Tafsir Al-Fatihah, Rasyid Ridha – Tinjauan Umum

Rasyid RidhaOleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)

Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.

 

Tinjauan Umum Surah Al-Fatihah

Surah ini memiliki beberapa nama. Nama yang paling masyhur adalah Fâtiẖah Al-Kitab (Pembuka Al-Quran), Umm Al-Qur’ân (Induk Al-Quran), dan Al-Sab’ Al-Mâtsanî (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang). Surah ini terdiri dari tujuh ayat. Ayat pertamanya adalah basmalah.

Guru kami, Ustad Muhammad ‘Abduh, memastikan bahwa Al-Fâtiẖah adalah surah yang pertama kali diturunkan. Pendapat beliau didasarkan pada riwayat Imam  Ali bin Abi Thalib karamallâhu wajhah. Dalil lain yang dipakai oleh beliau adalah ijmak tentang penempatan surah ini di awal Al-Quran. Selain itu, isinya yang mencakup keseluruhan isi Al-Quran secara global adalah bukti yang mendukung keberadaan Al-Fâtiẖah sebagai surah yang paling pertama diturunkan. Maka, tidak heran kalau surah ini dinamai dengan Umm Al-Kitâb (Induk Al-Kitab). Secara lebih detail, saya akan mengemukakan pandangan beliau sebagai hasil kutipan dari ceramah yang disampaikannya di Al-Azhar.

Mayoritas ulama sepakat bahwa surah yang pertama kali diturunkan adalah lima ayat pertama Surah Al-‘Alaq. Walaupun demikian, dapat dikatakan bahwa penurunan lima ayat pertama Surah Al-‘Alaq sebelum Al-Fâtiẖah tidak bertentangan dengan pendapat Syaikh di atas. Lima ayat pertama Surah Al-‘Alaq itu merupakan pengantar bagi turunnya surah yang maknanya umum dan terperinci. Pengantar ini khusus berkenaan dengan keadaan Nabi Saw. pada waktu permulaan wahyu diturunkan dan merupakan pemberitahuan kepada beliau bahwa –sekalipun seorang umî– dirinya akan dapat membaca dengan menyebut nama Allah Swt. dan mengeluarkan umatnya dari kebodohan kepada kepintaran melalui baca-tulis.

Keadaan Nabi Saw. yang dapat mengeluarkan umatnya dari kebodohan kepada kepintaran tersebut adalah pengabulan atas doa nenek moyang beliau, Ibrahim, yang pernah berdoa,

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيْهِمْ

Wahai Tuhan kami! Utuslah kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri yang akan membacakan ayat-ayat-Mu kepada mereka, dan mengajarkan Al-Kitâb dan hikmah, serta membersihkan mereka.(QS Al-Baqarah: 129)

Al-Fâtiẖah adalah surah pertama yang diturunkan secara utuh. Nabi Saw. memerintahkan agar surah itu dijadikan sebagai pembuka Al-Quran. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama. Sementara itu, Surah Al-‘Alaq diturunkan secara utuh setelah kewajiban shalat. Sedangkan, shalat mesti dilaksanakan dengan membaca Al-Fâtiẖah. Dalam surah itu terdapat ayat yang berbunyi,

اَرَاَيْتَ الَّذِيْ يَنْهٰى , عَبْدًا اِذَا صَلّٰى  

Apakah kamu memerhatikan orang yang menghalang-halangi seorang hamba apabila ia melaksanakan shalat?” (QS Al-‘Alaq: 9-10)

Selain itu, Surah Al-‘Alaq ini disimpan dalam rangkaian surah-surah pendek di akhir Al-Quran.

Berikut saya akan memaparkan penjelasan Ustad Muhammad Abduh tentang Surah Al-Fâtiẖah yang berisi makna-makna pokok Al-Quran. Beliau menyatakan ada lima prinsip Al-Quran dalam Surah Al-Fâtiẖah sebagai berikut.

Pertama, tauhid. Prinsip ini diturunkan karena semua manusia berpotensi menyembah berhala, meskipun ada juga yang mengaku bertauhid.

Kedua, janji dan kabar gembira bagi orang yang bertauhid bahwa ia akan diganjar (kebaikan) serta peringatan bagi orang yang tidak mau bertauhid bahwa ia akan disiksa. Janji yang diberikan mencakup janji untuk kelompok dan individu. Nikmat dan kebahagiaan dunia-akhirat akan diberikan seluruhnya kepada orang yang bertauhid. Demikian pula siksaan dan kesengsaraan, akan diberikan di dunia dan akhirat kepada orang yang tidak bertauhid. Allah berjanji kepada orang-orang beriman bahwa mereka akan menjadi pemimpin di bumi, dianugerahi kemuliaan, kekuasaan, dan kepemimpinan. Sebaliknya, Allah mengancam orang-orang yang ingkar bahwa mereka akan dihinakan dan disengsarakan di dunia Di akhirat, Allah menjanjikan surga berikut semua kenikmatannya kepada mereka yang beriman dan mengancam dengan neraka yang pedih kepada mereka yang kufur.

Ketiga, ibadah akan menghidupkan tauhid dalam hati dan mematrikannya dalam jiwa.

Keempat, penjelasan tentang jalan menuju kebahagiaan dan cara menempuhnya agar sampai pada kenikmatan dunia dan akhirat.

Kelima, kisah-kisah tentang orang yang menepati aturan-aturan Allah dan melaksanakan hukum-hukum agama-Nya, serta cerita-cerita tentang orang-orang yang melanggar aturan-aturan-Nya dan tidak mau mengindahkan hukum-hukum agama-Nya. Kisah-kisah ini diungkapkan agar manusia dapat mengambil pelajaran, memilih jalan orang-orang baik, dan agar mengetahui orang yang melanggar kepastian Allah terhadap manusia.

Itulah lima prinsip Al-Quran yang terdapat dalam Surah Al-Fâtiẖah. Kelima prinsip ini merupakan jaminan hidup dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Sementara itu, tidak disangsikan lagi bahwa Surah Al-Fâtiẖah, secara global, mencakup seluruh prinsip tersebut.

Prinsip tauhid dalam Surah Al-Fâtiẖah terdapat dalam ayat kedua,

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

“Segala puji milik Allah, Tuhan Yang Memelihara semesta alam.”

Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh pujian dan sanjungan atas segala bentuk nikmat mesti disanjungkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pujian dan sanjungan kepada-Nya tentu tidak bermakna apabila Allah bukan sumber segala nikmat di alam raya ini, di antaranya nikmat penciptaan, pengadaan, pemeliharaan, dan pengembangbiakkan makhluk.

Untuk menunjukkan bahwa Allah adalah Pemberi seluruh nikmat di alam raya, ayat ini menggunakan kata Rabb al-‘âlamîn (Tuhan semesta alam). Lafal rabb tidak hanya berarti ‘raja’ dan ‘tuan’. Lebih dari itu, rabb memiliki arti “mengurus” dan “mengembang-biakkan”. Jadi, jelas bahwa seluruh nikmat yang terlihat oleh manusia dalam dirinya dan di seluruh jagat raya berasal dari Allah. Dan, di jagat raya ini tidak ada yang sanggup mewujudkan, membuat sengsara dan bahagia, selain Allah.

Tauhid adalah ajaran paling penting yang dibawa oleh agama. Oleh sebab itu, dalam Surah Al-Fâtiẖah, tauhid tidak cukup diisyaratkan (dalam ayat yang kedua), tetapi Allah melengkapinya dengan ayat kelima,

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”

Ayat ini merontokkan akar-akar kemusyrikan dan penyembahan berhala yang menyebar di seluruh umat manusia, yaitu menjadikan makhluk selain Allah sebagai penolong yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Para penolong itu dipuja dan dimintai bantuan untuk menyelesaikan berbagai masalah di dunia. Mereka pun dijadikan perantara untuk mendekat kepada Allah. Dan, seluruh ayat tentang tauhid dan pemusnahan praktik kemusyrikan di dalam Al-Qur’an merupakan perincian atas kandungan global ayat ini.

Prinsip janji dan ancaman ditegaskan dalam ayat pertama Surah Al-Fâtiẖah,

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Kata raẖmah (kasih sayang) –yang meliputi segala sesuatu- pada pembuka Surah Al-Fâtiẖah ini merupakan janji baik Allah Taala. Kata tersebut diulang lagi dalam ayat yang ketiga. Hal ini menyadarkan kita bahwa perintah bertauhid dan beribadah kepada Allah adalah sebagai kasih sayang dari-Nya untuk keuntungan kita. Bertauhid dan beribadah kepada-Nya bertujuan untuk memenuhi kesejahteraan dan kebaikan kita sendiri.

Ayat berikutnya yang menegaskan prinsip tauhid adalah ayat keempat Surah Al-Fâtiẖah,

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

Penguasa Hari Pembalasan.”

Ayat ini berisi janji dan ancaman sekaligus. Arti al-dîn adalah ketundukan. Maksudnya, pada hari itu hanya Allah Pemilik kekuasaan mutlak dan kepemimpinan tanpa ada yang dapat membantah dan melawan-Nya. Seluruh alam, secara lahiriah dan batiniah, tunduk pada keagungan Allah. Mereka mengharap rahmat-Nya dan takut pada siksa-Nya. Jadi, melalui pengertian ini, ayat keempat ini mencakup janji dan ancaman sekaligus.

Kata al-dîn dapat pula diartikan dengan balasan. Balasan dapat berupa pahala bagi orang yang berbuat baik atau siksaan bagi yang berbuat dosa. Pengertian ini juga menunjukkan pada janji dan ancaman.

Selanjutnya, silakan Anda renungkan firman Allah,

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ

Jalan yang lurus.” (QS Al-Fâtiẖah: 6)

Yang dimaksud dengan jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim) adalah jalan yang kalau ditempuh akan membahagiakan manusia, dan kalau dijauhi akan mencelakakannya. Makna ini pun merupakan janji dan ancaman.

Adapun prinsip ibadah, setelah disebutkan dalam ayat yang mengandung prinsip tauhid, yaitu: Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în (Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), Allah menjelaskannya dalam ayat yang mencakup prinsip keempat (jalan menuju kebahagiaan), seperti hukum-hukum muamalah dan pengaturan umat, yaitu, Ihdinash-shirâtal mustaqîm (Tunjukilah kami kejalan yang lurus).

Maksud dari ayat di atas adalah Allah menetapkan jalan yang lurus kepada manusia agar mengikutinya. Kebahagiaan akan datang jika manusia berpegang teguh (istiqamah) pada jalan itu; dan kesengsaraan akan muncul jika manusia menyimpang darinya. Istiqamah inilah yang menjadi ruh ibadah kepada Allah. Hal ini senada dengan firman-Nya,

وَالْعَصْرِ , اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ , اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta saling menasihati untuk menaati kebenaran dan menetapi kesabaran.” (QS Al-‘Ashr: 13)

Saling menasihati pada kebenaran dan kesabaran merupakan kesempurnaan ibadah setelah tauhid.

Surah Al-Fâtiẖah secara keseluruhan akan meniupkan ruh ibadah kepada orang yang merenungkannya. Yang dimaksud ruh ibadah adalah suasana hati yang selalu diliputi rasa takut kepada Allah dan harapan pada karunia-Nya. Ruh ibadah bukanlah amal-amal lahiriah berupa perbuatan, diam, gerakan lisan dan anggota badan.

Dalam Surah Al-Fâtiẖah, ibadah telah disebutkan sebelum penyebutan shalat berikut hukum-hukumnya dan puasa berikut hari-harinya dalam Al-Quran. Memang, ruh ibadah telah ada dalam jiwa kaum Muslim sebelum mereka dituntut melakukan ibadah fisik dan sebelum diturunkan hukumnya yang terperinci dalam Al-Quran. Semua gerakan fisik yang diperagakan dalam ibadah adalah sarana meraih hakikat ibadah ruhani yang berupa perenungan (misalnya, berharap, takut, tawakal, dan cinta).

Selanjutnya, prinsip sejarah dan kisah pada Surah Al-Fâtiẖah terdapat dalam ayat ketujuh,

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ  غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan (mereka) yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Ayat ini menjelaskan bahwa dahulu ada umat-umat yang diberi syariat oleh Allah sebagai petunjuk bagi mereka. Ayat ini seakan berkata, “Lihatlah keadaan umum mereka! Ambillah pelajaran dari mereka!” Ayat ini semakna dengan seruan Allah kepada Rasulullah agar meneladani nabi-nabi sebelumnya,

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ فَبِهُدٰىهُمُ اقْتَدِهْ

Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka, ikutilah petunjuk mereka.” (QS Al-An‘âm: 90)

Melalui ayat ini, Allah menjelaskan bahwa kisah-kisah orang terdahulu adalah untuk dijadikan nasihat dan pelajaran.

Dalam ayat, ghairi al-maghdhûbi ‘alaihim wa lâ adz-dzâllîn (Bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat), terdapat penjelasan bahwa orang yang tidak diberi nikmat ada dua kelompok. Pertama, kelompok yang sesat dari jalan Allah. Kedua, kelompok yang menentang Allah dan memusuhi orang yang menyeru kepada jalan-Nya. Mereka diliputi oleh kemarahan Allah dan kehinaan dalam kehidupan dunia ini.

Surah-surah Al-Quran berikutnya, yang memuat tentang umat masa lalu, merupakan perincian kisah umat-umat terdahulu yang disebut secara global dalam ayat di atas. Tujuan perinciannya adalah agar kisah-kisah itu bisa diambil pelajaran. Dalam surah-surah yang lain, dijelaskan keadaan orang-orang zalim yang menentang kebenaran dan orang-orang yang tersesat dari jalan Allah. Selain itu, dijelaskan pula keadaan orang yang memelihara kebenaran dan kesabaran atas segala yang menimpanya saat menempuh jalan Allah dengan penuh keimanan dan ketundukan.

Dari seluruh penjelasan di atas terlihat jelas bahwa Surah Al-Fâtiẖah, secara global, mencakup kaidah-kaidah pokok yang selanjutnya diperinci dalam surah-surah berikutnya. Diturunkannya surah ini sebagai surah pertama cocok dengan sunnatullah dalam penciptaan. Atas dasar ini pula, sangat tepat jika Al-Fâtiẖah dinamai Umm Al-Kitâb (Induk Al-Quran). Anda dapat mengatakan bahwa biji kurma adalah induk pohonnya karena ia mengandung seluruh unsur pohon kurma. Seperti itulah dasar penamaan Al-Fâtiẖah dengan Umm Al-Kitâb (Induk Al-Quran). Makna al-umm di sini bukan seperti dipahami sebagian orang, yaitu induk dalam arti ibu. Mereka memahami bahwa ibu adalah yang pertama kali ada kemudian disusul oleh anak-anaknya.

Demikian sekilas penafsiran Ustad Muhammad ‘Abduh terhadap Surah Al-Fâtiẖah. Selanjutnya, kita akan mengupas masalah basmalah.*

SUMBER: Diambil dari buku TAFSIR AL-FATIHAH, Menemukan Hakikat Ibadah; Muhammad Rasyid Ridha; Penerjemah: Tiar Anwar Bachtiar; Penerbit: Al-Bayan (2005). Terjemahan dari karya asli beliau: Tafsir Al-Fatihah wa Sittu Suwar min Khawatim Al-Qur’an, terbitan Al-Zahra li al-I’lam al-‘Arabi, Kairo.

BACA JUGA:
Pesan-Pesan Al-Fatihah yang Patut Direnungkan dalam Shalat – M. Rasyid Ridha
Tafsir Ringkas Surat Al-Fatihah – Syekh Ahmad Surkati
Pengampunan dan Tobat – Umar Hubeis 

3 thoughts on “Tafsir Al-Fatihah, Rasyid Ridha – Tinjauan Umum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *