Oleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)
Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Muhammad Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.
Tafsir Ayat Keempat: Hakikat Hari Pembalasan
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
“Yang Menguasai Hari Pembalasan.” (QS Al-Fatihah: 4)
‘Ashim, Al-Kisa’i, dan Ya’qub membaca kata “malik” secara panjang, mâliki. Sedangkan, selain mereka membacanya secara pendek, malik. Penduduk Hijaz pun membacanya secara pendek.
Perbedaan makna antara yang dipanjangkan dan yang dipendekkan adalah bahwa mâlik (panjang) berarti dzû al-milki (yang memiliki sesuatu). Sedangkan, malik (pendek) berarti dzû al-mulki (yang memiliki kerajaan atau kekuasaan). Makna yang pertama diperkuat oleh ayat lain, seperti:
يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْـًٔا
“Pada hari ketika seseorang tidak memiliki kuasa sedikit pun untuk menolong orang lain.” (QS Al-Infithar-82: 19)
Makna kedua dikuatkan pula oleh ayat lain, seperti ayat:
لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ
“Milik siapakah kerajaan hari ini?” (QS Al-Mu’min-40: 16)
Beberapa ulama mengatakan, kata malik (pendek) lebih tepat. Sebab, dari kata ini dapat dipahami makna ‘kekuasaan’, ‘kekuatan’, dan ‘kepemimpinan’. Sebagian yang lain justru berpendapat bahwa penggunaan kata mâlik (panjang) lebih tepat. Sebab, kata malik (pendek) memiliki arti ‘yang mengatur perbuatan-perbuatan hamba secara umum’, tidak mengatur hal-hal yang khusus. Sedangkan, kata mâlik (panjang) memiliki arti yang lebih luas daripada itu.
Dikatakan pula bahwa perbedaan arti itu hanya berlaku pada hamba sahaya yang menjadi pelayan di lingkungan kerajaan yang diperintah oleh seorang sultan. Si hamba sudah pasti menjadi pelayan orang yang menguasai seluruh aktivitasnya, bukan pelayan sultan.
Saya berpendapat, kata malik (pendek) lebih tepat. Sebab, maknanya adalah Pengatur urusan-urusan makhluk berakal yang dituntut melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan mendapatkan balasan amal. Sehubungan dengan itu, terdapat ungkapan malik al-nâs (raja manusia). Tidak pernah terdapat ungkapan malik al-asy-yâ’ (raja segala sesuatu). Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Raghib Al-Isfahani. Dia menyatakan, dalam ayat maliki yaumiddîn ada huruf yang dibuang, yaitu kata fi (pada). Jadi, artinya, raja pada hari pembalasan. Hal ini sejalan dengan firman Allah,
لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلّٰهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
“Milik siapakah kerajaan pada hari itu? Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS Al-Mu’min-40: 16)
Makna ini lebih tepat karena konteks ayat “maliki yaumiddîn” mengingatkan manusia pada balasan amal yang menunggu mereka kelak sehingga manusia memperbaiki dirinya. Sementara, dapat pula dipahami bahwa makna ayat mâlik yaumiddîn (mîm panjang) berkaitan dengan ayat rabb al-‘âlamin yang mempertemukan makna kedua bacaan “malik” (yang panjang dan pendek) tersebut. Keduanya sama-sama menunjukkan arti ‘yang menguasai manusia dan menguasai aktivitas mereka’. Akan tetapi, dengan dibaca malik yaum al-dîn (pendek) lebih terasa khusyuk dibandingkan apabila dibaca mâlik yaum al-dîn (panjang). Alasannya, apabila dibaca panjang terdapat penambahan satu huruf dalam pelafalannya. Dalam hadits memang dinyatakan dalam setiap huruf yang dibaca terdapat sepuluh kebaikan, tetapi ada juga yang menyatakan bahwa satu kebaikan yang memberikan pengaruh pada hati lebih baik daripada seratus kebaikan yang tidak berpengaruh apa-apa. Dengan kedua bacaan tersebut, seorang yang ‘âlim (berilmu) sangat mungkin menggabungkan kedua maknanya dalam shalat.
Secara bahasa, kata al-dîn biasa digunakan dalam arti perhitungan (hisâb) dan pemberian ganjaran (mukâfa’ah). Ada ungkapan kamâ tadînu tudânu (engkau akan dibayar sebesar apa yang engkau hitung).
Kata al-dîn digunakan pula dalam arti pembalasan (al-jazâ’). Arti ini sangat dekat dengan pemberian ganjaran (al-mukâfa’ah). Kata al-dîn juga digunakan dalam arti ketaatan (al-thâ’ah), menundukkan (al-ikhdhâ’), dan memimpin (al-siyâsah). Untuk arti terakhir, terdapat ungkapan dantuhu wa dayyantuhu siyâsatuhu wa ja’altuhu dâ’inan lahu (aku menyerahkan kepada si Fulan untuk memimpinnya dan menjadikannya tunduk pada si Fulan). Arti kata al-dîn dalam ungkapan ini dekat pada makna menundukkan (al-ikhdhâ). Kata ini pun digunakan dalam arti syariat dan agama.
Khusus dalam Surah Al-Fâtiẖah, kata al-dîn bermakna pembalasan (al-jazâ’) dan ketundukan (al-khudhû’). Dalam ayat ini, Allah mengatakan, yaum al-dîn (hari pembalasan), tidak sekadar kata al-dîn (pembalasan). Hal ini untuk memberitahukan kepada kita bahwa pembalasan (al-dîn) dilakukan pada hari khusus yang berbeda dengan hari-hari biasa, yaitu suatu hari ketika semua orang yang beramal mendapati amalnya dan memperoleh balasannya. Demikian, pendapat Ustadz Muhammad ‘Abduh.
Selanjutnya, Ustadz Muhammad ‘Abduh berkata, “Seseorang bertanya, ‘Bukankah setiap hari adalah hari pembalasan? Bukankah semua keburukan yang menimpa manusia dalam kehidupan ini adalah balasan atas kelalaian mereka dalam menunaikan hak-hak dan menjalankan kewajiban-kewajiban mereka?’” Jawabannya, “Benar. Kadang-kadang amal kita dibalas saat masih di dunia. Tetapi, seringkali hanya menimpa sebagian, tidak semuanya. Balasan atas melalaikan kewajiban di dunia pun hanya ditimpakan kepada umat secara umum, bukan masing-masing individu.
“Umat yang menyimpang dari jalan Allah yang lurus dan tidak mengindahkan sunnatullâh dalam penciptaan akan mendapatkan balasan atas perbuatannya sebagai bukti keadilan Ilahi. Misalnya, mereka ditimpa kefakiran, kehinaan, serta kehilangan kekuatan dan kekuasaan. Sementara itu, secara individu –kita perhatikan secara kasat mata- banyak orang yang melampaui batas dan zalim. Namun, mereka tetap makmur. Bahkan, mereka terus tenggelam dalam syahwat dan kesenangan. Benar, batin mereka kadang disiksa dengan berbagai kegelisahan, harta mereka kadang dikurangi, kesehatan mereka kadang terganggu, kecerdikan mereka kadang menjadi tumpul. Namun, semua itu tidak sebanding dengan perbuatan jahat mereka, apalagi para raja dan para pemimpin yang karena perbuatan mereka, seluruh umat dan seluruh bangsa hidup sengsara.
“Demikian pula orang-orang yang berbuat baik kepada dirinya dan orang lain. Kita saksikan ada di antara mereka yang diuji dengan berbagai kesusahan. Ia tidak mendapatkan hak yang semestinya menjadi balasan atas perbuatan baiknya sekalipun kadang-kadang ia mendapatkan ketenangan jiwa, akhlak yang terpuji dan perangai yang baik. Namun, semua itu belum cukup untuk membalas kebaikannya.”
Pada hari itu (yaum al-dîn), setiap orang akan dibalas atas amalnya secara total. Ia tidak akan dizalimi sedikit pun, sebagaimana firman Allah SWT,
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَه , وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَه
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, pasti ia akan melihat balasannya. Dan, barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya pula.” (QS Al-Zalzalah-99: 7-8)
Allah Ta’ala memberitahukan kepada kita bahwa Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang agar hati kita tertarik oleh-Nya. Akan tetapi, apakah setiap hamba menyadari anugerah ini, lalu tertarik untuk mendekati-Nya seperti yang diinginkan-Nya? Bukankah di antara kita ada yang menempuh segala jalan tanpa menghiraukan mana yang lurus dan mana yang bengkok? Karena itu, setelah menyebutkan raẖmah (arraẖmânirraẖîm), Allah menyebutkan al-dîn (pembalasan). Dengan demikian, kita tahu bahwa Allah akan membuat perhitungan dengan hamba-hamba-Nya membalas seluruh amal mereka.
Termasuk rahmat Allah, Dia mendidik manusia dengan dua cara sekaligus: memberikan motivasi (targhîb) dan mengancam (tarhîb). Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hal itu. Di antaranya ayat:
نَبِّئْ عِبَادِيْ اَنِّيْ اَنَا الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ , وَاَنَّ عَذَابِيْ هُوَ الْعَذَابُ الْاَلِيْمُ
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (QS Al-Hijr-15: 49-50) *
SUMBER: Diambil dari buku TAFSIR AL-FATIHAH, Menemukan Hakikat Ibadah; Muhammad Rasyid Ridha; Penerjemah: Tiar Anwar Bachtiar; Penerbit: Al-Bayan (2005). Terjemahan dari karya asli beliau: Tafsir Al-Fatihah wa Sittu Suwar min Khawatim Al-Qur’an, terbitan Al-Zahra li al-I’lam al-‘Arabi, Kairo.
BACA JUGA:
TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat ke-3: Memahami Rahmat Allah
TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat ke-2: Makna Hamdalah
TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat ke-1: Makna Bismillah
3 thoughts on “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 4”