AHMAD SURKATI, Pejuang Sejati
Oleh: Mansyur Alkatiri
Ahmad Surkati sangat membenci penjajahan dan tidak mau umat Islam Indonesia diperbudak oleh orang-orang Belanda serta berupaya mengubah kondisi itu dengan menanamkan kesadaran pada segenap umat akan bahayanya penjajahan. Sikap anti penjajahan itu diperlihatkan dengan memperjuangkan persamaan derajat sesama manusia (Al-Musawa). Menurut Ahmad Soerkati, ”Mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah.” (Darmansyah, dkk. 2006, hal. 10-11).
Dalam sebuah ceramah terbuka di Surabaya pada 29 Desember 1928, yang dihadiri sekitar 700 warga Al-Irsyad dan umat Islam Surabaya, Syekh Ahmad Surkati menekankan pentingnya ilmu dipegang oleh orang-orang yang berani. Ia menyatakan, “Ilmu bagi manusia sama halnya seperti sebilah pedang, tak bisa memberi manfaat kecuali bila pedang itu ada di tangan orang yang berani mempergunakannya. Sebilah pedang dipegang oleh seorang penakut terhadap musuhnya, berarti senjata makan tuan”. Apa yang diucapkan Surkati itu di tengah maraknya gerakan kebangsaan Indonesia saat itu serta kondisi rakyat Indonesia sebagai rakyat jajahan, dapat kita tangkap sebagai sebuah pelajaran berharga bagi para hadirin.
Kepada para pemuda Jong Islamieten Bond, Surkati juga keras tegas mengajarkan keyakinan Qur’ani bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan merdeka. Belanda bukan hanya menjajah fisik namun juga menindas harkat dan jiwa bangsa Indonesia. Surkati juga memberi kesempatan kepada pemuda-pemuda pergerakan nasional itu untuk menggunakan fasilitas pendidikan Al-Irsyad. Mereka pun secara berkala mengikuti ceramah dan kursus agama yang diadakan di gedung Al-Irsyad.
Syekh Ahmad Surkati juga senantiasa menekankan pada para murid sekolah Al-Irsyad untuk memiliki jiwa yang merdeka, bukan jiwa yang rendah. Karena hanya dengan jiwa yang besar dan merdeka maka bangsa ini bisa tumbuh menjadi bangsa yang kuat dan melawan penjajahan asing. Salah satu murid kesayangan Syekh Surkati, Abdul Halim asal Lampung menuturkan apa yang disampaikan Syekh Ahmad Surkati di kelasnya di tahun 1924:
“Jika kalian sudah tamat dari sekolah Al-Irsyad ini, berkeinginan untuk menjadi pegawai pada salah satu kantor Pemerintah Hindia Belanda, maka bukanlah di sekolah ini kalian belajar. Jika benar keinginan kalian untuk menjadi pegawai Pemerintah, maka saya nasihatkan pada kalian supaya kalian benahi koper-koper kalian dan kembalilah ke tempat asal kalian masing-masing.
Al-Irsyad tidak membuka Inlandse Scholen (Sekolah Rakyat), tidak membuka HIS, MULO, AMS sampai kepada Hogere Scholen (Sekolah-sekolah Tinggi) yang sudah ada seperti sekarang ini. Sekolah-sekolah seperti itu telah dibuka oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk dijadikan batu loncatan bagi kalian untuk menjadi pegawai Pemerintah yang menjajah bangsa dan tanah air kalian. Mengapa kalian tidak sadar?
Sekolah-sekolah yang dibuka oleh Pemerintah Hindia Belanda itulah yang telah menanamkan jiwa kecil kepada anak-anak pribumi, sehingga apabila kalian berhadapan muka dengan mereka itu, kalian sudah lebih dahulu mengaku kalah sebelum bertempur. Jiwa kalian sudah mati sebelum mati yang hakiki.”
Penentangan Ahmad Surkati terhadap penjajahan Belanda sangat jelas. Dukungan beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia juga sangat jelas. Menariknya lagi, meski Ahmad Surkati merupakan bagian dari kelompok Islam dan bahkan simpul gerakan Pan-Islam di Indonesia, beliau tidak membeda-bedakan kelompok dan ideologi para pejuang. Ketika banyak pejuang kemerdekaan dibuang Belanda ke Tanah Merah, Digul, Ahmad Surkati mengumpulkan bantuan dari banyak warga Al-Irsyad untuk menyantuni keluarga mereka. Data-data keluarga mereka itu diperoleh dari sahabatnya, Marco Kartodikromo, seorang wartawan dan pejuang besar yang ikut ditahan di Digul pada Juni 1927. Meski dalam keadaan ditahan, Marco tetap bisa mengirimkan tulisan ke beberapa surat kabar dan mengirim surat ke sahabat-sahabatnya.
Al-Irsyad berperan aktif dalam setiap Kongres Al-Islam, dari Kongres Al-Islam I di Cirebon 1922 sampai Kongres Al-Islam ke-12 di Solo 5-8 Juli 1941, yang juga merupakan Kongres MIAI ke-II. Al-Irsyad diwakili oleh Said Marzuq dan Ustadz Hadi Addaba’. Ustadz Hadi Addaba’ ini kemudian pada pada tahun 1948 gugur sebagai korban pembunuhan kejam Partai Komunis Indonesia (PKI) ketika PKI melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1948 di Madiun. Mayatnya dikubur di sebuah sumur bersama puluhan kyai dan santri.
Al-Irsyad dulu juga aktif dalam pembentuan MIAI (Majlis Islam ‘A’laa Indonesia), Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI) dan Amal Muslimin. Bahkan Syekh Ahmad Surkati duduk di Dewan Penasihat dan Umar Hubeis di Sekretaris II MIAI.
Ahmad Surkati juga dikenal sebagai tokoh umat yang mengedepankan ukhuwah Islamiyyah. Ia menghormati tokoh-tokoh Islam yang berbeda paham dan pendapat dengannya, dan tetap mengedepankan kesantunan sebagai modal menjalin ukhuwah. Maka ia pun menyeponsori pelaksanaan forum diskusi di Surabaya pada tahun 1929, yang melibatkan para ulama tradisional dan para ulama reformis. Forum ini bertujuan untuk menjalin hubungan yang baik antara dua kelompok itu.
Di forum itu Syeikh Ahmad Surkati bertemu dengan KH Hasyim Asy’ari, seorang kyai besar dari Pesantren Tebu Ireng, Jombang, kyai yang paling dihormati saat itu oleh kalangan Muslim tradisional, dan juga pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Setelah pertemuan itu Syekh Surkati melemparkan pujian kepada Kyai Hasyim, “Saya baru pertama kali bertemu dengan beliau (Kiai Hasyim Asy’ari) dalam satu jamuan. Melihat bawaan badannya, saya tertarik. Beliau seorang ulama yang zahid. Dan dari tulisan-tulisannya, kelihatan pemahamannya dalam mazhab Syafi’i amat dalam dan luas.”
Tidaklah sukar untuk meraba apa sebenarnya yang menjadi sasaran Al-Irsyad dengan melibatkan diri secara aktif dalam setiap kegiatan umat dan perhimpunan Islam Indonesia, khususnya tingkat nasional, bila dilihat dari konteks Al-Irsyad sebagai organisasi pembaharu. Salah satu cirri organisasi pembaharu Islam ialah bahwa tujuan akhirnya adalah menciptakan tatanam masyarakat yang islami. Dalam kegiatan bersama ini, Al-Irsyad ada di barisan paling depan dalam menampilkan sikap taat kepada imamah. Sikap inilah yang dicatat dalam sejarah pergerakan Islam di Indonesia, bahwa Al-Irsyad sepanjang sejarahnya terbukti tidak pernah terlibat, apalagi terjerembab, dalam lingkaran maupun jebakan persaingan struktur kepentingan, –apakah itu namanya kursi, kelas ekonomi, kelas sosial, apalagi yang namanya kepentingan minoritas dan kesukuan.
Tokoh penting pergerakan nasional yang agak terlambat membuka dialog dengan Ahmad Surkati adalah Ir. Soekarno, yang di tahun 1945 menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Bung Karno baru bertemu Surkati di saat kedua belah mata Surkati telah buta di tahun 1940. Bung Karno menyatakan penyesalannya karena pertemuan-pertemuan mereka berlangsung pada saat kedua mata Surkati sudah tidak bisa melihat lagi. Bung Karno mengetahui intelektualitas dan ketokohan Ahmad Surkati dari A. Hassan, ulama tokoh Persatuan Islam (Persis) yang berkorespondensi dengannya saat Soekarno berada dalam pengasingan di Ende.
Menurut Ridwan Saidi, Bung Karno mendekat kepada Ahmad Surkati karena tahu bahwa Surkati adalah simpul jaringan gerakan Pan-Islamisme dunia. “Bung Karno bolak-balik menemui Surkati karena tahu bahwa Surkati adalah network (jaringan) Pan-Islamisme. Bung Karno minta dukungan pada Surkati agar Dunia Arab mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Kepada siapa lagi Bung Karno minta dukungan kalau tidak ke Dunia Arab dan Islam?” kata Ridwan Saidi saat ditemui di rumah tinggal Syekh Ahmad Surkati beberapa waktu lalu.
Syaikh Ahmad Surkati Al-Anshari wafat di kediamannya, Jalan KH Hasyim Asy’ari No. 25 Jakarta sekarang ini, yang pernah dipergunakan sebagai kantor Al-Irsyad tingkat nasional, pada hari Kamis tanggal 16 September 1943 pukul 09.00 WIB. Ia dimakamkan di pemakaman Karet Tanah Abang Jakarta, yang sekarang tepatnya sudah menjadi lapangan parkir Perguruan Said Na’um. Ketika jenazah diusung menuju tempat pemakaman, ikut mengantar berjalan kaki Bung Karno serta para pemimpin Islam lainnya.
Di upacara pemakaman itu, Wondoamiseno, tokoh Syarekat Islam dan ketua MIAI berbicara atas nama umat Islam Indonesia, melepas kepergian seorang ulama besar, tokoh pembaharuan Islam Indonesia. Bung Karno sebetulnya ingin ikut memberi sambutan, tapi tidak mendapat kesempatan.
Semoga Allah memberi maghfirah, rahmat dan pahala yang besar pada guru kita, Syekh Ahmad Surkati, atas amal-amalnya dalam menegakkan dakwah Islam semasa hidup.*
(Dari buku: BAKTI SURKATI DAN AL-IRSYAD UNTUK BANGSA, oleh Mansyur Alkatiri, hal. 9-11)
1 COMMENTS