SHALAT GERHANA (Bagian 7):
Bacaan Surat dalam Shalat Gerhana
Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)
Bacaan ayat dan surat dalam shalat gerhana dibaca dengan keras. Tapi, para ulama berselisih mengenai bacaan surat al-Fatihah pada waktu berdiri yang kedua kalinya sesudah ruku yang pertama pada setiap rakaatnya.
Abu Hanifah dan Malik mengatakan bahwa bacaan dalam shalat gerhana tidak dikeraskan. Mereka beralasan, kalau sekiranya Rasulullah saw. membaca dengan keras tentunya para sahabat mengetahui apa yang dibaca oleh Rasulullah saw.
Pendapat ini dibantah oleh Ibnu Hazm. Menurutnya, pendapat seperti itu tidak benar, sebab bacaan Rasulullah itu telah diketahui melalui hadits:
“Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw. mengeraskan bacaannya yang panjang. Beliau mengeraskannya dalam mengerjakan shalat gerhana bulan.”
Selanjutnya Ibnu Hazm berkata, “Hadits Aisyah, Urwah, Az-Zuhri dan al-Auza’i adalah tegas yaitu bahwa Rasulullah saw. membaca ayat dengan keras. Keterangan ini lebih utama daripada anggapan-anggapan yang dusta.” 1)
Ada beberapa pendapat tentang bacaan keras dalam shalat gerhana:
- Mutlak dibaca dengan keras dalam shalat gerhana bulan maupun gerhana matahari, berdasarkan hadits Aisyah dan lain-lain.
- Membaca dengan sirr (pelan), berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. berdiri kira-kira sekadar bacaan surat al-Baqarah. Seandainya Rasulullah saw. membacanya dengan keras, pasti Ibnu Abbas tidak sampai akan mengira-ngira dalam menyebutkan haditsnya itu (sekadar bacaan al-Baqarah). Al-Bukhari menerangkan bahwa Ibnu Abbas shalat di dekat rasulullah saw. tetapi ia tidak mendengar bacaan apapun. Hadits Bukhari ini mu’allaq (terputus sanadnya) tapi Al-Baihaqi menganggapnya muttashil atau bersambung sanadnya.
Al-Baihaqi meriwayatkan tiga buah hadits yang muttashil dari tiga jalan, tapi sanadnya lemah. Maka hadits Ibnu Abbas itu tetap dianggap lemah karena mungkin sekali Ibnu Abbas berdiri jauh dari Rasulullah saw. sehingga tidak mendengar bacaan Rasulullah yang keras.
Imam Nawawi meriwayatkan dari Asy-Syafi’i, Malik dan Abu Hanifah, juga dari Abu Laits bin Sa’ad, bahwa mereka mengeraskan bacaan pada waktu shalat gerhana bulan tetapi tidak mengeraskannya pada gerhana matahari. Demikian pendapat Jumhur Ulama.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai bacaan al-Fatihah pada waktu berdiri yang kedua kalinya pada masing-masing rakaat. Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata bahwa al-Fatihah juga dibaca pada waktu berdiri yang kedua kalinya –bagi yang menyetujui cara dua kali ruku dalam satu rakaat.
Tetapi sebagian sahabat Imam Malik memandang berdiri yang kedua kali sebagai bagian dari rakaat itu sendiri yang ditambah dengan ruku, karenanya tidak perlu membaca al-Fatihah lagi. Namun, Imam Malik sendiri serta Ash-Shan’ani berpendapat bahwa al-Fatihah dibaca pula pada waktu berdiri kedua kalinya, karena tidak sah shalat tanpa membaca al-Fatihah.
Dan kami condong kepada pendapat yang mengharuskan membaca al-Fatihah pada tiap kali berdiri. 2) (mansyur alkatiri)
CATATAN KAKI:
1) Al-Muhalla, V: hal. 101.
2) Nailul Authar IV, hal. 22-23; Subulus Salam II, hal. 102; Syarah Mandah, II, hal. 139.
BACA JUGA:
Shalat Gerhana (1): Pengertian Shalat Khusuf dan Kusuf
Shalat Gerhana (2): Hukum Shalat Gerhana: Sunnah atau Wajib?
Shalat Gerhana (3): Jumlah Rakaat Shalat Gerhana
Shalat Gerhana (4): Cara-cara Shalat Gerhana
Shalat Gerhana (5): Shalat Gerhana: Berjamaah atau Sendiri?
Shalat Gerhana (6): Seruan untuk Shalat Gerhana