Karantina Kesehatan

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)

HSA ALHAMDANIUlama kelahiran Kuala Kapuas (Kalteng) yang kemudian pindah dan meninggal di Pekalongan ini adalah salah satu murid takhasus Syekh Ahmad Surkati. Beliau salah satu ahli fikih besar Al-Irsyad yang lama menjadi ketua Majelis Ifta’ wa Tarhih DPP Al-Irsyad Al-Islamiyyah sampai akhir hayatnya, dan penulis puluhan buku tentang fiqih.*

Islam adalah agama peradaban, yang ingin membentuk masyarakat yang benar-benar berperikemanusiaan. Karenanya Islam menyuruh memelihara dan menjaga keselamatan lima perkara: agama, jiwa, akal, turunan, dan harta benda.

Di antara cabang-cabang pemeliharaan atas diri manusia ialah bahwa Islam memerintahkan kita untuk menjaga kebersihan dan kesehatan.  Sebab, dengan kebersihan berkuranglah benih-benih kuman yang menularkan penyakit-penyakit yang membinasakan manusia. Dan dengan memelihara kesehatan berkuranglah penyakit, dan manusia dapat hidup aman dari wabah yang menyebabkan banyak kematian, dan seterusnya.

Di antara cara pemeliharaan kesehatan adalah menyingkirkan orang yang sakit dari orang yang sehat, dan selama sakitnya tidak diperkenankan bergaul dengan manusia sehat, kecuali saat-saat kunjungan dan sekedar waktu yang diperlukan.


Di antara penyakit ada yang penderitanya tidak boleh dikunjungi karena penyakitnya menular, seperti lepra, kolera, sampar (pes), kurap dan sebagainya. Hal itu sekadar untuk menjaga diri, sebagaimana yang diajarkan oleh Allah, dan bukan karena lari dari takdir Allah. Hal ini tidak bertentangan dengan hadits Nabi yang berbunyi:

 لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ

Tidak ada penjangkitan (penularan penyakit) dan tidak ada kesialan (karena burung).” (HR Buahri dan Muslim)

Di masa jahiliyah, bila seseorang hendak bepergian, maka terlebih dulu ia melihat ke arah mana burung terbang. Jika misalnya orang itu hendak ke jurusan timur, lalu melihat burung terbang ke arah timur, maka ia langsungkan perjalanannya ke jurusan tersebut. Tapi kalau sebaliknya maka ia gagalkanlah kepergiannya pada hari itu, karena hari tu dianggapnya hari sial.

Ada disebutkan beberapa hadits Rasulullah saw. tentang masalah yang kesemuanya menjadi bukti kenabian Rasulullah saw., karena ia diakui kebenarannya oleh ilmu kesehatan dan kedokteran modern sesudah lewat masa lebih dari 13 abad dan sekarang menjadi peraturan bagi karantina kesehatan di dunia internasional yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang beradab dewasa ini.

Di antara hadits-hadits itu adalah hadits Rasulullah saw. tentang wabah penyakit.

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

Bila kalian mendengar wabah di suatu daerah, maka jangan kalian masuk ke dalamnya (daerah itu). Tetapi, jika wabah terjadi di daerah kalian berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)

Dalam suatu riwayat disebutkan,

Seorang yang menderita penyakit kusta darang hendak menyatakan bai’at kepada Rasulullah, maka Rasulullah mengutus orang untuk menerima bai’atnya, tetapi tidak mengizinkannya masuk kota Madinah.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

Jauhilah orang yang berpenyakit kusta, sebagaimana kamu menjauhi seekor singa.” (HR. Bukhari)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dijelaskan bahwa Rasulullah saw. memberi petunjuk kepada orang-orang yang beternak unta. Beliau berkata,

Janganlah unta yang sakit diberi minum di tempat minum unta yang sehat.”

Hadits-hadits ini tidak bertentangan dengan hadits yang menolak penularan penyakit dan kesialan karena burung.

Hadits-hadits tersebut memberi tuntunan dalam memelihara kesehatan, di antaranya dengan menjauhkan diri dari berdiam dan bergaul dengan orang sakit selama sakitnya. Yang demikian itu adalah untuk mencegah terjadinya penularan.

Adapun hadits yang mengatakan “tidak adanya penularan penyakit” maksudnya ialah supaya orang yang berkumpul tidak percaya atau tidak menduga-duga bahwa penyakit itu pasti terjadi karena penularan atau hal-hal gaib lainnya. Karenanya di akhir hadits dikatakan , “Siapa yang paling pertama menulari (penyakit itu) ke yang sakit? Wallahu a’lam bish-shawab!”

Menurut pendapat Abdurrahim ath-Thanthawi, tidak ada pertentangan antara kedua macam hadits itu. Sebab, maksud dari hadits yang menolak adanya penularan itu adalah untuk menghapuskan kepercayaan jahiliyah yang semata-mata menyandarkan penyakit itu sebagai hasil penularan, tanpa menyandarkannya kepada Allah, satu-satu-Nya yang memberi bekas di alam ini. Sedang larangan mendekati orang sakit kusta menyatakan hubungan sebab dan akibat yang ditetapkan Allah antara si sakit dan yang ditularinya. Maka dalam larangan itu Allah  menegaskan sebabnya sakit adalah penularan dan di dalamnya terdapat isyarat bahwa sebab-sebab itu tidak berdiri sendiri. Malah kalau Allah menghendaki, Allah kuasa menghilangkan pengaruhnya sehingga ia tidak sampai menular. Dan kalau Allah menghendaki, Allah kuasa pula membiarkan penyakit itu melakukan pengaruh penularannya. Sehingga ia menular kepada yang sehat. Demikianlah tersebut dalam kitab Hidayatul Bari, juz 11, halaman 207.*

SUMBER: Buku RISALAH JANAIZ, karya H. Said Thalib al-Hamdani, terbitan PT Al-Ma’arif Bandung, 1973. Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Arab seperti puluhan buku karya Ustadz Said al-Hamdani lainnya, dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh H. Ahmad Muhajir.*

 

2 thoughts on “Karantina Kesehatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *