Oleh: Al-Ustadz Umar Hubeis (1904-1979)
(Murid Syekh Ahmad Surkati di Madrasah Al-Irsyad Batavia. Lahir di Batavia -Jakarta- kemudian setelah lulus dikirim Syekh Ahmad Surkati untuk memimpin Madrasah Al-Irsyad Surabaya. Beliau meninggal di Surabaya)
Apakah arti “roh” itu, di mana roh itu berada dalam tubuh manusia, dan bagaimana keadaanya sesudah dia keluar dari tubuh manusia? Apakah roh itu sederajat menurut ajaran Islam?
Sebelum datangnya agama Islam, manusia sudah ramai membicarakan dan membahas soal “roh”, baik dari segi keagamaan maupun dari segi falsafah. Filsuf Yunani dalam hal ini memegang peranan terpenting. Pendapat-pendapatnya banyak mempengaruhi para ulama dan para filsuf hingga sekarang ini. Mereka bersepakat bahwa roh itu adalah “zat halus”, berlainan dengan jasmani manusia. Ia didatangkan, tidak datang sendiri, kepada suatu jisim (tubuh) untuk memberi kehidupan. Apabila waktu keluarnya telah tiba, dia kembali pada alamnya. Demikian menurut keterangan Pythagoras, Aristoteles dan Plato, dengan tambahan bahwa roh itu suci dan berkewajiban untuk berupaya agar tetap suci selama berada dalam jasad manusia.
Di antara para penganut agama Brahma ada yang berpendapat bahwa roh itu qidaam (kekal), tidak musnah, dia berpindah-pindah dari manusia yang satu ke manusia yang lain atau kepada makhluk yang lain (tanaasukh = reinkarnasi).
Lalu apakah roh itu sebenarnya? Di mana ia berada dalam jasad manusia? Dari mana datangnya? Kemana kemudian pulangnya? Soal ini hingga sekarang masih diperselisihkan dan belum diperoleh konsensus yang bulat hingga dewasa ini.
Rasulullah saw. ditanya tentang roh itu. Allah swt. memerintahkannya untuk berkata,
قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَا اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا
“Katakanlah, roh itu termasuk urusan Tuhanku, padahal ilmu diberikan padamu hanya sedikit.” (al-Israa’: 85)
Mereka bertanya tentang hakekat roh itu. Allah tidak menerangkan, juga tidak menutup kemungkinan untuk diketahui manusia ketika ilmu manusia telah sempurna. Hanya ayat itu menerangkan bahwa roh itu adalah urusan Tuhan dan termasuk golongan makhluk yang diciptakan dengan cara amr, bukan cara khalq. Cara khalq adalah cara yang biasa dan melalui proses dan tahapan, seperti penciptaan manusia dari tanah, kemudian setetes sperma, lalu menjadi segumpal darah dan kemudian menjadi segumpal daging dengan tulang dan seterusnya (Al-Hajj: 5 dan al-Mu’minuun: 13-14). Rasulullah saw. menerangkan bahwa sesudah kandungan itu berusia empat bulan, barulah roh itu diembuskan pada kandungan itu.
Para ulama Islam merasa boleh dan bebas membahas masalah roh itu. Ada di antaranya yang berpendapat bahwa roh itu adalah jauhar fard (molekul) tunggal diciptakan oleh Allah, bukan dari sesuatu zat atau berasal dari suatu asal. Seperti halnya tubuh manusia, roh diciptakan setiap kali ada penciptaan baru atau diciptakan sejumlah yang cukup banyak di dalam alam tersendiri sebagai makhluk lain. Roh berfungsi menghidupkan zat yang mati.
Allah menamakan wahyunya kepada Nabi Muhammad saw. (Al-Qur’an) itu roh, karena isinya menghidupkan hati yang lengah dan membangkitkan akal yang beku.
وَكَذٰلِكَ اَوْحَيْنَا اِلَيْكَ رُوْحًا مِّنْ اَمْرِنَا
“Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu (Muhammad ) roh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami.” (asy-Syuura: 51)
Rasulullah saw. pernah bersabda,
“Sesungguhnya roh itu berbondong-bondong, di antaranya ada yang sudah berkenalan. Mereka akan tetap rukun. Dan ada yang bertentangan, mereka akan tetap berselisih.” (HR Bukhari dan Muslim)
Abu Sulaiman al-Khattabi berkata, “Hadits ini menerangkan bahwa roh itu diciptakan sebelum manusia diciptakan.”
Imam al-Ghazali menyanggahnya dan berpendapat sebaliknya, dengan dalil hadits Nabi saw. yang menerangkan bahwa roh itu diembuskan ke alam janin ketika berumur lebih kurang 4 bulan. Sedangkan penulis kitab Raudhatul Mukibiin berpendapat bahwa penciptaan roh itu waktunya bersamaan dengan penciptaan manusia.
Tentang tempat roh dalam tubuh manusia ada yang berpendapat bahwa ia bersemayam di bagian dimmagh atau otak, di lubang hati. Ada yang berpendapat kalau ia meresap dalam darah sebagaimana air bunga, minyak dalam zaitun dan dalam biji sawi atau api di sepotong arang. Dia merupakan sumber panas yang ada pada manusia sepanjang hidupnya.
Begitulah beberapa pendapat tentang tempat roh dalam tubuh. Islam menolak pendapat yang menentukan qidam atau baqa-nya karena sifat qidam dan baqa adalah sifat Allah. Dialah yang tidak didahului dengan ‘adam (ketiadaan). Begitu pula sifat baqa. Juga ulama Islam menolak teori tanasukh (reinkarnasi). Tidur, mimpi, dan mati adalah faktor penting yang mempengaruhi jalan pikiran, teori, dan pendapat tentang roh.
Dalam salah satu kuliah saya tentang “Hari Kemudian” saya menerangkan arti mati atau maut dan nasib roh, antara lain sebagai berikut.
“Di balik kehidupan ini, adalah akhir hidup duniawi seseorang tetapi bukan berarti kebinasaan dan fananya. Maut itu adalah sebagai tidur yang nyenyak dan panjang, sedang tidur itu merupakan maut yang pendek.”
Firman Allah,
اَللّٰهُ يَتَوَفَّى الْاَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضٰى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْاُخْرٰى اِلٰى اَجَلٍ مُّسَمًّى
“Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur; maka Dia tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (az-Zumar: 42)
Jelas arti maut itu adalah akhir dari kehidupan di dunia dan permulaan hidup di akhirat. Sebelum manusia diadakan, lebih dahulu ia tidak ada. Sama halnya dengan dia mati, kemudian dihidupkan. Jadi, dia mengalami dua kali mati. Adapun hidup yang kedua kalinya akan terjadi pada Hari Kiamat, hari pembangkitan. Di sana kaum kafir akan berkata,
قَالُوْا رَبَّنَا اَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَاَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوْبِنَا فَهَلْ اِلٰى خُرُوْجٍ مِّنْ سَبِيْلٍ
“Mereka menjawab, ‘Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?’” (QS al-Mu’min: 11)
Corak kehidupan seseorang akan mempengaruhi cara matinya, serta menentukan nasibnya kelak di akhirat serta selama masa penantian. Tentang cara mati ini telah diuraikan sejelasnya dalam jawaban pertanyaan terdahulu.
Kalau roh sudah keluar dari jasad manusia, ia ditempatkan oleh Allah swt. di mana Dia suka. Ada yang di langit, ada yang di surga, ada yang bukan di langit, dan ada yang di neraka. Tetapi belum mengalami ganjaran atau siksaan, karena ini baru akan terjadi sesudah Hari Kiamat.
Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits terdapat penjelasan mengenai hal itu. Roh para nabi ada di dalam a’laa illiyyiin, tempat yang luas penuh kebahagiaan dan yang tertinggi. Roh para mukminin di dalam illiyyiin, tempat luas yang penuh kebahagiaan. Roh para syuhada ditempatkan di suatu tempat di surga, sedang para mukmin yang ‘aashi -yang sering membangkang- ditempatkan di tempat lain sesuai dengan amalnya. Roh para kafir ditempatkan di suatu tempat yang sempit dan sengsara yang dinamakan sijjiin, dan ada yang ditempatkan dalam neraka Jahanam.
D dalam hadits Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah saw. bertemu dengan Nabi Adam di langit pertama. Di sebelah kanannya terlihat roh, begitu pula di sebelah kirinya. Beliau tertawa dan bergembira bila menoleh ke sebelah kanannya, yaitu tempat roh-roh keturunannya yang mukmin. Dan menangis bila menoleh ke sebelah kirinya, tempat roh-roh keturunannya yang kafir.
Tidak ada tempat tertentu dalam alam atau barzakh bagi roh-roh yang sudah keluar dari jasmani manusia. Masing-masing telah ditempatkan kehendak Allah swt. dengan perbedaan derajat dan pangkat.
Oleh karena kasih sayang-Nya, Dia telah membuka pintu rahmat-Nya bagi siapa yang taat pada-Nya dan pada Rasul-Nya.
Firmannya,
وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا
“Dan barangsiapa patuh dan taat kepada Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (an-Nisaa’: 69)*
Sumber: FATAWA USTADZ UMAR HUBEIS; PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah (2013)
One thought on “Roh Manusia”