Oleh: Teungku Muhammad Hasbi Ash-Ahiddieqy (1904-1975)
(Murid Syekh Ahmad Surkati dan Rektor Universitas Al-Irsyad, Solo, 1960-an)
Para ulama berbeda pendapat tentang kaifiyah menurunkan Al-Qur’an (dari Lauh al-Mahfudh). Dalam soal ini para ulama mempunyai tiga pendapat.
a. Al-Qur’an itu diturunkannya ke langit dunia pada malam Al-Qadar sekaligus, yaitu lengkap dari awal hingga akhirnya. Kemudian diturunkan (ke Nabi Muhammad saw.) berangsur-angsur sesudah itu dalam tempo 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun berdasarkan kepada perselisihan yang terjadi tentang berapa lama Nabi bermukim di Makkah sesudah beliau diangkat menjadi Rasul.
b. Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia dalam 20 kali Lailah al-Qadar selama 20 tahun, atau dalam 23 kali Lailah al-Qadar selama 23 tahun, atau dalam 25 kali Lailah al-Qadar selama 25 tahun. Pada tiap-tiap malam diturunkan ke langit dunia sekedar yang hendak diturunkan dalam tahun itu kepada Muhammad saw. dengan cara berangsur-angsur.
c. Permulaan Al-Qur’an turunnya ialah di malam Al-Qadar. Kemudian diturunkan sesudah itu dengan berangsur-angsur dalam berbagai waktu.
Pendapat yang ketiga ini pendapat Asy-Sya’by dan golongan ulama.
Pendapat yang pertama itulah pendapat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat. Banyak disebut dalam tafsir-tafsir yang tersebar dalam masyarakat yang memegang taqlid.
Mereka berpegang kepada riwayat Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Al-Qur’an diturunkan seluruhnya, sekaligus dalam malam Lailah al-Qadar dalam bulan Ramadhan ke langit dunia. Kemudian dari sana diturunkan sedikit demi sedikit ke dunia.” Isnad riwayat ini dapat dipakai tetapi tidak kuat kebenarannya.
Dalam Tafsir Al-Manar dijelaskan “arti menurunkan Al-Quran dalam bulan Ramadhan”. Telah terkenal sekali bahwa Al-Quran itu diturunkan (kepada Nabi Muhammad saw.) berangsur-angsur dalam tempo 21 tahun, di mana permulaan turunnya adalah dalam bulan Ramadhan, yang dikenal dengan nama Lailah al-Qadar (malam yang berkah) seperti yang disebutkan dalam ayat Al-Quran. Maka para mufassir menyangka bahwa ayat ini musykil keadaannya.
Untuk menguraikan kemuskilan itu mereka lalu meriwayatkan bahwa yang dimaksudkan dengan “diturunkan di malam Al-Qadar” adalah diturunkannya Al-Qur’an ke langit dunia. Sedang Al-Qur’an sebelum itu termaktub di Lauh al-Mahfudh di atas langit yang ketujuh. Sesudah itu barulah diturunkan berangsur-angsur kepada Nabi. Disinilah lahir pendapat mereka yang memberikan pengertian bahwa Al-Qur’an diturunkan sekaligus dari Lauh al-Mahfudh ke langit dunia saja.
Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar itu lalu menjelaskan: “Riwayat-riwayat ini sama sekali tidak sah. Sebenarnya itu beberapa tambahan pendapat yang dimaksudkan untuk memuliakan puasa. Tuhan tidak menerangkan bahwa Al-Quran itu diturunkan dari Lauh al-Mahfudh. Maka jika demikian tetaplah Al-Quran terpelihara dengan sempurna di Lauh al-Mahfudh sesudah diturunkannya dari Lauh al-Mahfudh itu ke bumi ini.”
Menurut anggapan jumhur, lafadz-lafadz Al-Qur’an tertulis di Lauh al-Mahfudh, kemudian dipindah dan diturunkan ke bumi. Dengan demikian, tidak ada lagi lafadz-lafadz Al-Qur’an di Lauh al-Mahfudh. Menurut pen-tahqiq-kan kami, yang dinukilkan bukan lafadz yang temaktub di sana, hanva disalin lalu diturunkan. Hal ini sama dengan orang menghafal isi kitab. Isi kitab tetap berada dalam kitab, yang disalin pun persis seperti yang tertulis dalam kitab itu.*
One thought on “Cara Turunnya Al-Qur’an dari Lauh Al-Mahfudh ke Dunia”