Oleh: Abdullah Batarfie
Pusat Dokumentasi Sejarah & Kajian (PUSDOK) Al-Irsyad Bogor kembali melakukan kegiatan napak tilas dengan menelusuri jejak keberadaan Al-Irsyad di Ranau, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, pada 7-8 Agustus 2019.
Pembentukan dan peresmian cabang Al-Irsyad pada 1927 di Desa Pagar Dewa, Ranau, pernah tercatat dalam notulen resmi yang ditulis oleh Hoodbestuur Al-Irsyad di Batavia (Jakarta). Berita itu oleh H.Hussein Badjerei kemudian dimuat dalam buku karyanya, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa (1996). Cuma sayang, dalam buku itu tidak tercantum tanggal pembentukan dan nama para pelaku yang terlibat di dalamnya. Hanya saja disebutkan pembukaan cabang Al-Irsyad di Ranau dihadiri dan diresmikan oleh Sekretaris Hoodbestuur Al-Irsyad, Ali Harharah dalam acara yang cukup meriah.
Setelah dilakukan ikhtiar penggalian dan pencarian lebih dalam oleh PUSDOK dari berbagai sumber dan literatur, akhirnya tabir sejarah ini terungkap sedikit lebih gamblang melalui buku Kaum Tuo-Kaum Mudo, hasil studi ilmiah tentang Perubahan Religius di Palembang periode 1821-1942 yang ditulis oleh seorang intelektual berkebangsaan Belanda Jeroen Peeters. Buku itu diterbitkan oleh Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) pada 1997.
Jeroen Peeters mengungkapkan dalam bukunya itu bahwa, kehadiran Al-Irsyad di Ranau telah menjadi tonggak sejarah penting di Palembang sebagai titik tolak tegaknya kesadaran nasional, serta pentingnya umat Islam melepaskan diri dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan menuju kemajuan di segala bidang kehidupan.
Di buku itu dijelaskan, Al-Irsyad di Ranau didirikan oleh H. Ahmad Rivai, alumni Madrasah Al-Irsyad Batavia. Ia kembali ke Ranau kampung halamannya, tepatnya di Desa Pagar Dewa, dengan membawa pemahaman pembaharuan Islam yang ia timba di Madrasah Al-Irsyad Batavia, khususnya dari Syaikh Ahmad Surkati, pendiri Madrasah itu.
Menurut Peeters dalam bukunya itu, pembentukan cabang Al-Irsyad di Ranau bersamaan pula dengan diresmikannya pembukaan lembaga pendidikan (madrasah) yang berada dalam naungan organisasi itu pada tanggal 31 Juli 1927.
Sekalipun kehadiran Al-Irsyad di Pagar Dewa mendapatkan tantangan dan protes keras dari Kaum Tuo, acara peresmian pembukaanya tetap berlangsung sangat meriah dihadiri oleh masyarakat yang bersepahaman dengan Kaum Mudo, juga disaksikan oleh para pejabat pemerintah setempat antaranya adalah demang dan controleur dari Muara Dua. Ali Harharah yang khusus datang dari Batavia sebagai Sekretaris Hoofdbestuur Al-Irsyad membuka acara peresmian dan memberikan orasinya antara lain tentang arah dan tujuan gerakan Al-Irsyad, meliputi dakwah Islam yang sesuai dengan adat istiadat serta kesopanan bermazhabkan kepada Imam Syafi’i.
Ali Harharah adalah alumnus Madrasah Al-Irsyad di Batavia yang menjadi salah satu kader inti pelanjut estafeta kepemimpinan organisasi Al-Irsyad yang dirintis dan didirikan oleh gurunya, Syaikh Ahmad Surkati. Ali Harharah dikenal sebagai seorang penulis yang produktif dan juga orator. Dikalangan kaum pergerakan nasional, ia dijuluki sebagai “spreaker dari gang Kenari”. Ali Harharah ini pula yang ditugasi oleh Syaikh Ahmad Surkati untuk ikut membina anggota Jong Islamieten Bond (JIB).
Di dalam bukunya, Jeroen Peeters menggambarkan protes Kaum Tuo kepada Al-Irsyad dengan memprovokasi masyarakat untuk ikut menentang dengan melakukan aksi mencoret dinding sekolah Al-Irsyad pada waktu malam, di mana esok harinya akan dilangsungkan acara peresmian, dengan kalimat-kalimat: “Ini sekolah wahabi”, “Ini sekolah kaoem Moedo”. Aksi itu sebagai bentuk protes mereka yang ditujukan kepada para Pengurus Al-Irsyad dari kalangan ulama modernis yang telah membawa gerakan modernisasi dan paham Pembaharuan Islam ke tanah Ranau.
Lokasi Sekolah Al-Irsyad
Bersumber dari buku karya Jeroen Peeters itulah tim PUSDOK kemudian menuju lokasi bekas Madrasah Al-Irsyad di Pagar Dewa, Ranau, yang menjadi objek penelusuran atau “napak tilas jejak murid-murid Syaikh Ahmad Surkati”. Tim terdiri dari Abdullah Batarfi, Zeyd Amar, dan Mansyur Alkatiri. Tim ditemani dan dipandu oleh Ridwan Sayuti, Ketua PW Al-Irsyad Al-Islamiyyah Provinsi Lampung.
Dengan menggunakan mobil chevrolet Avio merah tahun 2004 milik Zeyd Amar, Tim Napak Tilas bertolak dari Jakarta pada Selasa, 6 Agustus 2019 pukul 09.30 pagi dan sampai di Bandar Lampung pada pukul 16.30 WIB. Setelah menginap satu malam di ibukota Provinsi Lampung itu, kami menuju ke Ranau pada pukul 07.00 WIB dengan berganti kendaraan mobil Daihatsu Grand Max milik Pimpinan Cabang Al-Irsyad Al-Islamiyyah Bandar Lampung. Ridwan dan Zeyd mengemudikan kendaraan secara bergantian dengan Bapak Zeyd Amar.
Ranau di Sumatera Selatan yang berbatasan dengan Lampung Barat menjadi tujuan utama perjalanan tim napak tilas. Berbekal informasi minim hanya dari dua halaman buku Kaum Tuo-Kaum Mudo karya Jeroen Peeters, Tim Napak Tilas berangkat dari Bandar Lampung sekitar pukul 07.00 WIB menempuh jarak hampir 300 kilometer.
Setelah singgah selama satu jam di kota Liwa, ibukota Kabupaten Lampung Barat yang hijau dan sejuk, sampailah kami di tepian Danau Ranau, di kaki Gunung Seminung, sekitar pukul 16.00. Ini katanya danau terbesar kedua di Indonesia setelah Danau Toba.
Kami pun langsung menuju ke Desa Pagar Dewa, dimana jejak sekolah Al-Irsyad berada. Sesampainya di Pagar Dewa ada aura historis dimana Tim sudah menduga titik lokasi yang dicari. Di lokasi yang berjarak tidak kurang dari 100 meter ditemukan ada dua gedung sekolah tua. Yang pertama dipastikan tidak ada kaitan dengan yang sedang dilacak karena gedung tua itu masih berstatus aktif di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Lokasi kedua menjadi dugaan kuat karena menurut keterangan penduduk setempat, gedung itu dulunya merupakan sekolah yang dikelola oleh aktivis PSII (Partai Syarekat Islam Indonesia). Berdasarkan tulisan Jeroen Peeters, para pengurus Al-Irsyad di Ranau memang hampir semuanya terlibat menjadi aktivis PSII, bahkan gurunya yang bernama H. Zaini sempat ditahan selama tiga tahun oleh Pemerintah kolonial Belanda karena terlibat dalam propaganda PSII pusat yang menentang pemberlakuan pajak yang dipandang menyulitkan para petani kopi dan cengkeh di Ranau.
Warga Pagar Dewa yang berhasil di wawancara dan belakangan diketahui berprofesi sebagai guru pada sekolah negeri di Kecamatan Warkuk itu, kemudian mengantarkan Tim menemui Bapak Thamrin Amlan, orang yang dituakan di Pagar Dewa dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Akmal Alwi, seorang pejuang kemerdekaan yang dihormati dan kisahnya melegenda di masyarakat Ranau.
Tim tiba dikediaman Bapak Thamrin Amlan hampir mendekati pukul 17.00 Wib dan disambut dengan ramah serta penuh kekeluargaan. Tabir keberadaan sekolah Al-Irsyad di Pagar Dewa akhirnya terbuka lebar. Dari keterangannya yang membuat semua Tim terharu, ia menuturkan bahwa almarhumah ibunya yang bernama Murhamah binti Hanan merupakan lulusan sekolah Al-Irsyad Pagar Dewa. Jadi benar, lokasi yang kami duga itu memang benar adanya, yaitu bekas gedung sekolah Al-Irsyad yang pernah berdiri di Desa Pagar Dewa. Pagar Dewa adalah nama sebuah desa yang berada di Kecamatan Warkuk Ranau Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Provinsi Sumatera Selatan.
Rasa lelah setelah menempuh perjalanan sepanjang 280 km dalam waktu delapan jam dari Bandar Lampung segera sirna. Seluruh anggota Tim diliputi perasaan suka cita dan keharuan, jejak yang ditelusuri dan ditemukan semua itu berada di luar dugaan. Dari Bapak Thamrin Amlan ini pula diketahui bahwa Ahmad Rivai, yang disebut di buku Jeroen Peeters sebagai pendiri Madrasah dan Cabang Al-Irsyad di Pagar Dewa, adalah bersaudara dengan Akmal Alwi, pejuang kemerdekaan yang kini namanya diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Ranau. Dari keterangannya pula, Akmal adalah guru ibunya semasa sekolah di Al-Irsyad Pagar Dewa.
Memasuki waktu malam, anggota Tim kemudian memutuskan untuk mencari penginapan. Kami pun menginap di sebuah hotel sederhana di tepian Danau Ranau yang cantik dikelilingi oleh Gunung Seminung dan Bukit Barisan yang terbentang luas. Di tengah udara Ranau yang dingin, malam itu juga sekitar pukul 20.00 WIB, Tim kemudian bertandang menemui Bapak Azeta, salah satu cucu almarhum ustadz Ahmad Rivai, yang sedang dilacak berdasarkan arahan Bapak Thamrin Amlan.
Tim berhasil menemui Bapak Azeta dirumahnya yang khas, rumah panggung adat melayu. Darinya diperoleh keterangan bahwa ia adalah anak dari almarhum Bapak Matriza, putera satu-satunya almarhum ustadz Ahmad Rivai. Sayang sekali, tidak ditemukan dokumentasi apapun darinya, karena rumah peninggalan ustadz Ahmad Rivai yang dihuninya pernah terbakar dan memusnahkan semua peninggalannya.
Azeta menuturkan, Ahmad Rivai sudah wafat di masa Presiden Bung Karno, dan juga istrinya, Zainun. Belakangan baru diketahui bahwa Matriza ayah Azeta adalah pemilik pulau yang terkenal di tengah Danau Ranau, pulau yang oleh orang-orang menyebutnya sebagai pulau Marisa, akibat terkilirnya lidah orang Ranau untuk menyebut nama asli pemilik pulau itu.
Dari keterangan Bapak Azeta pula, makam kakeknya, ustadz Ahmad Rivai tidak dapat dilacak lagi karena makamnya di pekuburan umum Pagar Dewa sudah bertumpuk dengan pemakaman baru sesudahnya. Sedangkan kakak dari kakeknya, yaitu Akmal Alwi, adalah pejuang pemberani telah lebih dulu wafat karena dikubur hidup-hidup oleh penjajah Jepang. Akmal adalah pewakif gedung yang dahulu pernah dipakai sebagai Madrasah Al-Irsyad di Ranau. Di madrasah itu pula Akmal pernah mengajar, sebagaimana juga dituturkan oleh Thamrin Amlan. Untuk menghormati jasanya sebagai pejuang Ranau, Pemerintah setempat kemudian membangun patung Akmal di Simpang Sender.
Dari banyak keterangan warga masyarakat, nama Akmal lebih menonjol karena menjadi ikon perjuangan rakyat Ranau melawan penjajahan, baik terhadap Belanda maupun Jepang. Dari banyak sumber pula, Akmal pernah bersekolah di Batavia. Untuk menelusuri almamater Akmal di Batavia ada dua sumber informasi yang belum sempat tergali oleh tim, yaitu dari Hajjah Kamilah, satu-satunya anak Akmal Alwi yang masih hidup dan kini menetap bersama suaminya di kota Palembang, dan Bapak Umar Said sebagai generasi kedua aktivis PSII di Pagar Dewa. Sayang, Tim tidak berhasil menemuinya karena Umar Said saat itu sedang tidak berada di desanya.
Tim memiliki keyakinan bahwa Akmal Alwi juga menempuh pendidikan yang sama dengan saudaranya, Ahmad Rivai, di Madrasah Al-Irsyad Batavia, mendapatkan didikan langsung dari Syaikh Ahmad Surkati. Ada media online yang menyebutkan bahwa Akmal merupakan lulusan Al-Azhar di Jakarta. Jelas ini keliru karena Perguruan Al-Azhar baru berdiri tahun 1952 di Jakarta. Selain itu, pada paruh pertama tahun 1900-an tidak ada lembaga pendidikan modern bercorak pembaharuan Islam di Batavia selain lembaga pendidikan Al-Irsyad yang berdiri sejak 6 September 1914. Madrasah Al-Irsyad di Batavia pada kurun waktu antara tahun 1915 – 1940, menjadi sekolah pilihan kaum pergerakan dari berbagai daerah di tanah air.
Tim Napak Tilas Melacak Jejak Keberadaan Madrasah Al-Irsyad di Ranau akhirnya membuahkan keyakinan final. Pada esok harinya sebelum kembali pulang, Tim menyempatkan diri kembali ke bekas gedung Madrasah Al-Irsyad di Pagar Dewa. Di dinding bekas gedung sekolah itulah ditemukan fakta sejarah yang tidak dapat terbantahkan, sebuah tulisan yang hampir pudar karena tertutupi oleh cat tembok, di mana tertulis sejarah keberadaan bekas gedung tersebut yang memuat nama Akmal Alwi sebagai perintis kemerdekaan dan keberadaan sekolah Al-Irsyad pada tahun 1926.
Tulisan itu dibuat oleh Yayasan yang dirintis oleh keluarga Besar Akmal Alwi, di antaranya adalah almarhum Drs. H. Kafrawi Rahim, mantan Bupati Lahat (1988-1993). Dari petunjuk pemakai bekas gedung sekolah Al-Irsyad itu pula, Tim diantar menuju rumah panggung yang juga disebut sebagai bekas peninggalan almarhum Akmal Alwi di Pagar Dewa. Di rumah itu dijumpai foto Akmal Alwi dan anggota keluarganya dan merupakan penemuan awal untuk mengungkap lebih dalam lagi akan sosoknya di kelanjutan Napak Tilas berikutnya, terutama pada saksi kunci yang akan ditelusuri dari Ibu Hajjah Kamilah di kota Palembang dan Bapak Umar Said di Pagar Dewa.*