Oleh: Teungku Muhammad Hasbi Ash-Ahiddieqy (1904-1975)
(Murid Syekh Ahmad Surkati dan Rektor Universitas Al-Irsyad, Solo, 1960-an)
Saat awal Nabi saw. mengerjakan shalat berjamaah secara terang-terangan dan terus menerus, yaitu ketika di Madinah. Pada saat di Makkah, Nabi saw. tidak mengerjakan shalat dengan berjamaah di masjid, karena para sahabat Nabi kala itu dalam keadaan lemah. Nabi saw. melaksanakan shalat berjamaah di rumahnya, kadang bersama sayidina Ali ra, terkadang bersama sayyidatina Khadijah ra. Kalaupun Nabi saw. shalat berjamaah bersama para sahabat di luar rumah, itupun dilakukan Nabi di tempat-tempat sunyi. Para Sahabat Nabi saw. pun demikian pula halnya, yakni berjamaah di rumah atau di tempat-tempat yang tersembunyi.
Sesudah Nabi saw. hijrah ke Madinah, Nabi mengerjakan shalat berjamaah secara besar-besaran dan terang-terangan.
Para ulama telah sepakat bahwa ”menegakkan jamaah shalat di masjid-masjid itu adalah setinggi-tingginya taat, seteguh-teguhnya ibadah, dan sebesar-besarnya syiar agama Islam”
Agama Islam menuntut dengan keras supaya kita berjamaah di masjid tiap-tiap shalat, pada setiap pekan di hari Jumat, supaya terjadi perkenalan antara penduduk sekampung sehingga menjadi lebih luas dan hubungan antara seseorang dengan yang lain menjadi erat. Tegasnya, kita wajib mengadakan dan menegakkan jamaah pada suatu tempat di tiap-tiap kampung yang dapat melahirkan syiar agama.
Mengapa kita wajib berjamaah di masjid, dan mengapakah sangat besar maksiat orang yang tidak menegakkan jamaah di masjid?
Apakah berjamaah pada shalat fardhu di masjid suatu fardhu ain? Jika ini fardhu, apakah syarat sahnya shalat apa bukan, atau hanya durhaka saja bagi orang yang tidak mengerjakannya?
Apakah ia suatu fardhu kifayah? Apakah ia suatu sunnah?
Untuk menghasilkan jawaban-jawaban di atas, maka perhatikanlah dengan seksama uraian ini.
Para Fuqaha berselisih paham tentang hukum berjamaah di masjid untuk shalat fardhu:
‘Atha’, Al-Hasan al-Basri, Al-Auza’iy, Asy-Syafii, Abu Tsaur dan Ahmad, menetapkan bahwa ”berjamaah di masjid pada shalat fardhu adalah fardhu ‘ain, tetapi bukan syarat sahnya shalat”
Atha’ ibn Abi Rabah mengatakan,
لَيْسَ لِأَ حَدٍ مِنْ خَلْقِ اللهِ فِى الْحَضَرِ وَالْقَرْيَةِ رُخْصَةٌ إِذَسَمِعَ النِّدَاءَ فِىمِعَ النِّدَاءَ فِى أَنْ يَدَعَ الصَّلَاةَ جَمَاعَةً
“Tidak ada seorang mahluk Allah di kota dan di dusun mendapat izin untuk meninggalkan jamaah, apabila dia mendengar seruannya (suara azan).”
Al-Auza’i mengatakan,
لَاطَاعَةً لِلْوَالِدِ فِى تَرْكِ الْجَمَاعَةِ, يَسْمَعُ النِّدَاءَ أَوَلَمْ يَسْمَعُ
“Tidak ada taat (atas anak) bagi ayah pada meningggalkan jamaah dan Jum’at baik dia mendengar azan atau tidak.”
Asy-Syafi’i mengatakan dalam Muhtashar Al Muzani: “Dan adapun jamaah, maka saya tidak maafkan seseorang meninggalkannya, terkecuali karena uzur.”
Dalam Al-Umm Asy-Syafei berkata, “Tuhan telah menerangkan perihal azan pada shalat dengan firman-Nya,
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوْهَا هُزُوًا وَلَعِبًا
“Dan apabila kamu seru kepada shalat, maka mereka kaum musyrikin, menjadikannya olok-olok dan permainan saja.” (Al-Ma-‘idah -5: 58)
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Apabila diseru shalat di hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (Al–Jumu’ah –62: 9)
Dengan ayat ini Tuhan mewajibkan kita datang ke sidang Jum’at. Rasulullah saw. pun telah mensyariatkan adzan untuk shalat-salat fardhu. Maka hal ini, mengesankan bahwa tiada halal (tidak boleh) mengerjakan shalat fardhu melainkan dalam berjamaah. Karena itu, hendaklah segala orang, baik mukim maupun musafir, memberati jamaah. Dan tidak dibolehkan seorang yang sanggup, tidak menghadiri jamaah, terkecuali karena uzur. Akan tetapi, jika ia shalat sendirian, maka tidaklah juga diwajibkan mengulangi shalatnya itu.
Ibnu Munzir dalam Al–Ausath telah menjelaskan dalil-dalil golongan itu, ujarnya: “Nabi saw. menyuruh orang buta yang jauh rumahnya dari masjid supaya menghadiri jamaah, menunjukkan kepada fardhunya berjamaah.”
Nabi saw. Berkata kepada Ibnu Ummi Maktum yang buta,
لَاأَجِدُلَكَ رُخْصْةً
“Saya tidak melihat ada izin bagi engkau untuk meninggalkan jamaah.” (HR Ahmad dari Ibn Maktum)
Apabila orang yang buta tiada memperoleh keizinan meninggalkan jamaah, tentulah orang yang sempurna penglihatannya, lebih-lebih tidak memperoleh izin itu.
Nabi saw. pernah berniat membakar rumah bersama penghuninya yang tidak mau menghadiri jamaah. Ini menjadi dalil yang sangat terang kepada kita yang menunjukkan kepada wajib (fardhu) menghadiri jamaah itu. Karena tidak patut (tidak mungkin) Rasulullah saw. mengancam keras orang yang tidak mengerjakan suatu sunnah (yang tidak fardhu ‘ain).
Ibnul Qayyim dalam kitab Ash-Shalah mengatakan, “Dan tidak mungkin Nabi saw. ingin membakar rumah orang yang melakukan dosa kecil. Jadi, meninggalkan shalat berjamaah di mesjid itu adalah suatu dosa besar.”
Sebenarnya, wajib bagi umat Islam supaya memerangi kampung Islam yang tidak menegakkan shalat jamaah, atau mematikan syiar Islam yang penting ini.
Di antara dalil yang menguatkan kefardhuan jamaah ialah penegasan Abu Hurairah ra. terhadap orang yang keluar dari masjid sesudah azan. Ia berkata,
أَمَّا خَذا فَقَدْ عَصاى أَبَاالُقَاسِمِ
“Adapun si ini, maka sungguh ia telah mendurhakai Abul Qasim (Rasulullah saw.).”
Sekiranya boleh memilih antara meninggalkan jamaah dan mengerjakannya, tentu tidak durhaka orang yang meninggalkan pekerjaan yang tidak wajib ia kerjakan.
Dan Allah SWT menyuruh kita berjamaah dalam kadaan khauf, menunjukkan bahwa berjamaah dalam keadaan aman lebih wajib lagi.
Hadist-hadist yang menyatakan kebolehan tidak menghadiri jamaah bagi orang yang ada keuzuran, menunjukkan kepada kita boleh sekali-kali yang demikian bagi orang yang tidak uzur. Kalau uzur dengan tidak uzur disamakan, tentulah tak ada arti dibolehkan ketiadaan menghadiri jamaah bagi orang yang ada uzur.
Dan dikuatkan pula kefardhuan menghadiri jamaah oleh Nabi saw.:
مَنْ سَمِعَ النِّدَءَ فَلَمْ يُجِبُ فَلَاصَلَاةَ لَهُ
“Barang siapa mendengar seruan (azan) dan tidak ia memenuhinya, maka tak ada shalat baginya.” (HR Ibnu Mundzier dari Ibn Abbas, Kitab Ash–Salah Ibnul Qayyim: 92)
Daud bin Ali berkata, “Berjamaah shalat fardhu adalah di masjid sebagai fardhu dan syarat sah shalat.”
Kebanyakan pengikut Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’I mengatakan, “Sesungguhnya berjamaah pada shalat fardhu di masjid adalah fardhu kifayah.” Abu Hanifah dan Malik berpendapat, bahwa, “Berjamaah adalah sunnat.”
Masing-masing golongan fuqaha tersebut punya hujjah. Namun hujjah itu dapat dibantah.
Ibnu Abbas ra. berkata, “Barang siapa mendengar seruan (azan), kemudian ia tiada memenuhi seruan itu dengan tak ada uzur, maka tak adalah shalat baginya.” (HR Ahmad, Ibnu Hazm dalam Al–Muhalla 4; 197, dan Ibnu Qayyim dalam Ash–Shalah)
Seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas ra, “Ada seorang manusia berpuasa di siang hari, bershalat di malamnya, tetapi tidak menghadiri Jum’at dan jamaah, maka bagaimanakah keadaan orang itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Ia di dalam neraka.” Sebulan berselang orang yang bertanya itu, mengulangi pertanyaannya. Menjawab Ibnu Abbas, “Orang yang tidak menghadiri Jum’ah, dalam neraka.” (HR Ahmad)
Abu Musa Al-Asy’ary ra. mengatakan, “Barang siapa mendengar seruan azan, maka ia tiada menjawab (memenuhi seruannya) dengan tak ada uzur, tak adalah shalat baginya.” (HR Ahmad, Ibnu Hazm dalam Al–Muhalla 4:197)
Al-Hasan ibn Ali ra. berkata, “Barang siapa mendengar seruang azan, lalu ia tidak mendatanginya, tiadalah shalatnya melampaui kepalanya, terkecuali karena uzur.” (HR. Abdur Razaq, Ibnu Qayyim Ash-Shalah: 94)
Abu Hurairah berkata, “Kedua telinga anak Adam dipenuhi timah yang dicairkan, lebih baik baginya daripada mendengar seruan azan kemudian ia tiada memenuhinya.” (HR Ahmad dan Ibnu Mundzir, dalam Al–Muhalla: 195)
Ibnu Mas’ud ra. mengatakan,
“Barang siapa ingin menjumpai Allah esok di hari kiamat sebagai seorang Muslim, hendaklah ia memelihara segala shalat di setiap diserukan keadanya, karena menegakkan shalat jamaah itu ‘sunnanul had-yi’. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan bagi Nabimu beberapa sunnanul had-yi, sekiranya kamu bershalat di rumahmu, seperti orang yang shalat di rumahnya ini, tentulah kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu. Jika kamu meninggalkan sunnah Nabimu tentulah kamu…sesat! Tiadalah seorang lelaki yang membaguskan wudhunya kemudian menuju ke suatu masjid dari masjid-masjid ini, melainkan Allah menuliskan baginya dengan tiap-tiap langkah yang ia langkahkan, sesuatu kebajikan, dan Allah mengangkatnya sesuatu derajat, dan Allah menghilangkan dengannya suatu kesalahan. Sungguh Kami telah melihat jamaah kamu semua hadir, tak ada yang tak datang buat menghadirinya, melainkan munafik yang sudah terang kemunafikannya. Dan pernah seorang lelaki diseret ke jama’ah dan terhuyung-huyung antara dua orang sehingga ditegakkan ke dalam shaf.” (H.R. Muslim, Ash-Shalah, Ibnu Qayyim: 98)[1]
Kalau kita lihat masalah ini dalam mazhab Hanafi dan Maliki, maka ulama-ulama mazhab itu menetapkan bahwa meninggalkan jamaah berdosa, walaupun mereka menamainya sunnah muakkadah, sebagaimana shalat jenazah dalam mazhab-mazhab itu dinamakan sunnah. Dan sunnah dalam mazhab-mazhab itu tidak sama artinya dengan sunnah muakkadah dalam mazhab Syafi’i. Di dalam mazhab-mazhab itu, orang yang meninggalkan sunnah dicela.
Dengan demikian, hendaklah para pemimpin ibadat, berusaha benar-benar menarik ummat Nabi kepada mencintai jamaah dan cinta mengerjakan sunnah-sunnah yang di masa ini telah diabaikan. Sebenarnya kebolehan menjama’ahkan shalat dalam hadhar karena hujan, memberi kesan yang kuat bahwa memelihara jamaah, sangatlah dipentingkan.
Disalin dari buku: PEDOMAN SHALAT; Prof. Dr. Hasbi Ash Shiddieqy; Penerbit Bulan Bintang, 1993.
[1] Semua atsar ini dinukilkan dari kitab Ash–Shalah susunan Al-Imam Ibnu Qayyim.
2 thoughts on “Hukum Menegakkan Shalat Berjamaah”