Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Oleh: Syekh Al-Allamah Ahmad Surkati al-Anshari (1874-1943 M)
Tarawih atau melaksanakan shalat pada malam bulan Ramadhan hukumnya adalah sunnah muakkadah (shalat sunnah yang keras dianjurkan untuk menjalankannya). Menurut sabda Nabi saw.,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berdiri shalat pada malam bulan Ramadhan karena iman dan keikhlasannya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Shalat tarawih ini lazim juga disebut “shalat witir” , sebab ia diakhiri dengan satu rakaat. Shalat ini adalah shalat tathawwu (shalat yang sering dilakukan sendiri), diselenggarakan di antara isya dan subuh. Hanya saja shalat tersebut sangat diutamakan pada bulan Ramadhan.
Yang menjadikan sebab sehingga shalat itu diberi nama berlainan adalah tergantung pada keadaan dan waktu pelaksanaannya. Mendirikan shalat tersebut pada awal malam di bulan ramadhan maka disebut “Tarawih”. Apabila dilaksanakan pada akhir malam dinamakan “Tahajjud”, tanpa melihat bulan apapun. Shalat di akhir malam lebih afdhal dari pada dilaksanakan di permulaan malam dan pahalanya pun akan lebih banyak. Firman Allah,
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (al-Israa’: 79)
Menanggapi shalat ini Sayyidina Umar mengatakan, “Akan lebih afdhal jikalau kamu dirikan shalat itu di waktu ketika biasanya kamu sudah tidur.”
Shalat tarawih yang diakhiri dengan satu rakaat, dinamakan shalat witir. Demikian juga dengan shalat malam yang diakhiri dengan satu rakaat.
Karena perbedaan arti pada shalat-shalat tersebut sangat samar, maka banyak ulama yang menjadi bingung dan tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya. Para ulama yang dalam hal sejalan fikirannya dengan kita akan menyatakan fikirannya itu dengan terus terang. Namun senantiasa mereka nyatakan juga kesangsian akan kebenaran akan kesimpulnnya itu. Di antara ulama-ulama itu terdapat juga nama Imam Ghazali yang dalam kitabnya Al-Wajiz menyatakan fikirannya sebagai berikut:
“Yang dapat dipahami dengan mudah ialah, shalat witir itu diartikan dengan akhir shalat tahajud yang dilaksanakan pada malam hari.”
Namun di lain bagian ia menyatakan pula, “Bisa jadi shalat witir dan shalat tahajud itu pada hakikatnya sama saja.” Katanya lagi, “Shalat tarawih lebih afdhal dilakukan berjamaah dari pada sendiri, karena Sayyidina Umar selalu berbuat demikian. Tapi, ada juga yang mengatakan lebih baik dilakukan seorang diri daripada berjamaah, karena dengan melakukan seorang diri akan selamat dari sifat riya (karena ingin dipuji orang, bukan karena Allah).”
Menurut hemat kami, shalat tarawih lebih baik dilakukan dengan berjamaah sebagaimana telah dilakukan oleh Sayyidina Muhammad saw. yang diikuti oleh Sayyidina Umar. Nabi Muhammad-lah yang seharusnya dipandang sebagai sunnah yang melakukan shalat malam dengan berjamaah. Tetapi beliau tidak melakukannya secara terus menerus lantaran dikhawatirkan nantinya akan difardukan (diwajibkan) atas kaum muslimin. Berhubung pada masa kini wahyu sudah tidak akan turun lagi dan Nabi Muhammad saw. telah wafat, jadi kekhawatiran itu sudah tidak beralasan lagi. Maka, Sayyidina Umar dapat teladani untuk melakukan shalat tarawih berjamaah dengan pahala yang lebih besar sebagaimana dianjurkan Rasulullah saw. dan berlaku hingga masa kini. Adapun pendapat yang menyatakan lebih baik melakukannya seorang diri sudah tidak dapat dijadikan pegangan lagi.
Maka, kebijakan Sayyidina Umar yang telah mengumpulkan orang untuk melaksanakan suatu peribadatan yang dipandang sebagai sunnah Nabi, dan para sahabat memahami duduk permasalahan kebijakan itu secara proporsional, karenanya tidak satu pun ada yang membantah kebijakan Sayyidina Umar tersebut. Pernyataan beberapa ulama yang menyatakan bahwa shalat tarawih mula-mula atas prakarsa Sayyidina Umar merupakan pernyataan yang tanpa melalui pemeriksaan yang lebih mendalam.
Tentang jumlah rakaat, tidak terdapat nash tegas yang menyatakan hal ini. Walau Rasulullah saw. sangat keras menganjurkan agar orang gemar melaksanakan shalat pada malam hari, terutama sekali pada malam bulan Ramadhan, namun beliau tidak menentukan jumlah rakaatnya. Beliau membolehkan masing-masing menentukan jumlah bagi dirinya sendiri.
Oleh karenanya, para sahabat Rasul Allah melaksanakan shalat sesukanya pada bagian malam yang mana saja. Hal ini nampaknya dapat diterima baik oleh Allah, sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka dia memberi keringanan kepadamu, Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.” (Al-Muzzammil: 20)
Lantaran itu, di antara mereka ada yang melakukan shalat dengan dua puluh rakaat, tiap-tiap dua rakaat dengan satu salam dan berwitir tiga rakaat dengan satu atau dua salam. Ada pula yang melakukan shalat dengan tiga puluh enam rakaat dengan witir tiga rakaat, dan ada juga yang melaksanakan lebih dari itu atau bahkan kurang dari itu, menurut kehendak hatinya.
Di tempat Ubai bin Kaab di Madinah, Sayyidina Umar shalat dua puluh tiga rakaat dengan berjamaah. Pada zaman Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dan Abban Usman (bin Affan) di Madinah, orang telah melaksanakan shalat berjamaah dengan tiga puluh enam rakaat yang kemudian disertai dengan witir tiga rakaat. Hal ini ditiru pula oleh imam-imam. Dari Imam Malik menurut salah satu kutipannya, demikian juga Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Daud memilih melakukan shalat dengan dua puluh rakaat dengan witir tiga rakaat. Menurut riwayat yang dikutip dari Imam Malik dalam salah satu rawinya, ia memilih yang tiga puluh enam rakaat serta dengan witir tiga rakaat.
Banyak pula ulama yang merasa cukup dengan memilih bilangan jumlah rakaat sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu sebelas rakaat dengan witirnya, atau tiga belas rakaat apabila dengan dua rakaat fajar atau tiga belas rakaat shalat tarawihnya saja dengan tidak dihitung dua rakaat fajar. Inilah yang lebih utama.
Bagi mereka yang hendak melebihkan, lebih baik dilebihkan dalam bacaan dan ruku yang lama serta sujud dan zikir sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. Firman Allah,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)
Menurut perintah di atas, memang amalan yang amat sempurna yang disukai Allah yaitu mengikuti Rasulullah saw.
Demikian pendapat kami, sebab sikap seperti di atas sedikit pun tidak mengandung keraguan lagi, walaupun dibolehkan untuk melebihkan dan tidak ada larangannya.
Dalam kitab Al-Wajiz, Imam Ghazali menyatakan sebagai berikut:
“Tentang witir (tarawih?), hukumnya adalah sunnah dan bilangannya mulai dari satu sampai sebelas rakaat termasuk witirnya. Adapun rakaat yang lebih dari itu, belum mendapat kepastian karena merupakan nukilan orang yang bukan bersumber dari Rasullah saw.”
Dalam Shahihain (kitab hadits Bukhari dan Muslim), terdapat satu riwayat dari Sayyidatina Aisyah yang menjelaskan sebagai berikut:
“Rasulullah sama sekali tidak pernah melebihi dari sebelas rakaat, baik dalam bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain.”
Dalam Shahihain dijelaskan pula:
“Shalat Rasulullah dahulu adalah tiga belas rakaat dengan witir lima rakaat dengan tidak duduk melainkan pada akhir rakaat.” Dua rakaat yang merupakan kelebihan dari sebelas tersebut adalah shalat fajar, sebagaimana disebut dalam kitab Shahih Muslim.
Qasim bin Muhammad, yang dikutip dari kitab Shahihain, mengatakan, “Kami mendengar Aisyah berkata, ‘Shalatnya Rasulullah saw. pada malam hari berjumlah sepuluh rakaat dan ditutup witir dengan satu sujud serta berukuk pula dua rakaat fajar. Sehingga jumlah semuanya itu tiga belas rakaat.’”
Di kitab yang sama tercatat pula pernyataan singkat Ibnu Abbas yang maksudnya hampir sama dengan pernyataan Qasim, ditafsirkan oleh Syaabi dan Kuraib keterangannya sebagai berikut: “Dinukil dari Rasulullah saw. berkenaan dengan shalat malam hari, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, berjumlah sebelas rakaat atau tiga belas rakaat dengan shalat fajar dua rakaat. Sebagian orang menyatakan tiga belas rakaat tanpa dengan dua rakaat fajar.”
Yang demikian itu menunjukkan batas yang diperintahkan dalam shalat tahajud, mengikutinya adalah suatu perbuatan yang paling baik, menurut firman Allah:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang Telah Taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” (Huud: 112)
Firman-Nya pula,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali ‘Imran: 31)
Itu pun apabila shalat tersebut dilaksanakan dengan khusyu, tumakninah, tartil serta bertafakur kepada Allah.
Adapun orang yang melaksanakan shalat dengan tidak konsentrasi penuh dan hanya dengan suara nyaring seperti ayam berkokok, dan berteriak bagaikan orang gila yang hanya membuat pusing, walau rakaatnya berbilang banyak namun tidak memiliki nilai apa-apa. Sebab shalat yang demikian ini sebagaimana shalat yang diceritakan Allah dalam firman-Nya,
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً
“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (al-Anfaal: 35)
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ، الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ، الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ ، وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (al-Maa-’uun: 4-7)
Meskipun orang yang tidak melaksanakan shalat sunnah tidak disiksa, namun melaksanakan shalat tesebut dengan bermain-main akan mendapat siksa pula.
Kesimpulannya, shalat tarawih itu sunnah muakkadah, adapun rakaatnya tidak ditentukan jumlahnya. Hanya saja kalau mengutip dari Rasulullah saw. jumlahnya sebelas rakaat atau tiga belas rakaat dengan dua rakaat shalat fajar. Melaksanakan shalat itu dengan berjamah akan lebih baik, ini pun kalau dilaksanakan tidak dengan riya atau dengan cara-cara yang keji yang sudah menjadi adat kebiasaan seperti berteriak-teriak. Yang memulai sunnah shalat tarawih dengan berjamaah ialah Raulullah saw. sendiri, bukan Sayyidina Umar. Rasulullah tidak melanjutkan shalat tarawih secara berjamaah karena khawatir kalau shalat tarawih itu kemudian menjadi ibadat yang diwajibkan bagi kaum muslimin, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits.
Demikian penjelasan sesuai dengan pengetahuan kami. Wallahu’alam.* (ZA)
Sumber: Majalah Azzakhiratul Islamiyyah, Tahun ke-1, No. 2, Safar 1342 H
nice website, sucess..