Tafsir dan Keterangan (2)
Oleh: Geys Amar, SH (Ketua Umum PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah 1982-2000)
5. TAQLID
Taqlid adalah mengikut para ulama dalam memahami ajaran Allah dan hukum-hukumnya, tidak menggunakan akal pikiran maupun penglihatannya. Pendapat fuqaha yang tercantum dalam kitab-kitab fiqh bukan merupakan dalil agama melainkan hanya sebagai istisyhad (tambahan, pembukti). Sedang dalil agama adalah apa-apa yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalilnya adalah:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat – ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-A’raaf: 179)
Seseorang telah bertaqlid kepada orang lain tertentu, apabila lebih mengutamakan pendapat orang tersebut dari pada pandangan orang lain yang disertai dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Posisi seperti itu merupakan sikap yang salah dan bertentangan dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya, para sahabat, tabi’in dan para mujtahid.
Terhadap mereka yang awam, dianjurkan oleh Syekh Ahmad Surkati melakukan ittiba’ atau ta’assi, dalam arti mengambil ketentuan agama yang didasari oleh dalil yang kuat dari orang yang diketahui alim, hati-hati dan terpercaya. Mereka yang bertaqlid dalam arti mengikuti salah satu madzhab tidak salah, apabila cara bermadzhabnya tidak fanatik. Fanatisme ini bertentangan dengan pandangan para mujtahid. Namun tidak berarti harus pindah-pindah madzhab yang satu kepada madzhab yang lain tanpa ada dalil yang kuat.
Syekh Ahmad Surkati menyebut 3 bentuk muqallid yaitu:
(1) Muqallid yang sebenarnya berkemampuan untuk memahami hujjah Allah dan hukum-hukum-Nya, namun ia tidak menggunakan kemampuan akal pikirannya itu untuk memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, bahkan tidak mau mendengarkan pandangan yang disertai dalil dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Muqallid sedemikian tergolong sebagaimana yang disebut dalam surat Al-A’raaf: 179 di atas.
(2) Muqallid yang bertaqlid karena tidak mampu untuk memahami hujjah dan dalil atau tidak mempunyai kesempatan untuk meneliti sendiri, menelaah dan memahami isi Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Orang sedemikian dituntut untuk bertanya kepada orang yang ahli. Yang dimaksud bukan menanyakan pendapat-pendapatnya sebagai hasil dari pengkajiannya, tetapi menanyakan yang diketahuinya tentang ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian ia minta bantuan kepada orang yang ahli dalam memahami hal-hal yang sulit dipahaminya.
(3) Muqallid yang memang rendah kemampuannya, baik yang menyangkut akal pikiran maupun penerimaanya terhadap sesuatu ajaran agama, dan karena itu tidak ada jalan lain kecuali bertaqlid mutlak. Orang yang bertaqlid tersebut harus dicegah dari sikap fanatik dan diarahkan untuk menyadari bahwa yang dilakukan itu adalah ajaran Allah dan Rasul-Nya.
6. IJTIHAD
Ijtihad dari segi bahasa adalah pencurahan daya dan upaya serta kemampuan secara maksimal.
Ijtihad dari segi agama adalah adalah pencurahan seluruh daya untuk menelaah isi kandungan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengembangkan hukum-hukumnya.
Diintrodusirnya ijtihad dalam rangka pemurnian agama karena pengaruh negatif yang ditimbulkan dari kebiasaan bertaqlid, lebih-lebih dengan didengungkannya dalam masyarakat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Konsepsi Islam yang digarap Syekh Ahmad Surkati menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup, artinya tetap terbuka. Langkah yang ditempuh Syekh Ahmad Surkati ini adalah untuk mendidik agar generasi muda meninggalkan taqlid buta dan mendekati ijtihad, disamping itu untuk kepentingan umat sesuai dengan tuntutan zaman, tempat dan keadaan.
7. KHURAFAT
Yang dimaksud dengan khurafat adalah: “hikayat-hikayat takhayul, keramat yang dusta”.
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepercayaan khurafat menyebabkan praktek keagamaan menjadi berkelebihan (ghuluw). Secara tidak disadari masyarakat telah terbenam dalam lumpur syirk dan bid’ah. Ketaatan terhadap agama tidak didasarkan pada syariah tetapi cenderung untuk mengkultuskan sebagian gologan dalam masyarakat.
Contoh-contoh khurafat, yaitu:
- Bahwasanya Ali bin Abi Thalib pernah masuk kerumah Nabi saw. yang sedang duduk di situ, kemudian Nabi peluk Ali, maka berkata Abbas kepada Nabi saw.: “Apakah engkau cinta padanya?” Jawab: Ya! Bahwa Allah lebih cinta dari padaku. Allah jadikan turunan tiap-tiap nabi pada tulang sulbiku, tetapi Allah jadikan turunanku pada tulang sulbi Ali bin Abi Thalib.”
- Dari Ibnu Umar ra., telah bersabda Nabi Muhammad saw., “Aku akan berikan syafaatku, lebih dahulu di antara umatku, ialah kepada ahli baitku, kemudian yang akrab dari bangsa Quraisy, kemudian al-Ans, kemudian siapa yang percaya padaku dan menurut padaku dari negeri Yaman, kemudian selain bangsa Arab, kemudian bangsa ‘ajam. Dan siapa yang menerima syafaatku lebih dahulu dialah yang paling afdhal (mulia).”
- Perkataan ahl al bayt yang tersebut dalam beberapa ayat Al-Qur’an itu termasuk Ali, Fatimah dan kedua anaknya (Al Hasan dan Al Husain)….. tidak menjadi halangan.
- Memuliakan seorang Syarif yang terang asal usul keturunanya itu seumpama menjalankan satu furdhu….. Dan memuliakan yang tidak terang keturunannya seumpama melakukan nawafil…. untuk taqarrub kepada Allah swt.
- Diwajibkan atas siapa yang mampu apabila melihat seorang syarif yang dililit hutang, agar ia melepaskannya dari jeratan hutang dengan hartanya, karena dia itu (si syarif) adalah satu juzu (sebagian) dari Rasulullah saw. *