Oleh: Al-Ustadz Umar Hubeis (1904-1979)
(Murid Syekh Ahmad Surkati di Madrasah Al-Irsyad Batavia. Lahir di Batavia (Jakarta) kemudian setelah lulus dikirim Syekh Ahmad Surkati untuk memimpin Madrasah Al-Irsyad Surabaya. Beliau meninggal di Surabaya).
Pemberian dan karunia Tuhan banyak sekali, tidak dapat dihitung. Manusia dari permulaannya sampai akhir hidupnya di atas bumi, memerlukan ibu dan ayah yang mengasuhnya dengan kasih sayang, udara, air, makanan, cahaya dan segala apa yang ada di atas bumi atau di dalamnya, dan apa yang ada di langit atau kolongnya, itu sudah disediakan juga sudah dilunakkan baginya oleh Allah swt. Perhatikan berapa banyak jenis nikmat itu?
Manusia sebagai makhluk sosial sudah diberikan gharizah dan akal, lalu diberikan tuntunan dengan perantara ilham dan perantara nabi-nabi serta rasul-rasul yang menertibkan hidupnya dan masyarakatnya, juga menjamin kebahagiaannya kelak pada hari akhirat, jika dia menggunakan gharizah nya, perasaannya dan akalnya sesuai dengan ajaran-ajaran yang mulia itu.
Nikmat menurut pandangan umum manusia adalah pemberian, keistimewaan yang lezat, yang menggembirakan atau yang memberikan kemegahan, seperti kekayaan, ilmu, kesehatan, kedudukan, kekuasaan, dan sebagainya. Sedangkan nikmat yang sebenarnya adalah wujud manusia itu dengan segala macam perlengkapan bagi jasmaninya, mental dan spiritualnya.
Sifat jemu dan ananiah seringkali melupakan nikmat itu, terutama bila nikmat itu tidak lagi merupakan keistimewaan baginya, karena banyaknya saingan dan banyaknya orang yang setaraf dangan dia, meskipun keadaannya masih berlebih dibandingkan keadaan manusia lainnya.
Allah swt berfirman,
وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلً
“Kami telah lebihkan mereka (dalam hal kemuliaan dan kenikmatan) dari kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.” (al-Israa’: 70)
Firman-Nya pula,
اِنَّ اللّٰهَ لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُوْنَ
“Sesungguhnya Allah memberikan karunia pada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur (berterima kasih).” (al-Baqarah : 243)
Rasulullah saw memberi sebuah resep bagi tiap-tiap orang agar dia tetap merasakan nikmat dan mensyukuri pemberian-Nya sambil mencari kelebihan dan tambahan. Beliau bersabda,
“Barangsiapa memandang siapa-siapa yang di bawahnya dalam hal keduniaan, dan memandang siapa-siapa yang di atasya dalam hal keagamaan (takwa), niscaya Allah menganggapnya seorang yang sabar dan bersyukur. Dan barangsiapa melihat dan memandang yang di atasnya dalam hal keduniaan dan di bawahnya dalam hal taqwa, niscaya Allah menganggapnya seorang yang tidak sabar dan tidak bersyukur” (HR Tirmidzi)
Maksudnya, hendaklah orang menilai duniawinya dengan memperbandingkan duniawi orang lain yang lebih rendah darinya agar dia merasakan kelebihannya, lalu dia bersyukur. Dan sebaliknya, dalam hal kebaikan dan takwa agar dia sadar akan kekuranggannya dan berusaha untuk menyempurnakan sikap dan taqwanya.
Seorang penyair menyimpulkan uraian di atas dengan dua bait sambil menegaskan bahwa kebahagiaan hidup itu terletak pada sikap demikian. Dia bersajak,
“Barangsiapa yang hendak merasakan ketenangan hidup, untuk agama dan dunianya, maka hendaklah ia melihat ke atas dalam wara’-nya, dan hendaklah pula ia melihat ke bawah dalam hal harta.”
Abu Hamid al-Ghazali menulis dalam kitabnya Al-Ihyaa antara lain sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa nikmat-nikmat yang banyak itu terbagai atas dua bagian.
- Nikmat yang diminta semata-mata zatnya, bukan selainnya, yaitu keridhaan ilahi dan kebahagiaan ukhrawi.
- Nikmat yang diminta karena menyampaikan kepada tujuan khusus tertentu. Bagi seorang kafir adalah kesenangan dan kemewahan hidup duniawi, sedang bagi seorang mukmin adalah kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi yaitu kebahagiaan abadi yang tak terhingga, kesenangan murni yang tak tercampur dengan kesedihan dan duka, ilmul yakin yang tak dihinggapi kealpaan, kejayaan, dan kekayaan yang tak diakhiri kepapaan atau kesengsaraan. Inilah nikmat hakiki atau yang sebenarnya. Sedang selainnya adalah nikmat kiasan (majazi).”
Rasulullah saw bersabda,
“Tidak ada kehidupan (yang sempurna) melainkan kehidupan pada hari akhirat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Maka nikmat-nikmat yang lain adalah perantara yang menyampaikan kepada tujuan akhir. Ada nikmat yang berupa keimanan dan keluhuran akhlak yang menjiwai mental dan mengendalikan syahwat dan sifat marah di luar batas kesopanan dan kebijaksanaan yang ditentukan agama atau akal sehat.
Barangsiapa mengebiri dirinya agar melenyapkan syahwat menikah atau melenyapkan nafsu makan hingga menjadi lemah, tidak mampu beramal, beribadah, berzikir dan berpikir atau sebaliknya dia berlebih-lebihan memuaskan syahwat perutnya dan farjinya hingga dia melanggar hukum, maka orang yang demikian ini adalah orang yang zalim dan menganiaya dirinya sendiri. Begitu pula orang yang sering marah atau yang tidak kenal marah walaupun agamanya diinjak-injak atau dia diperkosa dan dihina, maka orang yang demikian ini adalah orang yang sudah menyelewengkan hukum Tuhan dan tidak mensyukuri nikmat-Nya,
Jadi, tiap gharizah atau pemberian sifatnya relatif, baik dan bermanfaat bila dipergunakan sesuai dengan kehendak Tuhan pemberi semua, dan buruk serta berbahaya bila diselewengkan dari kehendak dan ajaran-Nya.
Harta kekayaan kalau dibekukan dan ditumpuk-tumpuk saja akan hilang manfaatnya dan menjadi berbahaya, mengakibatkan terhambatnya kemakmuran dan mengganggu kelancaran ekonomi. Juga bisa menyuburkan komunisme dan kedengkian terhadap pemiliknya. Begitu juga bila harta itu dihambur-hamburkan (ditabzirkan).
Allah swt. berfirman,
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih. (Ingatlah) Pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (at-Taubah: 34-35)
“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.” (al-Isra’:30)
Maksudnya, janganlah engkau menjadi kikir atau bakhil, juga janganlah engkau menjadi boros atau mubazir, agar tidak dicela dan dimusuhi dan agar tidak menyesal bila sudah bersaudara dengan setan yang akan membawa engkau kepada kemelaratan.
Harta itu berfungsi sosial, baik untuk pemiliknya maupun untuk keluarga, agama, bangsa dan tanah airnya. Apabila harta itu dipergunakan sebagaimana fungsinya, ia akan membawa berkah, kesejahteraan bersama. Allah swt. berfirman pada surah al-Qashash ayat 77,
“Dan carilah dengan karunia yang diberi Allah kepadamu, kebahagiaan di akhirat, tetapi janganlah engkau lupakan nasibmu dari kebahagiaan hidup duniawi, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dan firman-Nya pula dalam surah al-Baqarah ayat 262,
“Orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang mereka infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka itu akan memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidah bersedih hati.”
Ilmu, hikmat adalah laksana cahaya, untuk ahlinya dan untuk umat manusia. Maka bagi para ulama wajib menyiarkannya serta melayani pertanyaan orang-orang yang membutuhkan keterangan.
Akan tetapi, sebagian ahli bid’ah dan khufarat yang menghendaki tetap berlangsungnya kebodohan di kalangan pengikut mereka, menuduh para ulama yang membongkar bid’ah itu sebagai “ pemecah-belah persatuan” dan sebagainya. Persatuan atas dasar kesesatan dan kebodohan adalah persatuan yang berbahaya dan tidak sehat. Perpecahan yang timbul karena datangnya kebenaran adalah wajar dan sesuai dengan sunnatullah. Pada tiap kali datang seorang rasul atau seorang Muslim, mereka yang menolak kebenaran dan enggan meninggalkan adat istiadat leluhurnya kendati sesat, mereka itulah yang berdosa.
Bacalah ayat 14 surah asy-Syura, ayat 4 surah al-Bayyinah, dan ayat 213 surah al-Baqarah. Pada ayat-ayat tersebut Allah swt. menerangkan sesungguhnya perselisihan dan perpecahan hanya terjadi sesudah datangnya kebenaran yang nyata akibat kefanatikan dan kedengkian antara mereka.
Kekuasaan adalah nikmat yang terbesar dan terberat. Orang yang berkuasa harus menegakkan keadilan dan kebenaran, memelihara dan menjamin hak-hak rakyatnya, mengutamakan kepentingan mereka sebelum kepentingannya dan kepentingan keluarganya. Umar ibnul-Khattab, khalifah ke-2, memberi definisi penguasa sebagai berikut: “Penguasa adalah hamba dari rakyatnya yang melakukan kewajiban dengan jujur dan tekun, meski bergelar Paduka Tuan.”
Penguasa yang korup atau mempergunakan jabatan seenaknya, menganggapnya sebagai kesempatan emas untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya, memberi kepuasan tak terhingga kepada hawa nafsunya dan hawa nafsu keluarganya, dinamakan oleh Rasulullah saw sebagai “ra’issu” penggembala yang jahat yang memakan daging dan meminum susu dombanya, tanpa peduli nasibnya. Allah swt. akan memberinya balasan yang setimpal kelak.
Pernah Rasulullah saw. mengangkat seorang pejabat, lalu dia menyerahkan sejumlah uang untuk negara dan menahan sebagian sambil berkata, “ini adalah milikku yang aku terima sebagai hadiah dari beberapa orang pemberi”.
Maka dijawab oleh Rasulullah saw, “Seandainya engkau bukan pejabat, apakah ada orang yang memberimu hadiah itu kepadamu? Wahai para Muslim, janganlah salah seorang dari kamu menganggap bahwa waktu dia berkuasa maka sesuatu pemberian itu untuk pribadinya, kecuali gaji yang sudah ditentukan.”
Oleh karena itu, Khalifah Umar menindak para pejabat yang menjadi kaya karena jabatannya sambil bertanya, “Dari mana kau peroleh harta ini?”
Pernah istrinya mengirim hadiah kepada seorang raja dengan perantara seorang duta. Kemudian sang raja membalas hadiah itu. Beliau tidak membenarkan amal si istri, karena menggunakan tenaga dan pengaruh sebagai pejabat negara.
Para penguasa jika dibiarkan tanpa pengawasan, tentu bukanlah kemakmuran yang akan dijelmakan untuk rakyatnya, melainkan kemelaratan dan kesengsaraan jualah yang akan disumbangkan kepada segenap rakyatnya. Begitulah akibat tiap nikmat yang disalahgunakan, akan berbalik menjadi bahaya dan penderitaan.
Adapun arti syukur adalah pengakuan atas suatu nikmat yang diberikan oleh Allah swt dengan perasaan terima kasih dan khidmat. Syukur itu terbagi dua bagian.
1. Syukur qauli, diucapkan secara lisan dengan kalimat “alhamduillah” dan sebagainya.
Rasulullah saw bersabda,
“Barang siapa yang mengucapkan Subhanallah baginya ganjaran sepuluh hasanah (amal saleh) dan barang siapa yang mengucapkan Laailaaha illallaah baginya ganjaran dua puluh hasanah dan barang siapa yang mengucapkan Alhamdulillah baginya ganjaran tiga puluh hasanah.”
Janganlah dikira bahwa ganjaran tersebut dicapai orang asal menyebut kalimat- kalimat itu dengan lisan tanpa keyakinan. Kalimat “Subhanalllah” mensucikan dan mengagungkan Tuhan dan “Laailaaha illallaah” adalah kalimat tauhid yang mengesakan Tuhan, sedangkan kalimat “Alhamdulillah” adalah pengakuan bahwa segala nikmat dari Allah swt dan segala pujian bagiinya harus ditunjukkan kepada-Nya. Sering terjadi di kalangan orang awam yang memberi pujian kepada orang yang dianggapnya saleh atau wali keramat, bukan sekedar berterima kasih kerena telah mendoakannya, malainkan dengan pujaan seolah-olah nikmat itu darinya, bukan dari Tuhan.
Seorang awam berobat pada seorang dokter, lalu dia sembuh dari penyakitnya. Dia bayar biayanya dan berterima kasih tanpa kepercayaan apa-apa. Tetapi kalau dokter itu seseorang yang dianggapnya karamat, dia akan menambahnya dengan kepercayaan bahwa ia memiliki kekuasaan ghaibi, menguasai kesehatan, kekayaan dan sebagainya. Bila orang sudah sampai ke tingkat kepercayaan seperti ini, ia tergolong musyrik.
2. Dan syukur ‘amali, yaitu dengan menggunakan tiap nikmat sesuai fungsinya yang sudah diterangkan oleh Tuhan sebagai pemberinya perantara rasul-rasul-Nya. Digunakan untuk kebaikan, guna mencapai keridhaan-Nya dan menjauhi kemurkaan-Nya. Maka, apabila kita bersyukur, tentulah akan ditambah karunia itu bagi kita. Demikian janji Allah swt sedang Dia tidak mengingkari janji-Nya.
Dia berfirman dalam surar Ibrahim ayat 7,
“Dan ingatlah tatkala Tuhan kamu menetapkan: Jika kamu bersyukur niscaya akan kutambahkan nikmat bagimu, dan jika kamu kufur (melupakan budi, tidak berterima kasih), sesungguhnya azab-Ku itu pedih.”
Dan Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya seorang hamba akan kehilangan (tidak dapat) rezekinya karena dia mengerjakan dosa.” *
Sumber: FATAWA USTADZ UMAR HUBEIS; PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah (2013)
One thought on “Syukur Nikmat”