Hukum Melafazkan Niat Shalat
Oleh: Syeikh Ahmad Surkati (1874-1943 M)
Diambil dari: Majalah Azzakhiratul Islamiyyah No. 1, Muharram 1342 H
TANYA:
Apakah niat itu harus diniatkan sebelum takbiratul ihram, sesudahnya, atau ketika mau takbir? Niat itu perlu diucapkan dengan lisan atau tidak? Wajibkah niat dan takbir diucapkan bersamaan dengan lisan dan hati seperti kata kebanyakan orang yang menyatakan: nawaitu ushalli fardhudzuhri ada-an lillahi taala lantas mengucapkan: Allahu Akbar (AHMAD SJOEKRI, murid Al-Irsyad School di Batavia yang berasal dari Lampung, pada 8 Zulqaidah 1341)
JAWAB:
Tentang niat dalam melakukan ibadah shalat hukumnya adalah wajib, sebab merupakan salah satu rukun sahnya shalat. Seseorang yang melakukan tanpa didahului degan niat, maka dianggap dia tidak shalat. Tidak mungkin terjadi seseorang yang berakal sehat melakukan sesuatu perbuatan dengan tidak mempunyai maksud, kecuali ia tidur, sakit atau mabuk, gila dan sebagainya.
Orang yang shalat karena Allah (bukan karena riya), dan dikerjakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, berkhusyuk kepada Allah dan pada waktu yang ditentukan, maka pahalanya pun dari Allah. Namun, jika untuk mendapat pujian orang (riya), meskipun shalatnya dilakukan dengan sempurna, tidak akan terbilang sebagai shalat yang sejati. Bagi si pelakunya bukan saja tidak mendapat pahala bahkan mendapat siksa.
Dengan demikian nyatalah bahwa semua kegiatan ibadah termasuk shalat tergantung pada niatnya. Yang dilakukan karena Allah, tentu akan mendapat pahala dari Allah, dan yang dilakukan karena keinginan yang lain, maka keinginan itulah yang akan diperolehnya di samping mendapat dosa karena tipuannya itu.
Itulah makna hadits yang dirawikan oleh Bukhari dalam kitabnya Ash-Shahih:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيِهِ
“Tiap-tiap amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya. Bagi siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka tetaplah hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan bagi siapa yang hijrahnya karena urusan dunia atau karena cintanya kepada wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya itu sesuai dengan apa yang ditujunya.”
Hadits ini diriwayatkan dalam berbagai lafaz. Adapun yang dimaksud dengan niat di sini adalah: al-qashdu (tujuan) yang menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Hasil dari perbuatan tersebut sangat tergantung pada niat si pelaku.
Kalau ia mengerjakannya karena Allah tentu ganjaran dari Allah sebagai pahala yang akan diperolehnya. Namun, apabila untuk yang lainnya tentu ia akan memperoleh yang lainnya. Adapun pahala atau siksa tidak disangsikan lagi sangat terkait pada tujuan, kehendak atau niat yang tempatnya di dalam hati.
Terkadang pula niat itu diucapkan dengan lisan, namun itu pun kalau diperintah oleh hati dan maksudnya untuk mengulangi. Demikian juga dengan semua anggota badan yang ikut mengerjakan perintah niat tersebut. Tetapi yang menjadi sentral dari perintah untuk melakukan perbuatan itu adalah kehendak hati, bukan yang diucapkan oleh lisan.
Tidak diragukan lagi bahwa semua perbuatan dilakukan mengikuti kehendak dan maksud yang terkandung di dalam hati. Tidak mungkin terjadi, baik dari segi logika maupun syara’ atau adat, ada suatu pekerjaan yang dilakukan sebelum diniatkan. Sebab, secara logika, mustahil adanya suatu wujud yang tidak disertai sebab terlebih dahulu. Jadi, sangat nyata bahwa niat dalam shalat itu pasti lebih dahulu ada, dan shalat itu sendiri mengikuti niat tersebut.
Firman Alah:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ
“Katakanlah: Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (al-Israa’: 84)
Sebagai suatu keabsahan shalat ialah menyertakan niat itu sampai pada akhir pelaksanaan shalat. Yang dimaksud dengan kesertaan niat, pengertiannya seseorang yang sedang shalat tidak ber-‘azam (berkemauan) untuk membatalkan atau menggantikannya dengan suatu ‘azam lain yang disertai dengan perbuatan.
Makna menyertakan niat itu bukan berarti seseorang harus menghadirkan di dalam hatinya setiap saat dan mengulang-ulang hingga akhir shalat. Ini tidak mungkin dapat dilakukan karena hati tidak dapat memuat dua perkara dalam satu waktu yang bersamaan, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya yang agung,
مَّا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (al-Ahzab: 4)
Hati tidak mungkin dapat menghadirkan arti takbir bersamaan dengan niat shalat dalam waktu yang bersamaan. Maka yang demikian itu tidak diperintah syara’. Yang diwajibkan adalah niat menjalankan shalat karena Allah dan waktu yang dikehendaki adalah sebelum takbiratul ihram, kemudian barulah disertakan ke dalam shalat seraya mengucapkan Allahu Akbar. Dengan mengingat maknanya dan juga makna bacaan yang dibacanya, sebab dengan bacaan itulah ia menyeru Sang Khalik serta mengingatkan rasa khusyu’ kepada Allah ketika rukuk dan seterusnya hingga akhir shalat.
Kata orang, wajib menyertakan niat itu sampai pada akhir takbiratul ihram. Hal ini perlu kita simak terlebih dahulu. Jika maksudnya dengan menyatakan demikian tidak membatalkan niat shalat, sebagaimana diterangkan tadi, maka tidak perlu ia mengatakan bahwa niat itu harus dari awal sampai akhir takbiratul ihram. Karena menurut pegertiannya, niat itu harus tetap disertakan sampai akhir shalat, sebab niat membatalkan shalat bisa saja terjadi pada takbiratul ihram atau pun sesudahnya.
Apabila perkataan “penyertaan itu” (istishab) dimaksudkan menyebut-nyebut makna niat dan makna takbir (mensucikan Allah) di hati dan dalam satuan waktu yang bersamaan, hal ini merupakan sesuatu yang mustahil dapat dilakukan menurut kebiasaan. Hal ini tidak juga dicontohkan oleh Nabi maupun Khulafa Arrasyidin, atau oleh salah satu dari imam-imam ahli ijtihad.
Yang menyatakan hal tersebut di atas adalah orang-orang yang datang kemudian (mutaakhiriin). Sedangkan yang menimbulkan kerancuan dalam permasalahan ini ialah perkataan Imam Syafi’i yang disalin oleh Rabi’ bin Sulaiman:
“Niat itu tidak bisa menjadi gantinya takbir, dan jikalau dengan tanpa takbir, maka niat itu tidak mencukupkan walau bersama-sama takbir, tidak boleh dulu dan tidak boleh belakang.”
Karena adanya salinan hadits yang ringkas ini, bingunglah orang untuk memahami maksudnya. Karena itu, jadi diwajibkan adanya niat dan takbir itu dalam satu waktu, walaupun hal ini mustahil bisa dilaksanakan. Padahal Imam Syafi’i dan yang menyalinnya tidak bermaksud demikian. Maksudnya ialah: niat dan kehendak untuk melakukan shalat itu harus disertai kesungguhan untuk mendirikan shalat. Atau jelasnya: satunya maksud dan tindakan, dan niat tidak dipisahkan dengan kehendak untuk melaksanakan shalat dari perbuatan yang lain sebelum memulai shalat itu.
Demikianlah maksudnya.
Akan lebih jelas lagi apabila dibaca lanjutan perkartaan Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm:
“Kalau seandainya ia berdiri shalat, kemudian lenyap karena lupa atau yang lainnya, tetapi ia terus bertakbir dan shalat, maka shalatnya itu tidak sah.”
Dengan demikian jelaslah bahwa niat adalah salah satu syarat atau pangkal keabsahan shalat, bahkan merupakan syarat keberadaan suatu shalat. Sebab, tiap-tiap pekerjaan orang normal pasti disertai maksud tujuannya terlebih dahulu. Waktu niat itu, pada sebelum takbiratul ihram yang merupakan awal pelaksanaan shalat.
Makna istishab (menyertakan) niat itu dalam pandangan ulama adalah maksud untuk tidak membatalkan niat itu atau tetap hendak melaksanakan shalat sampai selesai.
Adapun pandangan orang yang menyatakan bahwa maksudnya ialah menghadirkan makna nawaitu ushalli di tengah ber-takbiratul ihram, itu adalah salah, baik dalam pandangan syara’ maupun akal atau kebiasaan.
Dalam kitab Al-Wasit, Imam al-Ghazali menulis, “Niat yang semacam ini memberatkan orang awam, tidak layak dan melewati batas yang wajar. Yang semacam ini tidak pernah dilakukan orang pada zaman dahulu kala.”
Dalam pandangan kami, bukan saja berat bagi orang awam, tapi bahkan menyedihkan. Sebab, yang demikian itu tidak dapat diterima akal dan tidak juga ada dalam kebiasaan.
Pengarang kitab Al-Anwar menyatakan, “Tidak mungkin dapat dilakukan untuk memulai niat di dalam hati bersamaan dengan takbir, dan juga tidak menjadi suatu ketentuan kesertaan niat itu bersamaan dalam awal, pertengahan atau pada akhir takbir. Cukuplah dengan menyadari apa yang perlu diketahui dengan ringkas apa yang hendak dilakukan.”
Anehnya, ahli fikih dan ta’lif (karang) banyak yang menggunakan hadits: “Tiap-tiap amal perbuatan tergantung pada niatnya …dst”, sebagai dalil atas wajibnya niat (secara lisan) dalam melaksanakan shalat. Ada pula menggunakan ayat yang artinya: “Dan tidaklah mereka diperintah selain menyembah Allah dengan ikhlas…. dst”, sebagai dalil. Padahal itu bukan pada tempatnya, sebab maudhu (maksud) ayat itu adalah untuk semua amal perbuatan yang berkaitan dengan kepatuhan dalam ibadah harus suci dan tulus untuk Allah semata, tidak disertai dengan interes yang lain. Adapun maksud hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa setiap amal perbuatan akan memperoleh pahala atau siksa, terkait erat pada niat dan maksud perbuatan itu dilakukan. Melaksanakan syariat atau aturan shalat yang tidak dimaksudkan untuk beribadah kepada Allah tidak dipandang sebagai ibadah yang mendatangkan pahala.
Arah yang dituju oleh hadits dan ayat tersebut di atas adalah suatu maksud yang oleh karenanya dilakukannya suatu perbuatan, jadi bukan kehendak mengerjakan suatu pekerjaan yang memang tergantung pada maksudnya.
Demikianlah pengertiannya, namun yang terjadi sangat jauh berbeda dengan makna yang mereka fahami.
Mereka menggunakan ayat dan hadits itu sebagai dalil untuk menyatakan bahwa yang dimaksud adalah pekerjaan dan kehendak akan mengerjakannya, padahal hadits dan zikir itu sekali-kali tidak berarti demikian. Yang demikian iu tidak perlu dinyatakan dengan ayat, karena sangat mustahil kehendak itu terpisah dari perbuatan. Sebab, manusia yang kehilangan akal, baik karena mabuk, depresi atau stres dan kerena yang lainnya, sekali-kali syara’ tidak mewajibkan kepada mereka untuk mengerjakan salah satu perbuatan. Jadi tidak perlu berpanjang cerita.
Maka, selama seseorang berakal sehat, mustahil sekali akan melakukan suatu perbuatan dengan tidak disertai maksud atau niat terlebih dahulu. Tentu saja tidak perlu diharuskan berniat, sebab yang demikian itu sama dengan mengharuskan adanya barang yang memang sudah ada, atau membuka pintu yang memang sudah terbuka. Sebab itulah syara’ mengabaikan yang demikian karena tidak ada gunanya.
Tentang mengucapkan lafaz niat: “Nawaitu ushalli…. dstnya” hukumnya tidak wajib dan juga bukan sunnah, karena tidak pernah dirawikan orang dari Nabi saw. atau dari salah seorang sahabat atau pun dari salah satu Imam yang empat. Sebagaimana telah dijelaskan, tempat niat itu di dalam hati.
Kitab Fathul Muin menerangkan:
“Niat itu adalah maksud dalam hati, maka segala pekerjaan harus disertai niat untuk mengerjakannya sambil menentukannya juga.”
Kata Abu Ishaak al-Syirazi dalam kitab Al-Muhazzab:
“Tempat niat itu adalah hati. Bila niat dalam hatinya berlainan dengan lisannya, maka niat itu dipandang mencukupkan juga.”
Katanya pula: “Antara sahabat kami ada yang berkata: Selain dari diniatkan dalam hati, diucapkan juga dengan lisan, padahal yang demikian itu tidak perlu, sebab niat itu ialah maksud dalam hati.”
Dari keterangan Imam al-Syirazi di atas, terkandung pengertian bahwa tidak perlu ucapan (niat) itu dipertahankan, lantaran tidak berasas pada dalil. Namun para ulama yang datang kemudian hari (belakangan) bahkan menyatakan wajib dilafazkan dengan lisan, dan ada juga yang menyatakan sunnah (mandub), seperti kata Syahrul Bahjah dan lain-lain.
Semua pernyataan di atas itu hendaknya diabaikan lantaran tidak mempunyai dalil. Mewajibkan sesuatu yang tidak wajib adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum. Firman Allah kepada Nabi-Nya saw.:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْا
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.” (Huud: 112)
Firman Allah pula:
لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ
“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” (an-Nisaa’: 171)
Maksudnya, janganlah menambah-menambah dalam agama menurut kebiasan sendiri. Nabi saw. bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan kami (agama) sesuatu yang bukan dari padanya, tentu akan tertolak.”
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa mengucapkan niat di saat akan melaksanakan ibadah shalat yang sangat terkenal dan banyak dilakukan orang itu bukanlah perintah dan anjuran agama Islam. Tidak satu pun orang alim, baik Imam Syafi’i atau yang lainnya yang menyatakan hal itu sebagai suatu keharusan atau sunnah mengucapkan niat itu, karena bukan dinukil dari Rasulullah saw. atau salah seorang dari Khulafaur Rasyidin. Yang demikian itu adalah bid’ah semata, tambahan orang-orang yang datang kemudian yang tidak berijtihad dengan sungguh-sungguh dan tidak pula bertaklid dengan benar.
Orang yang menilai mengucapkan niat itu adalah suatu perbuatan yang baik, sekali-kali tidak berdalil. Demikian juga yang mengatakan hal tersebut sebagai penetap hati adalah suatu perkataan kosong. Sebab, kalau benar tentu Rasul saw. dan para sahabatnya sudah melakukan lebih dahulu.
Yang mutlak diperintahkan kepada kita adalah mengikuti seruan Rasul saw., bukan perkataan si Zaid atau si Amir. Firman Allah,
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Firman Allah,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (al-An’aam: 153)
Jalan yang lurus pastilah jalan Rasul yang mulia, bukan dalil atau rekayasa pikiran orang yang kemudian dikatakan sebagai aturan agama. Sabda Rasulullah saw.,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
“Shalatlah kamu sebagaimana shalatku yang kamu lihat.”
Telah dirawikan pula oleh para sahabat-sahabatnya, bahwa Sayyidina Rasul ketika shalat tidak mengucapkan secara lisan niat itu. Dengan demikian semakin jelas bahwa mengucapkan niat di saat akan shalat bukan berasal dari ajaran agama, hanya bid’ah semata. Dan tiap-tiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan, nerakalah tempatnya.
Demikianlah keterangan dan jawaban kami. Bagi yang menginginkan keterangan lebih luas lagi silahkan ajukan, insya Allah akan kami kabulkan.*
Ditulis ulang dan diedit oleh: Ir. Zeyd Amar
One thought on “Niat Shalat”