Shalat Tarawih

Shalat Tarawih

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib Al-Hamdani (1903-1983 M)

Rasulullah saw. suka sekali menyemarakkan bulan Ramadhan dengan shalat di malam harinya. Beliau memerintahkan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berdiri (shalat malam) di bulan Ramadhan karena iman dan karena mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosa sebelumnya.” (HR. Jamaah)

Dari Abdurrahman bin Auf, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,

Sungguh Allah telah mewajibkan puasa Ramadhan dan mensunnahkan shalat di dalamnya, barangsiapa yang berpuasa dan shalat di malamnya karena iman dan karena mengharap ampunan Allah, maka dia akan keluar dari dosanya ibarat pada pagi hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Ahmad)

Maksud “qiyamu Ramadhan” yaitu berdiri di malam Ramadhan untuk beribadah, dan tidak disyaratkan sepanjang malam.

Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih. Karena itu para ulama sepakat tentang sunnahnya shalat tarawih ini. Tetapi para ulama berselisih faham mengenai cara melaksanakannya, apakah lebih utama dikerjakan dengan berjamaah di masjid atau lebih utama sendirian di rumah.

Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, serta Abu Hanifah, Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat: “Lebih utama dikerjakan berjamaah seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab dan para sahabat yang kemudian dilanjutkan oleh kaum muslimin karena termasuk syiar agama yang jelas, seperti juga shalat Ied.” Bahkan Ath-Thahawi sampai mengatakan bahwa shalat tarawih adalah wajib kifayah untuk dikerjakaan dengan berjamaah.

 Sementara Malik, Abu Yusuf dan sebagian ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa shalat tarawih itu lebih utama dikerjakan sendiri-sendiri di rumah berdasarkan hadits Rasulullah saw. bahwa shalat yang paling utama adalah shalat yang dikerjakan di rumah kecuali shalat fardhu.[1]

Pendapat yang kami pilih adalah bahwa shalat tarawih bila dikerjakan dengan berjamaah di masjid itu lebih utama daripada shalat sendirian di rumah. Ada beberapa alasan:

1. Rasulullah saw. telah melaksanakannya dengan berjamaah bersama para sahabat dalam dua malam, yakni malam pertama dan kedua. Adapun Rasulullah melarangnya pada malam ketiga atau keempat adalah sebagai rahmat agar shalat tarawih tidak dianggap sebagai shalat fardhu. Maka kelirulah orang yang beranggapan bahwa shalat tarawih dengan berjamaah baru dimulai oleh Umar bin Khaththab, sebab Rasulullah lah yang memulai melakukannya bersama para sahabat, sedang Umar hanyalah menghidupkan kembali sunnah Rasulullah setelah ia merasa aman dari rasa takut seperti yang dikhawatirkan Rasulullah yang takut dianggap sebagai shalat fardhu oleh umatnya.

2. Melaksanakan shalat tarawih dengan berjamaah adalah untuk menghidupkan atau menunjukkan syiar Islam yang disunnahkan kepada kita untuk mengagungkan dan menampakkannya. Allah swt. berfirman,

 وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Dan barangsiapa mengagungkan syiar Allah, maka itu termasuk ketakwaan hati.” (al-Hajj: 32)

Menghidupkan bulan Ramadhan dengan tarawih berjamaah, terutama di masjid yang dibangun untuk menyebut nama Allah, adalah untuk meninggikan syiar agama Allah yang luhur.

3. Berdasarkan makna umum hadits Rasulullah saw. bahwa shalat berjamaah itu lebih utama dari pada shalat sendirian, sebanding duapuluh tujuh derajat.

Apabila ada orang mengatakan bahwa menurut sabda Rasulullah saw.: “Sebaik-baik shalat adalah shalat yang dikerjakan di rumah kecuali shalat fardhu,” padahal tarawih adalah bukan shalat fardhu maka lebih utama dikerjakan sendiri-sendiri di rumah. Maka kami jawab bahwasanya hadits itu adalah sabda beliau, sedang jamaah dalam tarawih adalah sunnah yang diamalkan beliau. Maka antara ucapan dan perbuatan beliau itu jangan dipertentangkan.

4. Alasan keempat ialah, bahwa para ulama membagi shalat sunnah itu kepada dua macam, ada sunnah munfarid ada pula shalat sunnah jamaah. Shalat tarawih, shalat ‘Ied, shalat gerhana dan shalat istisqa’ adalah lebih utama untuk dikerjakan dengan berjamaah.

Waktu Shalat Tarawih

Shalat tarawih dikerjakan sesudah shalat rawatib ba’diyah Isya pada malam bulan Ramadhan. Shalat ini dinamakan shalat tarawih artinya istirahat atau mengaso, diambilkan dari hadits Rasulullah saw.,

صَلِّي رَسُولُ اللَّهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يَتَرَوَّحُ

Rasulullah shalat empat rakaat kemudian mengaso (istirahat).”

Adapula yang mengatakan oleh karena para sahabat istirahat (yatawarahum) di antara tiap-tiap dua rakaat.

Syeikh Ahmad Surkati berkata, shalat itu dinamakan pula dengan shalat witir karena ditutup dengan satu rakaat, dan shalat witir dinamakan pula dengan shalat tarawih atau shalat qiyamul lail. Semuanya sama yaitu tathawwu’ yang dikerjakan di waktu malam antara isya sampai shubuh selama bulan Ramadhan. Perbedaan nama itu hanya menurut waktunya saja. Qiyamu Ramadhan yang dikerjakan pada awal malam dinamakan tarawih, kalau akhir malam dinamakan tahajud, dan ini lebih utama dan lebih besar pahalanya. Menurut firman Allah,

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا

Dan pada sebagian malam, bertahajudlah sebagai tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu akan menempatkan engkau pada tempat yang terpuji.” (al-Israa’: 79)

Perbedaan antara tahajud dengan witir hanyalah sedikit sekali. Al-Ghazali berkata, “Sangat disukai kalau shalat witir dikerjakan pada akhir tahajudnya di malam hari.” Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan bahwa shalat witir itu serupa dengan shalat tahajud.

Rakaat Shalat Tarawih

Seperti halnya orang berselisih faham tentang manakah yang lebih utama anatara shalat tarawih dengan berjamaah ataukah sendirian, maka para ulama juga berbeda pendapat menganai jumlah rakaat shalat witir.

Pendapat yang kami pilih adalah yang sebelas rakaat atau tiga belas rakaat, mengikuti sunnah Rasulullah saw. seperti yang tersebut dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Aisyah Ummul Mukminin,

 “Tidaklah Rasulullah saw. menambah rakaat di bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat.”

Dalam riwayat lain disebutkan,

 “Adalah shalat Rasulullah saw. tiga belas rakaat, dan dari tiga belas rakaat itu beliau berwitir dengan lima rakaat dan tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir.”

Syekh Ahmad Surkati berkata, “Tidak ada nash yang membatasi rakaat tarawih, karena Rasulullah memperbolehkan kepada setiap orang untuk shalat sesuai dengan kemampuannya dan kelonggarannya tanpa paksaan, seperti juga Rasulullah saw. tidak membatasi dirinya dengan bilangan tertentu atau waktu yang tertentu dalam mengerjakan shalat malam. Karena itu, para sahabat melakukan shalat malam sesuka mereka dan waktunya pun sesuka mereka, dan Allah telah memuji mereka:

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya, dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersamamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an.’” (al-Muzammil: 20)

Karena itu para sahabat ada yang mengerjakan tarawih duapuluh rakaat, tiap dua rakaat salam, berwitir dengan tiga rakaat dengan dua kali salam atau dengan sekali salam. Adapula yang shalat tigapuluh enam rakaat dengan tiga rakaat witir. Sahabat lainnya ada yang menambah, ada pula yang mengurangi menurut kelonggaran waktu masing-masing.

Umar bin Khaththab pernah menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dariy agar shalat bersama dengan para sahabat lainnya di Madinah dengan duapuluh tiga rakaat, dan di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dan masa Abban bin Usman bin Affan, keduanya shalat tarawih dengan berjamaah sebanyak 36 rakaat, sesudah itu witir dengan tiga rakaat. Kemudian diikuti oleh para imam berikutnya. Imam Malik dalam salah satu qaul-nya, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad serta Daud memilih 20 rakaat kemudian berwitir dengan tiga rakaat.

Dalam qaul lainnya, Malik memilih 36 rakaat dengan tiga rakaat witir. Sebagian besar lainnya memilih bilangan yang paling banyak dikerjakan oleh Rasulullah yaitu sebelas rakaat termasuk tiga rakaat witir atau tigabelas rakaat dengan shalat Fajar atau tanpa shalat Fajar, dan inilah yang lebih utama. Siapa yang ingin menambah maka supaya menambah bacaan atau memanjangkan rukunya atau memperlama sujud atau berzikir seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Allah berfirman,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

Katakanlah (Muhammad): ‘Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’” (Ali Imran: 31)

Mengikuti jejak Rasulullah saw. adalah lebih utama dan lebih disukai Allah meskipun rakaatnya boleh dilebihi dan tidak berdosa.

Firman Allah,

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْا

Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas.” (Huud: 112)

Ayat ini ditujukan kepada orang yang mendirikan shalat sesuai dengan perintah, khusyu, tumakninah dan tartil kepada Allah. Adapun orang yang lalai dalam shalatnya seperti ayam yang mematuk-matukkan paruhnya, berteriak seperti orang gila, yang niatnya hanya akan memperbanyak rakaat, maka shalatnya hanya akan mendapatkan bilangan rakaat yang banyak tanpa sedikitpun meniru shalatnya Rasulullah saw., dan shalat mereka itu seperti yang digambarkan oleh Allah,

 “Dan shalat mereka di sekitar Baitullah itu tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (al-Anfaal: 35)

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ , الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya.” (al-Maa-‘uun: 4-5)

Shalat nafilah meskipun orang yang tidak mengerjakannya tidak akan disiksa tetapi apabila telah dilakukan maka tidak boleh main-main dalam shalatnya. Ringkasnya, shalat tarawih itu adalah sunnah mu’akkadah, bilangan rakaatnya tidak terbatas, sedang yang dikerjakan Rasulullah saw. sebanyak sebelas rakaat atau tigabelas rakaat berikut dua rakaat shalat fajar. Dan jamaah dalam tarawih lebih utama sekiranya aman dari rasa riya dan taklid yang merusak.

Ishaq bin Mansur bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang rakaat tarawih, maka beliau menjawab, “Tentang hal itu ada bermacam-macam, seperti empatpuluh rakaat, shalat itu adalah shalat tathawwu.” Ishaq berkata, “Engkau memilih empat puluh rakaat dengan bacaan yang pendek sedang Al-Hasan bin ash-Shabah az-Za’farani meriwayatkan dari asy-Syafi’i: ‘Saya melihat orang-orang Madinah shalat tarawih dengan tigapuluh sembilan rakaat.’” Kata Imam Ahmad, “Saya lebih suka mengerjakan dua puluh rakaat.” Ishaq berkata, “Begitulah yang dilaksanakan di Makkah.” Imam Ahmad berkata, “Shalat tarawih ini tidak ada batasan rakaatnya, karena shalat ini adalah nafilah, maka apabila memperlama berdiri dan menyedikitkan sujudnya adalah baik, dan inilah yang lebih saya sukai. Dan apabila memperbanyak ruku dan sujud juga baik.”[2]

Penentuan jumlah rakaat yang duapuluh itu tidak mempunyai dalil yang marfu’ selain riwayat dari Abdu bin Humaid dan ath-Thabrani dari Abi Syaibah Ibrahim bin Utsman dari al-Hakam dari Maqsam dari Ibnu Abbas:

كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّى فِى شَهْرِ رَمَضَانَ فِى غَيْرِ جَمَاعَةٍ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ

“Bahwasanya Rasulullah saw. shalat di bulan Ramadhan duapuluh rakaat dengan witir.”

Dalam Subulur Rasyad diterangkan bahwa Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in menganggap lemah Abi Syaibah. Dia bukan orang yang kuat ingatan, dan hadits itu dianggap sebagai hadits yang mungkar.   

Al-Adzra’i berkata dalam Al-Mutawassith, “Hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. shalat tarawih pada malam pertama dan kedua sebanyak duapuluh rakaat adalah mungkar.”

Az-Zarkasyi berkata dalam Al-Khadim, “Anggapan bahwa Rasulullah saw. shalat bersama orang banyak pada malam itu sebanyak duapuluh rakaat adalah tidak benar. Yang benar adalah shalat tanpa ditentukan batasannya. Seperti riwayat dari Jabir bahwa Rasulullah saw. shalat bersama mereka delapan rakaat kemudian berwitir, kemudian mereka menantikan Rasulullah di masjid, tetapi beliau tidak keluar. Hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab-kitab mereka.”

Al-Baihaki juga meriwayatkan hadits Ibnu Abbas dari Abi Syaibah kemudian mengatakan bahwa hadits itu lemah. Adapula beberapa riwayat yang menerangkan bahwa Umar pernah meyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dairy untuk shalat bersama orang banyak dengan duapuluh rakaat. Riwayat yang lain menerangkan bahwa Ali bin Abi Thalib mengimami tarawih dengan duapuluh rakaat dan berwitir dengan tiga rakaat. Hadits mengenai rakaat yang duapuluh ini tidak ada yang marfu’.

Sebaliknya, ada riwayat yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah saw. tidak menambah rakaat di bulan Ramadhan dan pada bulan lainnya. Dari segi ini maka menambah rakaat lebih dari yang dikerjakan Rasulullah adalah bid’ah. Memang, tarawih adalah shalat nafilah dan melaksanakannya dengan berjamaah juga sunnah, dan Ibnu Abbas pernah shalat malam makmum kepada Rasulullah saw. pada suatu shalat malam, tetapi membiasakannya dengan berjamaah serta dengan bilangan yang tertentu itulah yang termasuk bid’ah. Demikian  pula Umar ra. mula-mula mendapatkan orang-orang shalat tarawih terpisah-pisah, ada yang shalat sendirian dan adapula yang berjamaah seperti yang dikerjakan pada masa Rasulullah saw., dan sebaik-baik perkara adalah yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw..[3]

Banyak atau sedikitnya rakaat itu menurut panjang atau pendeknya bacaan, atau menurut lama atau singkatnya berdiri. Rasulullah saw. pernah memanjangkankan berdiri dalam shalat malam (shalatulail). Diterangkan dalam hadits-hadits shahih dari Hudzaifah bahwa Rasulullah saw. membaca surat al-Baqarah, an-Nisaa’ dan Ali Imran. Beliau memanjangkan berdiri dengan memperbanyak bacaan. Dan Ubay bin Ka’ab sewaktu berjamaah tarawih bersama sahabat-sahabatnya tidak dapat berdiri lama maka kemudian ia menambah rakaat sebagai ganti lamanya berdiri, mereka melipatgandakan bilangan rakaat. Semula Ubay mengerjakan sebelas rakaat, sesudah itu nampaknya penduduk Madinah tidak kuat untuk berdiri lama, maka mereka menambah rakaat sampai tigapuluh sembilan yang panjangnya kira-kira sama dengan lamanya shalat sebelas rakaat.

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah yang lebih utama, memperlama berdiri ataukah memperbanyak rakaat. Apakah keduanya sama?

Dalam sebuah hadits shahih terdapat keterangan mengenai shalat yang lebih utama. Para sahabat pernah bertanya: manakah shalat yang paling utama? Rasulullah menjawab, “Thuulul qunuut.” Artinya, memperpanjang atau memperlama diam dalam shalat.

Rasulullah juga bersabda,

 “Sungguh engkau tidak sujud dengan sekali sujud kecuali Allah akan mengangkat derajatmu dan Allah akan menekan dosa-dosamu.”

Rasulullah saw. pernah menawari kepada Rabi’ah bin Ka’ab agar minta sesuatu dari beliau, kemudian Rabi’ah minta didoakan agar dapat menyertai Rasulullah untuk bersama-sama masuk surge. Kemudian Rasulullah menasihati Rabi’ah,

 “Maka tolonglah Aku untuk dirimu dengan memperbanyak sujud.” (HR. Muslim)

Kita mengetahui bahwa sujud itu sendiri lebih utama daripada berdiri, tetapi zikir pada waktu berdiri adalah juga utama yaitu dengan membaca ayat Al-Qur’an.[4]

***

 [1] Hadits riwayat Bukhari.

[2] Muntaqal Akhbar I: 544.

[3] Subulus Salam II: 10-11.

[4] Fatawa Ibnu Taimiyah I: 192.

BACA JUGA:

Rakaat Shalat Tarawih, oleh Syekh Ahmad Surkati al-Anshari

One thought on “Shalat Tarawih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *