Oleh: Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-1975)
(Murid Syekh Ahmad Surkati dan Rektor Universitas Al-Irsyad, Solo, 1962)
Jiwa shalat adalah ikhlas dan khusyuk. Mendirikan shalat adalah mewujudkan jiwa shalat dan hakikatnya dalam gerakan lahir. Maka, wajib bagi kita mewujudkan khusyuk yang menjadi jiwa shalat, sebagaimana kita wajib melaksanakan bentuk gerakan shalat dengan sebaik-baiknya.
Kedudukan khusyuk dan ikhlas dalam shalat adalah seperti kedudukan ruh (jiwa) dalam suatu tubuh. Kita perlu mengatakan pengertian khusyuk, ikhlas, takut dan hadir hati yang menjadi ruh shalat dan menjadi sebab pokok diterimanya shalat seseorang.
Ulama berbeda pendapat dalam mengartikan kata khusyuk. Sebagian ulama mengatakan, “Khusyuk ialah memejamkan mata (penglihatan) dan merendahkan suara.” Ali ibn Abi Thalib ra. Mengatakan, “Khusyuk ialah tidak berpaling ke kanan dan ke kiri dalam shalat.”
Amru ibn Dinar mengatakan “Khusyuk ialah tenang dan berperilaku bagus.” Ibn Sirin mengatakan, “Khusyuk ialah tidak mengalihkan pandangan dari tempat sujud.” Ibnu Jubair mengatakan, “Khusyuk ialah tetap memusatkan perhatian kepada shalat hingga tidak mengetahui orang yang berada disebelah kanan dan kiri.”
‘Atha’ mengatakan, “Khusyuk ialah tidak mempermainkan tangan, tidak memegang-memegang anggota badan dalam shalat.” Dengan mengumpulkan makna-makna tersebut, maka pengertian khusyuk adalah amalan badan seperti tenang, amalan hati sama dengan takut.
Menurut pentahqiqan, “Khusyuk’ adalah amalan hati, keadaan (kelakuan) yang mempengaruhi jiwa, tampak pada anggota tubuh seperti tenang dan menundukkan diri.” Nabi saw. bersabda : “Seandainya hati orang ini khusyuk, tentu khusyuk juga semua anggota tubuhnya.” (HR. AL-Hakim, At-Turmudzi dari Abu Hurairah, Al-Jami’ush Shaghir 2: 108)
Tegasnya, khusyuk adalah, “Tunduk dan tawadhu’ serta hati tenang dan semua anggota tubuh karena Allah swt.”
Sedangkan tentang “ikhlas”, telah dijelaskan oleh Abdul Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi dalam Risalahnya, “Ikhlas adalah menentukan taat (ibadah) untuk Tuhan yang haq saja.” (Membulatkan tujuan dalam beribadah kepada-Nya saja)
Maksud Ikhlas adalah mengerjakan ibadah semata-mata karena hendak mendekatkan diri kepada Allah semesta alam; bukan karena melahirkan taat di hadapan umum; bukan karena mengharap pula puja dan sanjung, sayang dan perhatian masyarakat. Ikhlas adalah membersihkan amal dalam beribadah dari perhatian umum.
Ali Ad-Daqqaq berkata, “Ikhlas ialah memelihara ibadah dari perhatian manusia. Benar adalah bersih hati dari mengikuti hawa nafsu.”
Orang mukhlis ialah orang yang tidak riya’ dalam mengerjakan ibadah. Dengan perkataan lain dapat dikatakan, ikhlas ialah memelihara ibadah dari perhatian manusia. Benar adalah bersih hati dari mengikuti hawa nafsu.
Sedangkan pengertian ”takut” kepada Allah dalam shalat adalah mengaku sungguh-sungguh terhadap kekuasaan, kekuatan dan iradah Allah.
“Hadir hati” dalam shalat ialah memusatkan seluruh pikiran kepada shalat yang dikerjakan, tidak berpaling kepada yang selainnya.
***
Mewujudkan “khusyuk” dalam shalat adalah wajib. Sebab, khusyuk itu syarat sah shalat, bukan hal yang disunahkan seperti dikatakan sebagian orang.
Al-Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin berkata, “Disyaratkan sah shalat dengan khusyuk dan kehadiran hati.”
Dalil yang menunjuk pada yang demikian itu banyak.
Firman Allah,
وَأَقِمُ الصَّلَاةُ لِذِكْرِي
“Dirikanlah olehmu akan shalat untuk mengingat Aku.” (QS Thaha -20: 14)
Zahir perintah Allah ini mewajibkan khusyuk, karena lalai berlawanan dengan teringat. Orang yang lalai di sepanjang shalatnya, tentulah tidak dapat dipandang bahwa ia mendirikan shalat untuk mengingat Allah swt.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَكُن مِّنَ اْلغَافِلِيْنَ
“Dan janganlah engkau menjadi salah seorang dari orang-orang yang lalai.” (QS Al–A’raf –7: 205(
Firman ini mencegah kita lalai di dalam shalat. Zhahir mencegah tersebut sangat jelas dan berimplikasi haram.
Allah Ta’ala berfirman,
حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Sehingga kamu mengetahui akan apa yang kamu ucapkan.” (QS An-Nisa’ 4: 43)
Firman Allah ini menerangkan, bahwasanya orang yang sedang mabuk dilarang bershalat, karena mereka tidak mengetahui apa yang mereka ucapkan. Tidak mengetahui apa yang diucapkan, terdapat juga pada orang yang lalai, yang ingatannya (hatinya) penuh dengan berbagai persoalan kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.
Abu Darda menerangkan bahwasanya Nabi saw. bersabda,
أَوَّلُ شَيءٍ يُرْفَعُ مِنْ هَذِهِ اْلأ ُمَّتِ اْلخُشُوْعُ حَتَّى لَايُرَى فِيْهَا خَاشِعٌ
“Yang pertama sekali diangkat dari umat ini adalah khusyuk hingga engkau tidak melihat lagi seseorang yang khusyuk.” (HR Ath-Thabrani)
Nabi saw. bersabda,
إِنَّمَا الصَّلَاةُ تَمَسكُنٌ وَتَوَاضُعٌ
“Sesungguhnya shalat adalah menenangkan hati dan merendahkan diri.” (Syarah Ihya’ 2: 312)
Hadis ini menegaskan kepada kita bahwa shalat ialah yang dilakukan dengan rasa butuh (berhajat) kepada Allah, tawadhu’, tadharru’, ta’awwun dan tanazhum.
كَمْ مِنْ قَــائِمٍ حَضُّهُ مِنْ صَلَاتِهِ التَّعَبُ وَالنَّصَبُ.
“Berapa banyak orang yang shalat malam, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya hanyalah rasa payah dan letih.” (HR Ibnu Majah, dari Abu Hurairah ra., Syarah Ihya’ 3: 112)
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ مِنَاللهِ إِلَّابُعدًا.
“Barangsiapa yang shalatnya tidak mampu mencegah dari perbuatan fahsya’ dan mungkar, maka tiadalah bertambah baginya selain jauh dari Allah.” (HR Ali Ibn Ma’bad dari Al-Hasan, Syarah Ihya’, 2: 112)
Shalat orang yang lalai dan jauh dari khusyuk, tidak dapat mencegahnya dari fahsya’ dan mungkar.
Sesungguhnya orang-orang yang shalat itu adalah “orang yang sedang bermunajat dengan Tuhannya”. Maka, apabila kita berbicara dengan Tuhan, sedang hati dan ingatan menerawang kemana-mana, tidaklah sekali-kali dinamai bermunajat.
Ulama salaf menetapkan tentang hal tersebut. Ats-Tsauri mengatakan, “Barangsiapa tiada khusyuk dalam shalatnya, maka rusaklah shalatnya.” (Syarah Ihya’, 2: 115)
Hasan Bishri mengatakan, “Tiap-tiap shalat yang tak hadir hati di dalamnya, maka dia (orang yang shalat itu) akan lebih cepat memperoleh siksa.” (Syarah Ihya’, jilid 2: 115)
Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Telah ber-ijma’ para ulama; bahwa seorang hamba tidak memperoleh dari shalatnya, melainkan sekedar yang ia pahami.” (Syarah Ihya’ 2: 115).
Setiap orang hendaknya berupaya menghasilkan khusyuk dan kehadiran hati dalam shalat. Apabila kita tidak dapat menghasilkan kusyuk seluruhnya, maka hendaklah kita berupaya khusyuk walaupun sedikit.
Penetapan Al-Imam Al-Ghazali inilah yang dipandang kuat dan benar oleh Abdul Aziz Al-Khuli. Beliau berkata, ”Masalah wajib khusyuk dalam shalat tidak patut diperselisihkan. Tidak patut ada yang mengatakan khusyuk itu tidak wajib, karena shalat yang tidak khusyuk tidak ada nilainya. Allah mengaitkan kemenangan para mushalli kepada khusyuk. Karena itulah, wajib kita insyafi. (Ta’liq Subulus Salam: 200)*
* Diambil dari buku PEDOMAN SHALAT, karya Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy; Pustaka Rizki Putra (2011)
BACA JUGA:
Hukum Menegakkan Shalat Berjamaah – Hasbi Ash-Shiddieqy
Cara Turunnya Al-Qur’an dari Lauh Al-Mahfudh ke Dunia – Hasbi Ash-Shiddieqy
Pengampunan dan Tobat- Umar Hubeis