TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 2

Tafsir Ayat Kedua: Makna Hamdalah

Rasyid RidhaOleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)

Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.

Mari kita simak tafsir selanjutnya dari Ustadz Muhammad Abduh.

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

Segala puji bagi Allah. Tuhan semesta alam.” (QS Al-Fatihah: 2)

Para ahli tafsir mengatakan bahwa al-ẖamdu adalah al-tsanâ’ (sanjungan) dengan lisan, tetapi dibatasi hanya untuk hal-hal yang baik. Kata tsanâ’ bisa saja digunakan untuk memuji atau mencela. Kalimat atsnâ ‘alaihi syarran (ia mencela kejelekan) boleh diucapkan, seperti juga kalimat atsnâ ‘alaihi khairan (ia memuji kebaikan). Mereka pun mengatakan bahwa alif lam (al) dalam kata al-ẖamdu adalah li al-jins (menunjukkan jenis), bukan li al-istighrâq (mencakup semua jenis), bukan pula li al-‘ahd al-makhshûsh (menunjukkan maksud khusus yang tersembunyi). Dengan kedua makna terakhir ini, ungkapan kalimat dalam ayat tersebut tidak dapat dipahami, kecuali didukung oleh dalȋl (penunjuk) lain yang tidak ada dalam ayat itu. Jadi, makna al-ḫamdu lillâh (pujian milik Allah) dengan segala jenisnya menunjukkan bahwa setiap sesuatu yang layak dipuji bersumber dan berasal dari Allah. Oleh sebab itu, dalam setiap keadaan, segala pujian akhirnya menjadi milik-Nya.

Kalimat al-ḫamdu lillâh adalah kalimat berita (khabariyyah). Namun, kalimat ini digunakan sebagai perintah untuk memuji Allah. Maknanya adalah menetapkan segala jenis pujian yang baik bagi Allah. Pujian itu tetap milik Allah dan kembali kepada-Nya. Sebab, Allah adalah Pemilik segala sifat yang pantas mendapatkan pujian. Sifat-sifat yang dimiliki-Nya adalah sifat yang paling mulia dan kebaikan-Nya tersebar merata pada seluruh makhluk yang ada. Hal itu karena segala hal selain Allah yang pantas mendapatkan pujian berasal dari-Nya. Dialah sumber dari seluruh yang ada di alam raya ini. Oleh sebab itu, segala pujian menjadi milik-Nya untuk pertama kalinya. Secara hakikat, setiap pujian yang ditujukan pada sesuatu selain Allah sesungguhnya tertuju kepada-Nya, baik diungkapkan maupun disembunyikan oleh pemujinya. Sementara, makna perintah (insyâ’iyyah) dalam kalimat itu menunjukkan bahwa orang yang memuji menjadikan kalimat sebagai ungkapan sanjungan kepada Allah pada saat itu.

Itulah ringkasan penjelasan Ustadz Muhammad ‘Abduh. Saya katakan sebagai berikut.

Penjelasan paling populer di antara para ulama mengenai kata al-ẖamdu adalah bahwa kata itu merupakan pujian secara lisan terhadap perbuatan baik yang dilakukan secara sadar, baik yang berpengaruh positif bagi pemujinya maupun yang negatif. Saya tambahkan bahwa kadang-kadang yang tidak melakukan sesuatu secara sadar pun dipuji. Hal ini ditilik dari segi manfaatnya bagi orang yang memujinya. Contohnya, pasar dipuji karena mendatangkan keuntungan (padahal pasar tidak pernah melakukan sesuatu pun secara sadar).

Itulah makna dasar kata al-ẖamdu secara etimologis. Sebagian ulama tidak mensyaratkan kebaikan itu mesti dilakukan secara sadar agar sanjungan untuk sifat-sifat yang utama dapat dimasukkan ke dalam kategori al-ẖamdu. Untuk itu, sebagian ulama tidak mempermasalahkan apakah perbuatan baik yang dilakukan secara sadar sebagai al-fadhâ’il (sifat-sifat utama yang dimiliki seseorang) ataupun al-fawâdhil (efek yang ditimbulkan oleh sifat-sifat utama kepada yang tidak memilikinya). Jelasnya, kata al-ẖamdu digunakan untuk memuji pemilik sifat-sifat utama serta orang lain yang mendapatkan efek sifat keutamaan sebagai perbuatan yang dilakukan secara sadar. Selain al-ẖamdu, nama pujian yang diberikan orang Arab untuk perbuatan baik adalah al-madẖu.

Rabb al-‘âlamȋn (Tuhan Yang Memelihara semesta alam)

Ungkapan di atas menjelaskan suatu sifat yang menyebabkan Allah pantas menerima pujian secara umum. Makna kata al-rabb adalah tuan yang mengatur, memelihara, dan mengurus budaknya. Sedangkan, kata ‘âlamȋn adalah jamak dari ‘âlam. Bentuk jamak ini, biasanya, digunakan untuk menunjuk makhluk berakal berjenis kelamin laki-laki (al-mudzakkar al-‘âqil). Namun, yang dimaksud di sini adalah semua makhluk yang bisa dicakup oleh kata tersebut. Jadi, maksud kata Rabb al-‘âlamȋn adalah Dialah Pemelihara segala sesuatu yang termasuk ke dalam kategori ‘âlam.

Orang Arab tidak menjamakkan kata ‘âlam dengan bentuk ini kecuali karena ada maksud yang mendalam. Di antara maksudnya adalah kata ini tidak diperuntukkan bagi semua makhluk yang ada seperti batu dan tanah. Ia digunakan untuk sekelompok makhluk tertentu yang memiliki sifat yang mendekati sifat makhluk berakal. Bisa jadi makhluk itu tidak berakal. Karena itu, dalam kosakata Arab dikenal alam manusia (‘âlam al-insân), alam binatang (‘âlam al-ẖayawân), dan alam tumbuhan (‘âlam al-nabât).

Saya berpendapat bahwa jenis makhluk yang disebutkan di atas adalah objek pengertian kata rabb. Sebab, pada makhluk-makhluk itu terdapat ciri-ciri makhluk berakal, yaitu hidup, makan, dan berkembang biak. Ciri-ciri ini terlihat jelas pada binatang. Jamaluddin Al-Afghani berkata, “Binatang adalah tumbuhan yang kakinya tercerabut dari dalam tanah hingga dapat berjalan. Sedangkan, tumbuhan adalah hewan yang kakinya terbenam di dalam tanah hingga berdiri terus di tempatnya. Ia makan dan minum, sekali pun tidak tidur dan tidak berpikir.”

Itulah ringkasan penjelasan Ustadz Muhammad ‘Abduh. Saya tambahkan bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa maksud kata al-‘âlamȋn di sana adalah makhluk yang memiliki ilmu dan pengetahuan, yaitu malaikat, manusia, dan jin. Diriwayatkan dari Imam Ja’far Al-Shadiq, bahwa yang dimaksud oleh kata al-‘âlamȋn hanya manusia. Makna ini, kata Ja’far Al-Shadiq, ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Qur’an, seperti dalam ayat:

اَتَأْتُوْنَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعٰلَمِيْنَ

Apakah kalian mendatangi jenis laki-laki di antara manusia (al-‘âlamȋn).” (QS Al-Syu’araa: 165)

Dan dalam ayat:

لِيَكُوْنَ لِلْعٰلَمِيْنَ نَذِيْرًا

Agar ia memberi peringatan kepada seluruh alam (manusia).” (QS Al-Furqan: 1)

Atas dasar pandangan Ja’far Al-Shadiq di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa kata ‘âlam (jamaknya: ‘âlamȋn) berakar dari al-‘ilm (mengetahui). Sedangkan, ulama yang berpendapat bahwa kata ‘âlam berlaku umum untuk semua jenis makhluk mengakarkannya pada kata al-‘alâmah (tanda, ciri).

Ada dua jenis pemeliharaan (tarbiyah) Allah terhadap manusia. Pertama, tarbiyah khalqiyyah (pemeliharaan fisikal), yaitu menumbuhkan dan menyempurnakan bentuk tubuh, serta memberikan daya jiwa dan akal. Kedua, tarbiyah syar’iyyah ta’lȋmiyyah (pemeliharaan syariat dan pengajaran), yaitu menurunkan wahyu kepada salah seorang di antara mereka untuk menyempurnakan fitrah manusia dengan ilmu dan amal. Untuk itu, selain Tuhan tidak ada yang boleh membuat syariat ibadah apa pun: mengharamkan dan menghalalkan sesuatu sekehendaknya tanpa izin dari Allah Swt. *

SUMBER: Diambil dari buku TAFSIR AL-FATIHAH, Menemukan Hakikat Ibadah; Muhammad Rasyid Ridha; Penerjemah: Tiar Anwar Bachtiar; Penerbit: Al-Bayan (2005). Terjemahan dari karya asli beliau: Tafsir Al-Fatihah wa Sittu Suwar min Khawatim Al-Qur’an, terbitan Al-Zahra li al-I’lam al-‘Arabi, Kairo.

BACA JUGA:
TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat ke-1: Makna Bismillah
TAFSIR AL-FATIHAH, RASYID RIDHA – Tinjauan Umum
Pesan-Pesan Al-Fatihah yang Patut Direnungkan dalam Shalat – M. Rasyid Ridha

3 thoughts on “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *