Shalat Gerhana Sunnah Berjamaah

SHALAT GERHANA (Bagian 5)

Shalat Gerhana: Berjamaah atau Sendiri?

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)

Shalat gerhana SUNNAH untuk dikerjakan dengan berjamaah di masjid, tanpa azan dan iqamah. Alasannya:

1. Mengikuti sunnah atau praktek yang dilakukan Rasulullah saw., yaitu dengan memerintahkan seseorang untuk menyerukan: ash shalatu jami’ah, kemudian setelah orang-orang berkumpul Rasulullah shalat bersama mereka.

2. Berdasarkan keumuman hadits yang menerangkan bahwa shalat jamaah lebih utama dua puluh tujuh kali dibanding dengan shalat sendirian.

3. Berdasarkan perintah Rasulullah saw. kepada para sahabat untuk bergegas menunaikan shalat gerhana ke masjid apabila melihat ada gerhana:

Matahari dan bulan adalah dua di antara tanda-tanda keagungan Allah. Keduanya tidak akan tertutup (terjadi gerhana)karena meninggal atau lahirnya seseorang. Apabila kamu melihatnya maka bergegaslah segera pergi ke masjid.”
BACA SELENGKAPNYA “Shalat Gerhana Sunnah Berjamaah”

Hukum Shalat Gerhana

SHALAT GERHANA (Bagian 2)

Hukum Shalat Gerhana: Sunnah atau Wajib?

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib al-Hamdani (1903-1983 M)

Shalat gerhana adalah sunnah mu’akkadah menurut sabda Rasulullah saw.:

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua di antara tanda-tanda keagungan Allah. Allah menakut-nakuti hamba-Nya dengan keduanya. Matahari dan bulan tidak terkena gerhana karena meninggal atau lahirnya seseorang, karena itu apabila kamu melihatnya maka segeralah shalat dan berdoalah sampai terang kembali.”

Matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda keagungan Allah. Tidaklah terjadi gerhana karena meninggal atau lahirnya seseorang. Apabila kamu melihatnya maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah dan bersedekahlah.”

Hadits-hadits tentang shalat gerhana di atas semuanya shahih, maka dengan hadits manapun kita berpegang, kita akan mendapat pahala. Dan sangatlah disukai apabila kita mengerjakan shalat gerhana sebanyak bilangan rakaat seperti rakaat shalat sebelum terjadinya gerhana.

Hadits tentang shalat gerhana itu menunjukkan wajib, tetapi ijma’ menganggapnya sunnah mu’akkadah.

Perbedaan pendapat mengenai hukum shalat gerhana ini bersumber dari kebenaran hadits atau berita tentang berulang-ulangnya gerhana yang terjadi di masa Rasulullah saw.. Sebagian ada yang berpendapat hanya satu kali, yaitu pada meninggalnya Ibrahim, putra Rasulullah, yang bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari. Sedang lainnya menganggap sebaliknya, yaitu bahwa gerhana terjadi berulang kali sehingga Rasulullah saw. sering melakukannya.

SUMBER: Buku “SHALAT-SHALAT SUNNAH” (HSA Al-Hamdani)

BACA JUGA:
Shalat Gerhana (1): Pengertian Shalat Khusuf dan Kusuf
Pendapat Syeikh Muhammad Rasyid Ridha tentang Gerhana

Shalat Gerhana

SHALAT GERHANA (Bagian 1)

Pengertian Shalat Khusuf dan Kusuf

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib al-Hamdani (1903-1983 M)

Kata khusuf dan kusuf dipergunakan untuk istilah gerhana bulan dan gerhana matahari seperti yang terdapat dalam beberapa hadits Rasulullah saw.

Dalam At-Tanzil dikatakan bahwa istilah khusuf itu hanya dipergunakan untuk bulan, sedang kusuf untuk gerhana matahari.

Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “Orang-orang berselisih faham mengenai kata kusuf dan khusuf. Ada yang mengatakan kalau khusuf itu untuk gerhana matahari sedangkan kusuf itu untuk gerhana bulan. Tetapi ini tidak benar, sebab Allah sendiri telah menggunakan kata khusuf untuk menyebut gerhana bulan. Adapula yang menyebutkan sebaliknya. Lainnya mengatakan bahwa kedua-duanya itu sama artinya.

Perbedaan istilah ini dibuktikan dengan lafad yang terdapat untuk dua macam gerhana. Ada yang mengatakan kalau kusuf berarti lenyapnya seluruh cahaya, sedang khusuf artinya berubah warnanya.[1]

Asy-Syaukani berkata: Kusuf menurut lughah adalah berubah menjadi hitam. Dari kata kusuf timbul istilah berubah muka dan matahari menghilang cahayanya.

Menurut Al-Hafid: Kusuf sering dipergunakan untuk menyebut gerhana matahari, sedang khusuf sering dipergunakan untuk gerhana bulan. Ada pula yang menyebutkan kalau kusuf itu untuk permulaan gerhana, sedang khusuf untuk akhir gerhana. Ada juga yang mengatakan kalau kusuf untuk gerhana penuh, sedang khusuf untuk gerhana yang tidak penuh.[2]

Urwah berkata: Janganlah kamu mengatakan “Kasafatisy Syamsu” tetapi katakanlah “Khasafatisy Syamsu”. Hadits ini mauquf tetapi shahih, diriwayatkan oleh Sa’id bin Marwan dan oleh Muslim dari Yahya bin Yahya.

[1] Syarah Umdatul Ahkam, hal. 135.

[2] Nailul Authar, IV: 14.

SUMBER: Buku “SHALAT-SHALAT SUNNAH” (HSA Al-Hamdani)

BACA JUGA:
Pendapat Syeikh Muhammad Rasyid Ridha tentang Gerhana