PEMBAHARU DI KANCAH PERJUANGAN BANGSA
Oleh: Mansyur Alkatiri
Sejarah umat Islam Indonesia, bahkan sejarah bangsa dan negara Indonesia, mungkin akan berbeda bila Syekh Ahmad Surkati tidak memutuskan hijrah ke negeri yang dulu dikenal dengan nama Hindia Belanda ini di tahun 1911. Ia menerima ajakan Jamiat Khair untuk pindah dari Mekkah, pusat Islam dunia, untuk memimpin sekolah-sekolah milik organisasi pendidikan modern tertua di Indonesia itu.
Keputusan itu mestinya sangat berat mengingat kedudukannya yang prestisius di Mekkah, sebagai seorang allamah dan mufti di kota suci itu, juga pengajar resmi di Masjidil Haram. Tak heran kalau sahabat dan saudaranya berusaha mencegahnya hijrah. Namun, Surkati menjawab dengan heroik, “Bagi saya, mati di Jawa dengan berjihad (berjuang) lebih mulia daripada mati di Mekkah tanpa jihad.”
Ahmad Surkati lahir pada 1875 di Dungulah, Sudan bagian utara. Ayahnya seorang ulama, lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia pun sempat belajar di Al-Azhar, namun takdir Allah kemudian membawanya ke Mekkah dan Madinah, menimba ilmu di dua kota suci itu sampai meraih gelar dan kedudukan tinggi di sana.
Beliau seorang reformis, pembaca kitab dan pengagum dua ulama besar Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Juga pengagum berat pemikiran pembaharuan Islam Syekh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Ia juga pembaca setia majalah Al-Manaar yang diterbitkan di Kairo oleh Rasyid Ridha, murid utama Abduh, yang berisi tulisan-tulisan mereka berdua, termasuk kitab tafsir kontemporer yang kemudian dikenal dengan Tafsir Al-Manaar.
Dalam Riwayat Hidup as-Surkati diungkapkan bahwa selama di Mekkah Surkati mempelajari ajaran Abduh dari korespondensi dengan para pelajar dan pengajar di Al-Azhar, Kairo. Aktivitas ini membuat Surkati dikenal di kalangan ulama Al-Azhar. Hingga, saat datang utusan dari Jamiat Khair untuk mencari guru, ulama Al-Azhar merekomendasikan nama Ahmad Surkati.
Syekh Ahmad Surkati mendarat di Batavia pada Rabiul Awwal 1329 H atau Maret 1911 bersama beberapa kawan dekatnya yang mendampinginya sebagai guru. Beliau tak butuh waktu lama menjadikan Jamiat Khair sebagai sekolah Islam berkualitas dan favorit. Namun, konservatisme di kalangan mayoritas petingginya akhirnya membuat hubungan mereka retak, terutama setelah kasus fatwa kafaah di Solo.
Akhirnya, Surkati pun hengkang. Lalu, bersama sahabat-sahabatnya di Batavia mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah pada 15 Syawwal 1332 H atau 6 September 1914. Bersamaan dengan itu dibentuk pula Jam’iyyah Al-Islah wal-Irsyad al-‘Arabiyah, yang kemudian berganti menjadi Jam’iyyah Al-Islah wal-Irsyad al-Islamiyyah, sebagai badan hukum yang memayungi Madrasah Al-Irsyad.
Penyebar Reformisme (Pembaharuan) Islam
Ahmad Surkati lebih mudah mengembangkan pemahaman reformisme Islam melalui Al-Irsyad. Maka, segera madrasah-madrasah Al-Irsyad meroket namanya di seluruh Jawa, bahkan sampai Sumatera. Sebagai pengusung faham reformisme Islam, Al-Irsyad pun mengaplikasikan pembaharuan Al-Afghani dan Abduh untuk sekolah-sekolah Islam, yaitu dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum bagi seluruh siswanya, termasuk matematika, biologi, bahasa Inggris dan lain-lainnya.
Guru utama kaum pembaharu Islam, Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M), menjelaskan dengan baik keadaan di masanya: “Saat ini mereka (ulama) membagi ilmu pengetahuan menjadi dua bagian. Yang satu mereka sebut ‘ilmu pengetahuan Islam’, dan satunya lagi ‘ilmu pengetahuan Eropa (non-Islam)’. Mereka pun melarang Muslim untuk belajar ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat. Ilmu-ilmu alam tak ada dalam kurikulum lembaga-lembaga pendidikan Islam.” Lalu dengan tegas Al-Afghani menyatakan, “Sungguh, mereka yang menganggap diri telah menyelamatkan agama Islam ini dengan melarang mempelajari beberapa ilmu pengetahuan, sejatinya adalah musuh dari agama ini.”
Saat menjadi mufti di Mesir pada 1899-1905, Muhammad Abduh (1849-1905 M) menerapkan ide-ide pembaharuan Al-Afghani itu di Mesir. Ia mengubah kurikulum pendidikan secara total, dengan memasukkan ilmu-ilmu umum di sekolah-sekolah Islam dan memasukkan ilmu-ilmu keislaman di sekolah-sekolah umum. Sebelumnya, sekolah-sekolah agama hanya mengajarkan ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits, fikih, akhlak dan sejenisnya, sedangkan sekolah-sekolah umum sama sekali tak mengajarkan pelajaran agama dalam kurikulumnya.
Sebagai agen pembaharuan Islam, Ahmad Surkati juga menerapkan hal yang sama di Indonesia. Ia tidak mau membedakan dan mengelompokkan ilmu pengetahuan ke dalam dikotomi ilmu agama dan ilmu dunia. Ia sadar bahwa semua ilmu adalah dari Allah.
Pan-Islam
Ada kesalahan fatal yang dilakukan sementara orang, termasuk kalangan peneliti, dalam memotret gerakan Al-Irsyad dan Ahmad Surkati. Mereka hanya melihat Al-Irsyad dan Ahmad Surkati bergerak di kalangan masyarakat Hadrami atau keturunan Arab di Indonesia. Potret ini menyesatkan.
Padahal, sejak awal berdirinya, Syekh Ahmad Surkati dan Al-Irsyad sudah bergulat dengan gerakan nasional Islam dan kebangsaan di Indonesia. Al-Irsyad sudah terlibat penuh dalam Kongres Al-Islam I di Cirebon pada 1922 bersama Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Begitu pula dengan Kongres-Kongres Al-Islam berikutnya. Surkati mampu menjalin hubungan baik dengan para tokoh pergerakan bangsa dan umat, seperti KH Mas Mansur, HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, bahkan kemudian Bung Karno.
Banyak sekali peristiwa yang memperlihatkan kehausan Surkati untuk berdialog dengan para pemimpin pergerakan Islam dan kebangsaan, di antaranya saat Kongres Al-Islam 1922. Di sela acara Kongres, Surkati mengadakan dialog terbuka dengan Semaun, pemimpin Sarekat Islam Merah. Semaun didampingi sahabatnya, Hasan dari Semarang dan Sanusi dari Bandung. Sedang Surkati didampingi Abdullah Badjerei yang masih belia sebagai penerjemah dan Umar Naji Baraba.
Topik debat itu sekitar masalah Pan-Islamisme dan Komunisme, yaitu: Islam atau Komunisme yang bisa membebaskan negeri ini dari penjajahan?
Sebagai penganut Pan-Islam, Surkati tentu saja berusaha meyakinkan Semaun, bahwa hanya dengan Islam dan persatuan Dunia Islam, negeri Indonesia ini bisa dimerdekakan. Sedangkan Semaun berpendapat bahwa komunisme-lah yang mampu menghadapi kolonialisme Belanda. Dua jam lebih perdebatan itu berlangsung, namun tidak ada titik temu di antara mereka.
Dialog terbuka itu telah menempatkan Syekh Ahmad Surkati sebagai sosok penting di tengah-tengah pemimpin pergerakan kebangsaan ketika itu. Beliau dengan berani berbicara soal memerdekakan rakyat negeri tempat ia melaksanakan misinya sebagai seorang Muslim. Ini sekaligus memberi bukti betapa luas wawasan yang dimiliki Surkati, dan betapa luas pula medan perjuangannya, bukan sekedar mengurusi masyarakat Hadrami.
Menurut penuturan Abdullah Badjerei, yang mendampingi Surkati dalam debat itu, meski berbeda paham ideologi, Syekh Surkati tetap memuji Semaun. “Saya suka sekali orang ini karena keyakinannya yang demikian kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunisme-lah tanah airnya dapat dimerdekakan.” Ini menunjukkan jiwa besar dan watak kepemimpinan Surkati.
Debat terbuka itu digagas Ahmad Surkati dengan harapan bisa menyadarkan Semaun dari kekeliruannya, dan mau bersatu kembali dengan HOS Tjokroaminoto, ketua Sarekat Islam (SI), yang baru dibebaskan dari penjara Belanda menjelang Kongres Al-Islam itu. Bagi Surkati, pecahnya SI akan menghambat pengembangan Pan-Islam selanjutnya di Indonesia. Tjokroaminoto sendiri adalah penganut Pan-Islam, sama seperti Surkati.
Guru Spiritual Pergerakan Islam
Meski lahir dan besar di tengah gurun Afrika dan Arabia, Ahmad Surkati sudah menyatu jiwa dengan Indonesia, tanah air barunya. “Aku merasa telah bertahun-tahun berkecimpung memimpin Al-Irsyad di Indonesia. Bahwa tiap-tiap dzarrah (atom) dari badan saya telah berganti dengan unsur-unsur Indonesia. Aku akan tetap hidup di Indonesia sampai akhir hayatku,” katanya seperti diungkapkan HM Rasyidi, salah satu murid utamanya yang kemudian menjadi menteri agama pertama RI.
Rasa keindonesiaannya itu telah menuntun Syekh Ahmad Surkati terlibat aktif dalam membimbing perjuangan golongan Islam Indonesia menghadapi penjajahan Belanda. Surkati pun dikenal sebagai “guru spiritual” Jong Islamieten Bond, sebuah organisasi intelektual muda Muslim berpendidikan Barat yang berdiri 1 Januari 1925. Para aktifis JIB seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo dan lainnya sering belajar kepada Surkati. Syekh Surkati juga sangat dekat dengan KH Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam. Mereka kerap berdialog mengenai berbagai masalah.
Ahmad Surkati sangat membenci penjajahan dan tidak mau umat Islam Indonesia diperbudak oleh orang-orang Belanda. Sikap anti penjajahan itu diperlihatkan dengan memperjuangkan persamaan derajat sesama manusia (Al-Musawa). Menurut Ahmad Surkati, ”Mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah.” (Darmansyah, dkk. 2006, hal. 10-11).
Kepada para pemuda JIB, Surkati tegas mengajarkan keyakinan Qur’ani bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan merdeka. Belanda bukan hanya menjajah fisik namun juga menindas harkat dan jiwa bangsa Indonesia. Surkati juga memberi kesempatan kepada pemuda-pemuda pergerakan nasional itu untuk menggunakan fasilitas Al-Irsyad. Mereka pun secara berkala mengikuti ceramah dan kursus agama yang diadakan di gedung Al-Irsyad.
Selain itu, Ahmad Surkati juga sering mengisi ceramah-ceramah yang diadakan oleh JIB. Bahkan atas permintaan Tjokrohadikoesoemo, ketua JIB cabang Batavia, Al-Irsyad menunjuk Ali Harharah untuk memberi pelajaran agama Islam dan bahasa Arab bagi para anaggota JIB setiap Ahad.
Al-Irsyad juga aktif dalam pembentuan MIAI (Majlis Islam ‘A’laa Indonesia), Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI) dan Amal Muslimin. Bahkan Syekh Ahmad Surkati duduk di Dewan Penasihat dan Umar Hubeis di Sekretaris II MIAI.
Tokoh penting pergerakan nasional yang agak terlambat membuka dialog dengan Ahmad Surkati adalah Ir. Soekarno, yang di tahun 1945 menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Bung Karno baru bertemu Surkati di saat kedua belah mata Surkati telah buta di tahun 1940. Bung Karno menyatakan penyesalannya karena pertemuan-pertemuan mereka berlangsung pada saat kedua mata Surkati sudah tidak bisa melihat lagi.
Menurut Ridwan Saidi, Bung Karno mendekat kepada Ahmad Surkati karena tahu bahwa Surkati adalah simpul jaringan gerakan Pan-Islamisme dunia. “Bung Karno bolak-balik menemui Surkati karena tahu bahwa Surkati adalah network (jaringan) Pan-Islamisme. Bung Karno minta dukungan pada Surkati agar Dunia Arab mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Kepada siapa lagi Bung Karno minta dukungahn kalau tidak ke Dunia Arab dan Islam?” kata Ridwan Saidi saat ditemui di rumah tinggal Syekh Ahmad Surkati beberapa waktu lalu.
Syaikh Ahmad Surkati Al-Anshari wafat di kediamannya, Jalan KH Hasyim Asy’ari No. 25 Jakarta sekarang ini, yang pernah dipergunakan sebagai kantor Al-Irsyad tingkat nasional, pada Kamis 16 September 1943 pukul 09.00 WIB. Ia dimakamkan di pemakaman Karet Tanah Abang Jakarta, yang sekarang tepatnya sudah menjadi lapangan parker Perguruan Said Na’um. Ketika jenazah diusung menuju tempat pemakaman, ikut mengantar berjalan kaki Bung Karno serta para pemimpin Islam lainnya.
Di acara pemakaman itu, Wondoamiseno, tokoh Syarekat Islam dan ketua MIAI berbicara atas nama umat Islam Indonesia, melepas kepergian seorang ulama besar, tokoh pembaharuan Islam Indonesia. Bung Karno sebetulnya ingin ikut memberi sambutan, tapi tidak mendapat kesempatan.
Semoga Allah memberi maghfirah, rahmat dan pahala yang besar pada guru kita, Syekh Ahmad Surkati, atas amal-amalnya dalam menegakkan dakwah Islam semasa hidup.*
Sejarah mengenai Syekh Ahmad Syurkati diatas sangat menginspirasi dan menginformasi! Banyak pelajaran yang bisa diambil disana, terlebih itu adalah salah satu sejarah umat Islam yang berhijrah ke Indonesia.. Terimakasih!