SYAIKH AHMAD SURKATI, Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia (1)
Oleh: Prof. Dr. Bisri Affandi, MA
Masa Kecil dan Remaja Di Sudan
Ahmad Surkati lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, daerah Dongula (Sudan), pada 1292 H atau 1875 M. Ayahnya bernama Muhammad, dan diyakini masih keturunan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, sahabat Rasulullah saw. dari golongan Anshar.
Berkenaan dengan tradisi beragama di tanah kelahiran Ahmad Surkati, Spencer Trimingham memperkirakan Islam masuk ke Dongula pada abad ke-14. Salah seorang pendiri lembaga pengajaran Islam waktu itu disebut dengan nama Ghulam Allah ibn Aid yang berasal dari Yaman. Kemudian datang empat orang yang mengaku keturunan Jabir melanjutkan lembaga pengajaran tersebut dengan mendirikan khalwa di Sha’iqi, Dongula.
Karena masih keturunan Jabir bin Abdullah al-Anshari maka Muhammad memakai nama tambahan al-Anshari. Mengacu dari nama ayahnya, secara lengkap nama Ahmad Surkati adalah Syekh Ahmad Muhammad Surkati al-Anshari.
Sebutan “Surkati” yang berarti “banyak kitab” (Sur menurut bahasa setempat artinya “kitab”, dan katti menunjukkan pengertian “banyak”)[1] di belakang nama Syekh Ahmad, diambil dari sebutan yang dilekatkan pada kakeknya yang memperoleh sebutan itu karena sepulangnya dari menuntut ilmu di Mesir ia membawa banyak kitab.
Ayah Ahmad Surkati yang keluaran Al-Azhar juga mewarisi sebutan yang sama. Dan seperti kakeknya, ayah Ahmad Surkati memiliki pula banyak kitab. Dengan kata lain, Ahmad Surkati lahir dari keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam.
Menurut penuturan saudara kandungnya, sejak kanak-kanak Ahmad Surkati telah ditandai kelebihan berupa kejernihan pikiran dan kecerdasan. Hal ini mendorong ayahnya cenderung memperlakukan dia lebih istimewa disbanding saudara-saudara kandungnya yang lain.
Semenjak kecil pula ia sering diajak bepergian menghadiri pengajian-pengajian atau majelis-majelis bersifat ilmiah, yang dihadiri para guru agama. Dengan begitu Ahmad Surkati ikut mendengarkan diskusi-diskusi agama. Karena kecerdasannya, dalam menghafal Al-Qur’an dia tidak menemui kesulitan seperti teman-temannya. Kebiasaan menghafal Al-Qur’an itu berlanjut hingga di usia tua, di saat dia tidak dalam kesibukan mengajar atau lainnya.[2]
Namun, di sisi lain, sebagaimana anak yang masih belum dewasa, ia juga ingin punya waktu bermain dan santai dengan tak mengikuti jadwal kegiatan menghafal Al-Qur’an. Ini terjadi di Masjid Al-Qaulid, suatu lembaga Al-Qur’an terkenal di masa itu.
Menghafal Al-Qur’an sendiri adalah bentuk permulaan dari pendidikan agama Islam. Dalam suatu sistem pendidikan tradisional Sudan, guru Al-Qur’an disebut feki, yang secara pribadi memiliki suatu khalwa. Biasanya beberapa khalwa berkait dengan satu masjid. Akan halnya murid yang telah hafal Al-Qur’an kemudian disebut hafiz.
Tak hadirnya Ahmad Surkati dalam pelajaran menghafal Al-Qur’an sesudah shalat shubuh di Masjid Al-Qaulid itu bukan hanya sekali, melainkan dua kali berturut-turut. Akibatnya, pimpinan masjid marah dan memerintahkan wakilnya untuk mencari dan membawa Ahmad Surkati menghadap.
Setelah sekian lama dicari di asrama, ternyata ia sembunyi di salah satu bilik dalam keadaan masih tidur nyenyak. Ketika itu, pimpinan masjid kemudian menghukum Ahmad Surkati dengan memerintah dia “berdiri” di hadapan kawan-kawannya dan mendengarkan ayat-ayat yang sedang dihafal.
Setelah kawan-kawannya selesai menghafal, Ahmad Surkati mendapat giliran menghafalkan semua ayat yang sudah dihafal kawan-kawannya. Ternyata ia dapat menghafal dengan benar seluruh ayat itu. Maka gurunya pun berkata, “Bagaimana kamu dapat menghafal, padahal kamu selama dua hari berturut-turut tidak masuk (absen)?” Ahmad Surkati menhjawab, “Saya cukup membaca sekali saja.”[3]
Semenjak peristiwa itu Syekh Guru membebaskan Ahmad Surkati dari kegiatan belajar rutin, dan dia ditugasi belajar dan menghafal Al-Qur’an secara mandiri. Dalam waktu relative singkat Ahmad Surkati ternyata bisa menamatkan pelajaran menghafal Al-Qur’an di Mesjid al-Qaulid.
Tamat dari Mesjid al-Qaulid, sang ayah mengirimkan Ahmad ke Ma’had Sharqi Nawi, pesantren yang dipimpin seorang ulama besar dan terkenal di Dongula. Sebelum menyerahkan anaknya, ayah Ahmad Surkati terlebih dulu menyampaikan hal ihwal yang ada pada anaknya.
Benar apa yang dikatakan sang ayah. Sebab, begitu ia tercatat sebagai murid di Ma’had Sharqi Nawi, ia kembali kurang mematuhi peraturan dan disiplin pesantren, serta kurang memperhatikan pelajaran. Ahmad Surkati tampaknya tidak betah tinggal di pondok. Sebaliknya ia justeru banyak bermain-main dan gemar menolong mengatasi kesulitan yang dihadapi para santri, juga membantu urusan-urusan pesantren lainnya.
Mengetahui perilaku murid barunya itu, suatu saat pimpinan pondok memanggil Ahmad Surkati dan mengajukan beberapa pertanyaan:
“Siapa orangtuamu?” Ia menjawab, “Muhammad bin Muhammad al-Ansari.” Kemudian pimpinan Ma’had bercerita tentang murid-muridnya, yang terdiri dari tiga macam: (1) mereka yang mencari ilmu dengan penuh kesungguhan; (2) mereka yang memerlukan pertolongan dari jenis murid yang pertama; dan (3) mereka yang hanya sekadar bergaul dengan sesama pelajar. Selanjutnya pimpinan Ma’had bertanya, “Dari tiga macam tersebut, engkau tergolong macam mana?” Ahmad Surkati menjawab, “Saya senang menjadi macam yang pertama, namun secara pribadi saya simpati dengan macam yang kedua.” Mendengar jawaban demikian pimpinan Ma’had marah. Ia berkata, “Bodoh kamu, dan kamu membohongi keluargamu.” Mendengar kemarahan tersebut Ahmad Surkati meminta maaf dan mohon perkenan didoakan untuk menjadi murid macam yang pertama. Dan pimpinan Ma’had bergembira sekali atas sikap dan jawaban Ahmad Surkati.”[4]
Semenjak peristiwa itu Ahmad Surkati belajar lebih tekun dan berusaha mengikuti peraturan serta disiplin Ma’had. Hingga, dia bisa menamatkan pelajaran di Ma’had Sharqi Nawi.
Tamat dari Ma’had, ayah bermaksud mengirim putranya melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar supaya dapat meneruskan kedudukan ayahnya dan memperoleh gelar Al-Azhari. Hanya, maksud tersebut tidak tercapai karena pemerintah Al-Mahdi, yang pemimpinnya dikenal dengan nama Abdullah al-Ta’ayishi, tidak memperkenankan siapa saja orang Sudan pergi ke Mesir. Putuslah keinginan Ahmad muda untuk mengikuti jejak ayahnya, menjadi sarjana Al-Azhar.
Sebagaimana diketahui, sejak awal abad ke-19 Sudan berada di bawah kekuasaan Mesir. Namun, kekuasaan itu kemudian memudar karena adanya gerakan perlawanan Mahdi Sudan yang makin kuat sejak tahun 1881. Sampai dengan tahun 1898 Sudan sepenuhnya berada di bawah pemerintahan Mahdi.
Walau cita-cita belajar ke Mesir tidak terlaksana, hal itu tak mematahkan semangat dan niatnya menuntut ilmu di luar negeri. Ia mengarahkan niat itu ke negeri lain. Dengan tidak mengabarkan pada siapa pun ia berangkat menuju Makkah pada 1314 H atau 1896 M.
Sewaktu berada di Makkah, hubungan antara Ahmad Surkati dan keluarganya terputus, karena putusnya jalan haji antara Sudan dan Hijaz. Baru si tahun 1316 H atau tahun 1898 M, yakni setelah tentara Mesir dan Inggris memasuki negeri Sudan, hubungan itu pulih kembali.
Akan halnya Ahmad Surkati, dia ternyata tak lama bermukim di Makkah. Dari keterangan kawannya yang berada di Makkah pada Sati Muhammad, diketahui Ahmad Surkati berada di Makkah hanya sementara, karena dia lalu meneruskan perjalanan ke Madinah.
[1] Abu Fadl Sati Muhammad dalam Umar Sulayman Naji, Terjamat al-Hayat al-Ustadz al-Syaikh Ahmad al-Surkati al-Anshari, Manuskrip, hal. 9.
[2] Wawancara dengan Ustadz Turmudzi, alumni Al-Irsyad di Lawang, Malang, yang diasuh langsung oleh Ahmad Surkati. Wawancaranya berlangsung di Malang, Juni 1983.
[3] Keterangan dari Abu Fadl Sati Muhammad dalam buku Terjamat al-Hayat al-Ustadz al-Syaikh Ahmad al-Surkati al-Anshari, karya Umar Sulaiman Naji, Manuskrip, hal. 11.
[4] Keterangan Abu Fadl Sati Muhammad dalam buku Umar Naji, hal. 15.
DARI: Buku SYAIKH AHMAD SURKATI (1875-1943), Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia, karya Prof. Dr. Bisri Affandi, MA (IAIN Sunan Ampel, Surabaya)
BACA ARTIKEL LAINNYA:
Pembaharu Islam di Indonesia
Tabir di Masjid untuk Kaum Wanita
5 thoughts on “Ahmad Surkati, Masa Kecil di Sudan”