Puasa Syawwal, Sunnah atau Bid’ah?
Oleh: Al-Ustadz Umar Hubeis (1904-1979)
“Apa hukum puasa Syawal yang enam hari itu? Wajib, sunnah, atau malah bid’ah? Bagaimana pula bila puasa itu dilakukan secara berturut-turut (mutatabi’) selama enam hari?
Jawaban:
Umat Islam di Indonesia menganggap puasa enam hari pada bulan Syawal sesudah berlalunya bulan Ramadhan itu adalah sunnah muakkadah, karena puasa wajib itu hanya di bulan Ramadhan saja. Alasan mereka adalah sebuah hadits Nabi saw. berikut.
“Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dan diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seakan-akan dia puasa dahr.” (HR. Muslim)
Puasa dahr adalah puasa tiap hari atau tiap dua hari sekali. Perhitungannya adalah: 30 hari Ramadhan ditambah 6 hari Syawal = 36 hari x 10 kali pahala = 360, yaitu jumlah hari dalam setahun.
Adapun cara pelaksanaannya boleh secara mutatabi’ (berturut-turut) karena lebih afdhal, tetapi boleh juga tidak secara mutatabi’, yaitu dilaksanakan pada permulaan, pada pertengahan dan pada akhir Syawal, karena lafaz haditsnya ‘aam (umum), tidak ditentukan cara atau waktu pastinya dalam bulan Syawal. Inilah pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lainnya.
Namun, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta beberapa lainnya menganggap puasa itu bukan sunnah, karena tiga alasan.
Pertama, bagi mereka hadits tersebut belum sah (tiap hadits selain sah sanadnya juga harus sah matannya).
Kedua, Nabi dan para sahabatnya belum pernah mengerjakannya.
Dan ketiga, dikhawatirkan akan menimbulkan pengertian di kalangan masyarakat bahwa puasa enam hari itu merupakan terusan dari puasa wajib Ramadhan.
Maka dari itu mereka menganggap puasa enam hari bulan Syawal ini sebagai bid’ah idhafiyah. Puasa adalah ibadah, karena itu janganlah ditentukan waktunya kalau memang tidak ada ketentuan dari Nabi. Keterangan ini didasarkan atas belum sahnya matan hadits tersebut.
Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid (Ibnu Rusyd) disebutkan bahwa Imam Malik memakruhkan puasa itu, karena dikhawatirkan menimbulkan kesalahpahaman orang, dikira puasa enam hari itu adalah lanjutan dari puasa wajib, atau karena tidak sampai padanya kabar hadits atau tidak menganggap hadits itu sebagai hadits shahih. Inilah yang lebih azh-har (nyata),. Demikian akhir keterangan itu.
Kami menyetujui pendapat Ibnu Rusyd, penulis kitab Bidayatul Mujtahid itu, bahwa hadits itu belum sah menurut Imam Malik. Sebab, beliau telah menyelidiki kenyataan pelaksanaannya di kota Madinah, tempat dimana Nabi saw. dan para sahabatnya serta para tabi’in hidup. Beliau tidak memperoleh kabar tentang adanya realisasi puasa itu. Inilah yang membuat Imam Malik ragu tentang kebenaran matan (isi) hadits tersebut, sebagai yang ia tulis dalam kitabnya Al-Muwath-tha jilid 1, halaman 311:
“Berkata Yahya: Kami mendengar Malik berkata bahwa sesungguhnya dia tidak melihat seorang ahli ilmu dan ahli fiqih yang pernah melaksanakan puasa itu. Dan tidak sampai padanya kabar tentang pelaksanaannya dari seorang salaf (sahabat dan tabi’in). Dan sesungguhnya ulama memakruhkan itu, takut kalau menjadi bid’ah atau dianggap puasa itu sebagai lanjutan puasa Ramadhan oleh orang-orang yang kurang pemahamannya, bila diberi kelonggaran atau izin dari ulama untuk mengerjakannya atau melihat ulama sendiri yang mengerjakannya.”
Keterangan Imam Malik ini adalah hasil dari penyelidikannya yang cukup cermat. Dasar hukum mazhabnya adalah mengharuskan adanya penyelidikan lebih dahulu sebaik-baiknya, apakah setiap anjuran Nabi yang besar pahalanya itu diamalkan oleh penduduk Madinah ataukah tidak. Ulama salaf kita menggemari puasa sebagai ibadah, malah sampai ada yang berlebih-lebihan, maka bila benar puasa enam hari di bulan Syawal itu adalah anjuran Nabi, tidak mungkin tidak ada yang mengerjakannya. Maka seharusnyalah penyelidikan Imam Malik ini menjadi bahan pertimbangan untuk menilai hadits tersebut, meskipun sifatnya ‘aqli, bukan naqli.
Kami cenderung untuk menyetujui apa yang diterangkan oleh Imam Malik.*
Afwan Ustadz,
Dalam kitab al-Muwatha, Imam Malik rahimahullah menyatakan tidak ada yg melaksanakan shaum syawal di Madinah itu maksudnya adalah tidak ada yg melaksanakan shaum itu secara berturut2 (mutatabi’ah) dari tgl 2 syawal sampai 7 syawal. Semua melaksanakannya terpisah2 (asalkan 6 hari di bulan syawal), tidak perlu berturut2 karena intruksi di hadits Nabi saw bersifat umum.
Jadi Imam Malik bukan mempermasalahkan status kesunnahan shaum syawal, akan tetapi sedang menjelaskan bahwa di zaman nya tidak ada yg melaksanakan shaum syawal secara berturut2, jadi beliau tidak menganjurkannya (secara berturut2) karena takut dipandang sebagai satu keharusan, dan itu bisa menjadi bid’ah (bid’ah jika memandang shaum tsb harus dilaksanakan secara berturut2).
Wallahua’lam.