Fatwa Solo dan Lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Batavia 1914

Oleh: Abdullah Abubakar Batarfie (Ketua Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad Bogor)

MADRASAH AL-IRSYAD SURABAYA – 1935

BAGI yang pernah merasakan hidup di negeri yang masih berstatus sebagai Hindia Belanda lebih dari 100 tahun lalu, tentu akan mengalami masa pengklasifikasian golongan penduduk yang didasarkan kepada stratifikasi sosial, dimana setiap orang tidak bisa sesukanya untuk “Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah“. Sebuah peribahasa yang menggambarkan suatu kondisi yang setara, sama atau seimbang.

Ketidak setaraan itu berlaku pada semua sendi kehidupan masyarakat, baik dalam hal nasab (keturunan), pangkat (kedudukan) dan harta (kekayaan). Karena itu pula tidak semua anak-anak negeri memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang sama, Demikian pula dengan status sosial sesorang akan teridentifikasi dari gelar yang disandang dan pakaian yang dikenakan.

Gelar-gelar yang disandang, bahkan ada yang menggunakan dalih agama, dimana tidak sembarang orang menyematkan gelar itu di depan namanya. Meski tidak terancam dipidana, pakaian yang dikenakan pun disesuaikan dengan derajat para pemakainya.

BACA SELENGKAPNYA “Fatwa Solo dan Lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Batavia 1914”

TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 6

Syekh M. Rasyid Ridha

Oleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)

Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.

Tafsir Ayat Keenam: Makna dan Hakikat Hidayah

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ

Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.” (QS Al-Fatihah: 6)

Terlebih dahulu Ustadz Muhammad ‘Abduh mengemukakan pendapat para ulama tentang makna hidayah secara etimologis. Menurut mereka, hidayah adalah petunjuk yang lembut tentang sesuatu yang akan mengantar pada perkara yang dicari. Selanjutnya, beliau menjelaskan jenis-jenis dan tingkatan-tingkatan hidayah.

Allah Ta’ala, kata Ustadz Muhammad ‘Abduh, telah menganugerahkan empat jenis hidayah kepada manusia sebagai pengantar menuju kebahagiaan.

Pertama, hidayah insting (naluri). Hidayah ini sudah diberikan kepada manusia sejak lahir. Ketika lahir, bayi akan memberitahukan rasa laparnya secara naluri, melalui tangisan. Ketika susu ibunya menempel di mulutnya, secara naluriah ia langsung saja meraihnya dan menetek air susu ibunya.
BACA SELENGKAPNYA “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 6”

TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 3

Rasyid Ridha RepublikaOleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)

Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.

Tafsir Ayat Ketiga: Memahami Rahmat Allah  

الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Fâtiẖah: 3)

Ustadz Muhammad ‘Abduh mengatakan bahwa makna kedua kata ini telah dijelaskan di atas (dalam penafsiran basmalah). Penjelasan ini sekadar pengulangan.

Rahasia di balik kedua kata ini cukup jelas bahwa pemeliharaan Allah terhadap seluruh alam bukan karena Allah memerlukan mereka untuk mendatangkan manfaat atau menghindari bahaya. Namun, hal itu semata karena kasih sayang dan kebaikan-Nya yang diberikan merata kepada seluruh alam.

BACA SELENGKAPNYA “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 3”

Diin dan Dun-ya

surkati1Oleh: Syekh Al-Allamah Ahmad Surkati Al-Anshari (1875-1943)

Ulama besar, ahli hadits, dan Pembaharu Islam di Indonesia. Guru dari para ulama modernis dan banyak pejuang kemerdekaan negeri ini.

Tulisan ini merupakan jawaban Syekh Ahmad Surkati atas pertanyaan yang diajukan Perhimpunan Muhammadiyah pada bulan Rabiul Awwal 1357 H (Maret 1938).

Perkataan DIIN dan DUN-YA dalam bahasa Arab mengandung beberapa arti dan pengertian. Dari berbagai pengertian itu bisa diartikan secara umum dan bisa pula secara khusus. Arti yang sesungguhnya, dapat dimengerti dari susunan kalimatnya, seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadits.

Kata DIIN itu berasal dari kata DAANA, YADIINU, yang mengandung arti KHADHO’A (tunduk). Pun perkataan DIIN itu adakalalanya berarti: PEMBALASAN, seperti dalam firman Allah:

مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Maliki Yaumid-DIIN
BACA SELENGKAPNYA “Diin dan Dun-ya”

Ahmad Surkati, Pejuang Sejati

AHMAD SURKATI, Pejuang Sejati

Oleh: Mansyur Alkatiri

Syekh Ahmad Surkati di Jubileum 1939

 

Ahmad Surkati sangat membenci penjajahan dan tidak mau umat Islam Indonesia diperbudak oleh orang-orang Belanda serta berupaya mengubah kondisi itu dengan menanamkan kesadaran pada segenap umat akan bahayanya penjajahan. Sikap anti penjajahan itu diperlihatkan dengan memperjuangkan persamaan derajat sesama manusia (Al-Musawa). Menurut Ahmad Soerkati, ”Mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah.” (Darmansyah, dkk. 2006, hal. 10-11).

Dalam sebuah ceramah terbuka di Surabaya pada 29 Desember 1928, yang dihadiri sekitar 700 warga Al-Irsyad dan umat Islam Surabaya, Syekh Ahmad Surkati menekankan pentingnya ilmu dipegang oleh orang-orang yang berani. Ia menyatakan, “Ilmu bagi manusia sama halnya seperti sebilah pedang, tak bisa memberi manfaat kecuali bila pedang itu ada di tangan orang yang berani mempergunakannya. Sebilah pedang dipegang oleh seorang penakut terhadap musuhnya, berarti senjata makan tuan”. Apa yang diucapkan Surkati itu di tengah maraknya gerakan kebangsaan Indonesia saat itu serta kondisi rakyat Indonesia sebagai rakyat jajahan, dapat kita tangkap sebagai sebuah pelajaran berharga bagi para hadirin.

Kepada para pemuda Jong Islamieten Bond, Surkati juga keras tegas mengajarkan keyakinan Qur’ani bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan merdeka. Belanda bukan hanya menjajah fisik namun juga menindas harkat dan jiwa bangsa Indonesia. Surkati juga memberi kesempatan kepada pemuda-pemuda pergerakan nasional itu untuk menggunakan fasilitas pendidikan Al-Irsyad. Mereka pun secara berkala mengikuti ceramah dan kursus agama yang diadakan di gedung Al-Irsyad.
BACA SELENGKAPNYA “Ahmad Surkati, Pejuang Sejati”

Eksistensi Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Jakarta

Madrasah Al-Irsyad Petojo, Jakarta
Madrasah Al-Irsyad Petojo, Jakarta

Eksistensi organisasi Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam’iyyah Al-Irsyad Al-Islamiyyah) disingkat Al-Irsyad Al-Islamiyyah sangat lekat dan tidak bisa dipisahkan dengan Jakarta, ibukota Republik Indonesia. Sebab, Al-Irsyad Al-Islamiyyah lahir di Jakarta (dulu Batavia) dan dilahirkan oleh warga jamaah Jakarta (Betawi). Ikatan Al-Irsyad dengan Jakarta ini ibarat seperti Muhammadiyah dengan Jogjakarta dan NU dengan Jombang (Jawa Timur), serta Persatuan Islam (Persis) dengan Bandung.

Kelekatan Al-Irsyad dengan Jakarta bisa dilihat dari fakta bahwa kedudukan pengurus pusat atau pengurus besar (hoofdbestuur) Al-Irsyad Al-Islamiyyah selalu berada di Jakarta sejak berdiri sampai sekarang (saat tulisan ini dibuat, 2017). Dari awal berdiri sampai di tahun-tahun awal para ketua dan seluruh pengurusnya juga asli warga Jakarta (Batavia).

Sejarah Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah bermula dari pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jati Petamburan (Batavia) pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal ini lalu dijadikan tanggal berdirinya Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Namun, pengakuan hukumnya dari pemerintah kolonial Belanda baru keluar pada 11 Agustus 1915.

Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral pendirian Al-Irsyad Al-Islamiyyah
Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral pendirian Al-Irsyad Al-Islamiyyah

Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-‘Alamah Syeikh Ahmad Surkati, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Ahmad Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami’at Khair. Namun karena ada perselisihan dalam pemahaman keagamaan, Syekh Ahmad Surkati pun keluar dari Jami’at Khair dan bersama beberapa sahabatnya mendirikan Al-Irsyad. Nama lengkap beliau adalah SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD AS-SURKATI AL-ANSHARI.
BACA SELENGKAPNYA “Eksistensi Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Jakarta”

Kongres Jubelium Al-Irsyad

Kongres Jubelium Al-Irsyad 1939 di Surabaya

Syekh Ahmad Surkati di Jubileum 1939
SYEKH AHMAD SURKATI di Kongres Jubileum 1939

Kongres Jubelium atau Peringatan 25 Tahun Al-Irsyad secara besar-besaran diselenggarakan di Surabaya dari 26 September sampai 1 Oktober 1939. Kongres ini diberi nama Kongres Al-Irsyad ke-25. Sebelum ini, lembaga tertinggi yang dikenal di Al-Irsyad adalah Rapat Umum Anggota yang diselenggarakan setiap tahun dari awal berdirinya (1914) sampai 1939.

Rapat Umum Anggota (RUA) tahun 1939 merupakan RUA terakhir yang diselenggarakan Al-Irsyad menurut gaya lama.  Dalam RUA itu diputuskan, bila Kongres Jubelium di Surabaya menetapkan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang kemudian disahkan pemerintah, maka Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Al-Irsyad siap untuk menyesuaikan diri dan berjalan menurut ketentuan baru.

Dalam RUA yang tepatnya diselenggarakan pada 27 Agustus 1939 di kompleks sekolah Al-Irsyad Petojo Jagamonyet 19, Batavia, diputuskan untuk mengangkat kembali Ahmad Masy’abi sebagai ketua Hoofdbestuur Al-Irsyad, Ali Said Mughits sebagai wakil ketua, Abdullah Badjerei dan Ali Harharah sebagai sekretaris I dan II, serta Ahmad Abdullah Mahri sebagai bendahara, dan Umar Naji Baraba sebagai penasihat. Sebagai pembantu diangkatlah: Abdulhabib Elly, Ali Hubeish, Muhammad Munif, Usman Bahrak, Salim Albakri, Umar Khamis, dan Umar Muhammad Mahri.  
BACA SELENGKAPNYA “Kongres Jubelium Al-Irsyad”

Mabadi Alirsyad (2 dari 6 bagian)

MEMAHAMI KONSEPSI MABADI AL-IRSYAD

Oleh: Geys Amar, SH (Ketua Umum PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah 1982-2000)

Geys AmarMemahami Mabadi Al-Irsyad dan kemudian menuliskannya dalam bentuk penjabaran lainnya, memerlukan pengetahuan sejarah Al-Irsyad dan mendalami garis-garis perjuangan pemurnian Islam di Indonesia yang dirintis dan digarap oleh Syekh Ahmad Surkati al-Anshari.

Mabadi Al-Irsyad bukanlah konsepsi utopia yang dapat direka-reka dan dicocok-cocokkan maknanya. Ia adalah merupakan prinsip kerja yang dilahirkan dari pengamatan yang mendalam terhadap keadaan masyarakat, tantangan yang dihadapi dan kerja keras Syekh Ahmad Surkati, guru-guru periode pertama yang mendampinginya mengajar, serta pemuka masyarakat yang membantunya, kemudian organisasi Al-Irsyad yang menunjang perjuangannya mewujudkan perbaikan keadaan umat dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang bersih.
BACA SELENGKAPNYA “Mabadi Alirsyad (2 dari 6 bagian)”

Sejarah Singkat Al-Irsyad

SEJARAH SINGKAT AL-IRSYAD

Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam’iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.

Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah al-‘Alamah Syeikh Ahmad Surkati, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami’at Khair –yang anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905. Nama lengkapnya adalah SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD ASSOORKATY AL-ANSHARY.
BACA SELENGKAPNYA “Sejarah Singkat Al-Irsyad”