Hadits-Hadits Nisfu Sya’ban menurut Abduh dan Rasyid Ridha

Hadits-hadits tentang Malam Nishfu Sya’ban menurut Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha

Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh

Al-Imam Muhammad Abduh berkata, “Apa yang dikatakan kebanyakan orang bahwa yang dimaksud dengan Lailah Mubarakah adalah malam Nishfu Sya’ban, di mana pada malam itu dibagi-bagikan rezeki dan umur, adalah merupakan suatu kelancangan mulut tentang urusan yang ghaib. Tanpa alasan yang tegas dan tandas. Dan kita tidak boleh meng-i’tikadkan sesuatu (yang ghaib) tanpa ada keterangan yang mutawatir dari Rasulullah saw. yang maksum.  Sebab, apa yang seperti tersebut di atas (tentang pembagian rezeki dan umur serta lainnya) tidaklah benar, karena hadits-hadits yang berkenaan dengan itu sangat kacau dan lemah para rawinya dan banyak kebohongannya. Karenanya tidak boleh dipergunakan untuk urusan aqidah dan keimanan.”

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam Majalah Al-Manaar, jilid VI, halaman 96 menulis, “Doa Sya’ban yang terkenal itu, tidak diizinkan Allah.”

Beliau menjelaskan pula di Majalah Al-Manar, jilid XIV, halaman 250-256, “Diriwayatkan dalam kitab-kitab Al-Maudlu’at wal Wahiyat Wadli’af, bahwa hadits-hadits yang tidak dapat digunakan sebagai hujjah untuk melakukan ibadah banyak sekali, di antaranya:  shalat malam Raghaib di bulan Rajab dan shalat malam Nisfu Sya’ban. Akan tetapi, syiar Islam yang tak berdasar dan terkenal  ini, yak tidak disebut dalam hadits, telah lama diamalkan umat. Maka, sebagian kalangan ahli fikih dan tasawuf banyak yang tertipu dengan shalat Rajab dan Sya’ban ini, seperti Abi Thalib al-Makky dan Abi Hamid al-Ghazali (Imam Ghazali) yang memiliki kedudukan tinggi. Itu disebabkan oleh kelemahan mereka di dalam ilmu hadits. Para ahli hadits dan fuqaha juga telah menjelaskan kekhilafan dan kekeliruan kedua tokoh ini seperti Imam Nawawi yang merupakan sokoguru pengikut Syafi’i.

Syekh M. Rasyid Ridha
Syekh M. Rasyid Ridha

Dan Imam al-Hafizh Al-Iraqi (Zain al-Din ‘Abd al-Rahim al-‘Iraqi), yang telah mentarjih hadits-hadits dalam kitab Ihya’ Ulumuddin-nya Imam al-Ghazali menerangkan dalam kitabnya Al-Fawaid al-Madjmu’ah: ‘Ada sementara ahli fiqih dan tafsir yang terperdaya dengan keterangan Al-Ghazali bahwa telah diriwayatkan bermacam hadits tentang ini (shalat Nishfu Sya’ban), sebab semua itu adalah batil dan palsu.’ Al-Iraqi menyimpulkan bahwa syiar-syiar yang dilakukan pada malam Nishfu Sya’ban tidak punya dasar yang benar dalam Kitab Allah ataupun Assunnah.

Sayyid Murtadla az-Zabidi, seorang pensyarah Ihya Ulumuddin, telah berkata: ‘Para ahli hadits telah merenungkan dalam kitab Al-Maudlu’at bahwa semua khabar tentang shalat Sya’ban dan mendirikannya adalah termasuk sesuatu yang orang tidak patut mengamalkannya walaupun dengan niat yang baik-baik.’

Adapun riwayat-riwayat yang diterangkan oleh Ibnu Aqil (Usman bin Aqil bin Yahya) tidaklah benar dan tidak sah. Dan itu merupakan kebodohannya dalam soal hadits. Lagipula, ia tidak menukil dari kitab ulama-ulama terpandang, dan tidak menunjukkan kemasjru’annja.

Ibadat-ibadat pada malam itu (Nishfu Sja’ban) dan malam Raghaib telah terjadi sejak waktu lama dan diterima oleh banyak ahli tasawuf, tetapi disangkal oleh para ahli hadits dan ahli fiqih dikarenakan tidak kuat dasarna. Sedangkan Allah Ta’ala telah melengkapkan urusan agama dan barangsiapa berani melebihi/menambahnya, berarti sama dengan orang yang menguranginya, dan perbuatan kedua-duanya itu adalah bid‘ah.”

Dalam Al-Manar, jilid 24, halaman 424, Rasyid Ridha juga menjelaskan, “Para pemalsu hadits telah banjak membuat hadits yang menerangkan tentang keistimewaan malam Nishfu Sja’ban, dan keutamaan beribadah pada malan harinya dan berpuasa pada siang harinja. Perbuatan itu memberi jalan bagi raja-raja dan penguasa-penguasa ahli bid’ah untuk mengadakan upacara keagamaan, dengan menjadikan musim Mauludan, Mi’radj, dan lainnja.” Dan selanjutnja beliau menerangkan, ”Telah kami terangkan dalam Al-Manar jilid III tentang bid’ahnja malam itu, dan kemunkarannja yang berjumlah 16 bid’ah, di antaranya do’a jang terkenal itu.”

Beliau berkata pula, “Kemudian kami ditanya: Adakah diriwayatkan tentang Nishfu Sja’ban dengan hadits-hadits yang benar yang dapat dijadlikan pegangan untuk mengamalkannya? Maka kami jawab dalam jilid VI dengan jawaban yang ringkas yang tidak lebih dari dua halaman. Di antaranya kami terangkan, bahwa sebaik-baik hadits yang menerangkan tentang ini ialah hadits Ibnu Madjah yang katanya bersumber dari Ali bin Abi Thalib ra. yang maknanya: ‘Jika telah sampai malam pertengahan bulan sya’ban (nisfu Sya’ban), shalatlah kalian pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena Allah turun pada saat matahari terbenam ke langit dunia, Dia berkata: Ketahuilah siapa yang meminta ampun kepada-Ku akan Aku ampuni, ketahuilah siapa yang meminta rezeki kepada-Ku akan Aku berikan rezeki, ketahuilah siapa yang terkena musibah akan Aku hilangkan (musibahnya), ketahuilah dan seterusnya (turunnya Allah) sampai terbit fajar.’

Namun demikian, seperti dijelaskan oleh ahli hadits Abdurrazaq dalam sebuah karangannya, para ahli hadits berkata bahwa hadits tersebut lemah. Namun menurut kami, sebenarnya hadits tersebut adalah maudlu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat perawi Abu Bakar Abdullah bin Muhammad yang terkenal dengan nama lbnu Abi Busra yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Mu’in bahwa dia pemalsu hadits.”

*

Dikutip dari buku karya Al-Ustadz Said Thalib Alhamdani berjudul: “Sorotan terhadap Kisah Maulid, Nisfu Sya’ban dan Manakib Syeikh Abdul Kadir Jailani”. Di masa hidupnya Ustadz Said Thalib adalah ahli fikih terkenal yang menjadi pengajar di beberapa perguruan tinggi Islam dan produktif menulis.  

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *