawa nafsunya, akhlak mereka akan rusak dan amal mereka akan sakit. Mereka akan terjerumus pada kesengsaraan yang sebelumnya dianggap mustahil. Allah akan mengangkat penguasa yang otoriter dan sewenang-wenang. Azab atas mereka akan didahulukan di dunia, sekali pun di akhirat mereka akan tetap mendapatkannya. Apabila kesesatan terus-menerus dilakukan, pasti kehancuran akan tiba dan mengenyahkan keberadaan mereka. Untuk itu, Allah mengajari kita agar memerhatikan keadaan umat-umat terdahulu dan umat yang ada hari ini supaya kita mendapatkan pelajaran dan dapat membedakan mana umat yang berbahagia dan mana umat yang celaka.
Sementara, terhadap individu-individu yang sesat, Allah tidak selalu menurunkan siksa-Nya di dunia ini. Terkadang ia disiksa secara perlahan-lahan tanpa disadari. Terkadang pula kematian menjemputnya sebelum nikmat hilang dari dirinya. Ia akan disiksa,
يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْـًٔا وَالْاَمْرُ يَوْمَىِٕذٍ لِّلّٰهِ
“(Yaitu) pada hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya sedikitpun (untuk menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” (QS Al-Infithâr -82: 19)
SUMBER: Diambil dari buku TAFSIR AL-FATIHAH, Menemukan Hakikat Ibadah; Muhammad Rasyid Ridha; Penerjemah: Tiar Anwar Bachtiar; Penerbit: Al-Bayan (2005). Terjemahan dari karya asli beliau: Tafsir Al-Fatihah wa Sittu Suwar min Khawatim Al-Qur’an, terbitan Al-Zahra li al-I’lam al-‘Arabi, Kairo.
BACA JUGA:
TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat ke-6: Makna dan Hakikat Hidayah
TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat ke-5: Beribadah dan Memohon Pertolongan Allah
TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat ke-4: Hakikat Hari Pembalasan
One thought on “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 7 – HABIS”