Diin dan Dun-ya

surkati1Oleh: Syekh Al-Allamah Ahmad Surkati Al-Anshari (1875-1943)

Ulama besar, ahli hadits, dan Pembaharu Islam di Indonesia. Guru dari para ulama modernis dan banyak pejuang kemerdekaan negeri ini.

Tulisan ini merupakan jawaban Syekh Ahmad Surkati atas pertanyaan yang diajukan Perhimpunan Muhammadiyah pada bulan Rabiul Awwal 1357 H (Maret 1938).

Perkataan DIIN dan DUN-YA dalam bahasa Arab mengandung beberapa arti dan pengertian. Dari berbagai pengertian itu bisa diartikan secara umum dan bisa pula secara khusus. Arti yang sesungguhnya, dapat dimengerti dari susunan kalimatnya, seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadits.

Kata DIIN itu berasal dari kata DAANA, YADIINU, yang mengandung arti KHADHO’A (tunduk). Pun perkataan DIIN itu adakalalanya berarti: PEMBALASAN, seperti dalam firman Allah:

مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Maliki Yaumid-DIIN

Yang menguasai di Hari Pembalasan.” (al-Fatihah: 3), yakni HARI PEMBALASAN, atau hari saat semua orang harus tunduk secara mutlak.

Begitu pula artinya dalam firman Allah:

وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ

Walladzii athma’u an yaghfira  lii khathii-atii YaumidDIIN

Dan yang saya harapkan akan mengampuni dosa saya pada HARI PEMBALASAN.” (QS. asy-Syuaraa: 82)

 وَإِنَّ الدِّينَ لَوَاقِعٌ

Wa innad DIINA lawaaqi

“Tak dapat tidak, PEMBALASAN itu akan terjadi.”  (adz-Dzaariyaat: 6)

 Kadang-kadang perkataan DIIN itu diartikan pula IBAADAH, yakni mendekatkan diri kepada Allah menurut cara yang diperintahkan Allah. Yang paling penting di antaranya ialah AQAAID dan IBAADAH, seperti dalam firman Allah:

 وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء

Wamaa umiruu illaa liya’budullaaha mukhlishiina lahud-DIINA khunafaa-a

“Dan mereka tiada diperintah kecuali untuk menyembah Allah dengan mensucikan IBADAH itu bagi-Nya dengan cara yang lurus.” (al-Bayyinah: 5)

Firman Allah pula:

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

Alaa lillaahid-DIINUL khaalish

Sesungguhnya buat Allah-lah IBADAH yang suci.” (az-Zumar: 3)

Firman Allah pula:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ واتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا

Wa man ahsanu DIINAN mimman aslama wajhahu lillaahi wa huwa mukhsinun wattaba’a millata Ibraahiima haniifan.

Tiada yang lebih baik AGAMANYA daripada orang yang menyerukan diri kepada Allah dengan sebaik-baiknya menuruti dengan lurus agama yang diturunkan kepada Ibrahim.” (an-Nisaa’: 125)

Firman Allah pula:

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي شَكٍّ مِّن دِينِي فَلاَ أَعْبُدُ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ

Qul yaa ayyuhan naasu in kuntum fii syakkin min DIINII falaa a’budulladziina ta’buduuna min duunillaah.

Katakanlah, hai manusia! Jika kamu masih ragu-ragu tentang AGAMAKU, maka aku tidak menyembah apapun yang kamu sembah selain Allah.” (Yunus: 104)

Adakalanya perkataan DIIN itu berarti QAANUN SAMAWI (Undang-Undang Ilaahi) yang harus dipatuhi setiap orang serta tunduk tanpa reserve dan berserah diri kepada-Nya dengan setulusnya, karena keyakinan yang teguh bahwa Allah tentulah lebih mengerti dan lebih bijaksana, dan bahwa apa yang Ia pilih buat manusia jauh lebih baik daripada pilihan manusia untuk diri mereka sendiri, jika sesungguhnya mereka beriman.

Dengan begitu, maka hal itu membawa mereka kepada kebahagiaan dunia akhirat, sebagaimana firman Allah:

وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا

Wa radhiitu lakumul Islaama DIINAA.

Dan Aku rela Islam sebagai agama untukmu.” (al-Maa-‘idah: 3)

Kami jelaskan lebih luas lagi sebagai berikut.

Adapun yang menjadi batasnya adalah perintah-perintah dan larangan-larangan berikut bagian-bagiannya. Batas itu meliputi jumlah, cara, dan waktunya, seperti shalat, puasa, haji dan beberapa aturan hukum lainnya. Dapat juga dibatasi caranya saja dan tidak jumlahnya, seperti “nawafil” (hadiah, pemberian) dan sedekah, yaitu ditentukan tidak boleh mengandung “riya” (untuk memperoleh pujian orang lain), membanggakan diri, dan sifat menyusahkan.

Ada juga yang tidak dibatasi jumlah dan caranya, selama masih termasuk dalam lingkungan aturan yang umum, seperti doa, menuntut ilmu yang bermanfaat, berbuat kebaikan, mencari rezeki yang halal, mengejar puncak kepandaian, dan juga hukum-hukum beberapa aturan “jinayah” (kejahatan/criminal/pidana),  “muamalah” (tindakan atau perbuatan atau kegiatan yang bersangkutan dengan masalah kebendaan, perdata), serta kepentingan yang “mursalah” (persoalan-persoalan yang tidak diatur dalam nash) yang boleh digunakan menurut waktu dan keadaan yang tepat.

Hal itu amat tergantung kepada orang-orang yang memegang tampuk pemerintahan, yang wajib memperhatikan kepentingan yang jelas bermanfaat untuk umat dan bangsa, serta yang mungkin akan menuntun umat itu ke arah kemenangan dalam perjuangan hidup ini.

Inilah sebabnya mengapa para imam telah mewajibkan para qaadhi dan mufti senantiasa harus menjadi MUJTAHID (pelaksana atau yang melakukan ijtihad), yaitu orang yang melakukan kegiatan dan penelitian untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum tentang berbagai masalah dari sumber-sumbernya yang pokok (Al-Qur’an dan Hadits), agar mereka selalu mampu menyesuaikan hukum-hukum yang menyangkut soal-soal kemasyarakatan yang tidak terbatas menurut kepentingan umat Islam yang menjadi tanggung jawabnya serta menjadi tanggung jawabnya pula kemenangan dan kesejahteraan umat itu dari umat lainnya.

Telah dijelaskan di atas arti perkataan “DIIN” dan “DUNIA” menurut anggapan syar’i secara umum dan khusus, dari berbagai segi dan pengertian. Tidaklah keliru kiranya apabila kita nyatakan bahwa seluruh perintah “DIIN” (AGAMA) juga termasuk urusan “DUNIA” secara umum apabila diteliti arti yang sesungguhnya, sehingga bagi  yang melaksanakannya akan memperoleh pahala di DUNIA sebelum akhirat, seperti misalnya sehat jasmani, kesejahteraan hidup, kemuliaan dan lain-lain.

Janji yang Allah berikan kepada orang-orang yang bertakwa, bahwa bagi yang menuruti perintah-perintah Allah kelak di akhirat akan diberi kesenangan dan diampuni dosa-dosa mereka, adalah semata-mata karena rahmat Allah subhanahu wata’ala.

Sebaliknya, pun semua urusan DUNIA termasuk di dalam urusan DIIN, apabila mau kita teliti bahwa DIIN itulah yang menjelaskan dan menetapkan batas-batas yang baik dan yang buruk. Karena pemerintah negeri ini bukanlah pemerintah Islam, sehingga hukum-hukum agama, perintah-perintah dan larangan-larangan-nya tidak dianjurkan dan dilaksanakan, serta tidak pula ditentukan batas seseorang di dalam soal-soal kemasyarakatan, maka wajiblah bagi kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada azas yang pertama, yaitu meniti perjalanan yang dapat menuntun mereka kepada kebahagiaan dan kemuliaan di dalam perjuangan hidup serta memberi kekuatan dan keteguhan kepada mereka.

Hal ini tidaklah sulit untuk dipahami setiap orang, kecuali apabila mereka dihinggapi penyakit “taklid”, melakukan sesuatu menurut apa kata orang tanpa pengertian dan penyelidikan serta alasan yang pasti secara membabi-buta, penyakit  “ta’assub” (kefanatikan) yang buruk, dan penyakit suka mementingkan diri sendiri atau individualisme yang berkelebihan.

Di dalam Al-Qur’an terdapat firman Allah,

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ

Alyauma akmaltu lakum DIINA-kum waatmamtu ‘alaikum ni’matii.

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu.” (QS al-Maa-‘idah: 3)

Firman ini menyangkut segala sesuatu yang dating dari Allah dan Rasul-Nya serta petunjuk-petunjuk yang diridhai-Nya untuk kita sekalian. Termasuk pula di dalamnya segala sesuatu yang telah Allah berikan kepada kita berupa hikmah-hikmah, hukum-hukum, peringatan-peringatan, ibarat-ibarat, kisah dan cerita yang banyak mengandung arti serta tujuan yang luhur, perintah-perintah, larangan-larangan, petunjuk-petunjuk yang bersifat umum dan khusus, keterangan dan penjelasan tentang berbagai masalah yang dibutuhkan manusia di dunia ini dan di akhirat kelak.

Firman Allah,

مَا كَانَ حَدِيْثًا يُّفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Maa kaana hadiistan yuftaraa walaakin tashdiiqal-ladzii baina yadaihi wa tafshiila kulli syai-in wa hudan wa rahmatan li qaumin yu’minuun.

“Kisah-kisah itu bukanlah cerita dusta, melainkan menguatkan apa yang telah diturunkan sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)

Perkataan “KULLI SYAI-IN” (segala sesuatu) di sini adalah NAU’II (kata jenis), sebagaimana tampak jelas dari susunan kalimatnya. Maksud dari perkataan itu adalah: Segala sesuatu yang petunjuk-petunjuknya amat di butuhkan manusia walaupun daya fikir mereka sendiri belum sampai ke situ. Segala sesuatu yang rasional, yang bisa diterima oleh akal fikiran manusia.

Sebagai ilustrasi, ada sebuah kejadian. Pada suatu hari Syekh Ahmad Surkati didatangi beberapa orang mahasiswa. Mereka antara lain mengajukan pertanyaan yang cukup ganjil sebagai berikut:

Katanya Tuhan mampu mengerjakan segala sesuatu. Sekarang Kami ingin bertanya, mampukah Tuhan memasukkan meja tulis ini ke dalam botol itu?”

Dengan tenang Syekh Surkati bertanya balik kepada mereka: “Dalil apakah yang kalian pakai dalam menyatakan bahwa Tuhan mampu mengerjakan segala sesuatu itu?”

“Innallahaana ‘alaa kulli syai-in qadiir”, jawab mereka.

Mengertikah kalian bahasa Arab?” tanya Surkati

Mengerti”, jawab si mahasiswa.

Kulli syai-in itu, bagaimana terjemahannya menurut kalian?” tanya Surkati kembali.

“Segala sesuatu!” jawab si mahasiswa.

Syekh Surkati lalu menerangkan: Salah! Kalian kurang memahami betul bahasa Arab! Kulli syai-in itu terjemahannya yang tepat adalah: “segala sesuatu yang masuk di akal, yang rasional.” Sekarang saya bertanya, masukkah di akal kalian kalau meja tulis yang sebesar ini akan dapat dimasukkan ke dalam botol yang sekecil itu?”

“Tidak!”

Nah”, kata Surkati tandas, “Karena itu tidak akan dikerjakan Tuhan!”

Para mahasiswa itu menyatakan kepuasan mereka, sambil tidak lupa menyatakan bahwa mereka senantiasa menerima dampratan ketika mengajukan pertanyaan demikian kepada ulama lain. Kepada mereka Syekh Surkati menasihati, janganlah suka mengada-ada, karena perbuatan itu bisa menyesatkan. Dengan akal kita sendiri masalah seperti itu sudah bisa kita pecahkan, mengapa pula harus diada-adakan.[1]

Tidak diberikan keterangan tentang apa yang dibutuhkan manusia untuk memperbaiki hajat hidup di dunia dan di akhirat, karena untuk keperluan itulah rasul-rasul diutus.

Sekali-kali bukanlah maksudnya bahwa di dalam Kitab Suci diberikan keterangan selengkapnya tentang berbagai ilmu, seperti ilmu pertukaran, cara membuat perabot dari besi, ilmu kimia dan lain-lain, sebab bukan untuk tujuan dan maksud itu para nabi dan rasul diutus. Ilmu-ilmu itu akan bisa dimengerti setiap orang dengan mempergunakan akal dan pikirannya.

Maka yang dimaksud dengan “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINAKUM” adalah “Kami himpunkan di dalamnya segala petunjuk, segala aturan dan cara yang dapat membawa setiap orang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat bagi mereka yang menggunakannya dan menempatkannya pada tempatnya yang betul.”

Dan itulah makna ISLAM, karena firman Allah: “WARADHIITU LAKUMUL ISLAAMA DIINA” itu maksudnya: “Dan telah Aku relakan bagimu ISLAM ini yang telah Aku sempurnakan dan yang telah Kucukupkan pula nikmat-Ku untukmu sebagai agamamu. Kami relakan ISLAM itu menjadi DIIN (agama) bagimu, yang kamu pegang teguh dan tunduk kepada perintah-perintah dan jauhi segala larangannya.”

Terkadang memang pada anggapan syar’i bahwa perkataan DUNIA itu dimaksudkan sebagai: Segala masalah yang bukan merupakan beban para Rasul yang diutus. Segala masalah itu, baik dan buruknya, dapat dipecahkan sendiri oleh setiap orang dengan mempergunakan akal dan fikirannya serta dengan melaksanakan berbagai eksperimen. Seperti misalnya masalah bercocok-tanam, pertukangan dan sebagainya. Demikian pula masalah-masalah lain yang mubah, yang dapat membentuk keindahan serta tidak sampai melampaui batas dan tidak pula termasuk tabdzir, seperti dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw. dalam sabdanya,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

Kalian lebih mengetahui perihal urusan dunia kalian

Adakalanya pula perkataan “DUNIA” itu menjadi SIFAT bagi sesuatu yang abstrak maupun tidak, seperti dalam firman Allah:

 

بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا

Hanya saja kamu (orang-orang kafir) lebih mengutamakan penghidupan dunia.” (QS. Al-A’laa: 16)

CATATAN:

[1] Ilustrasi ini diberikan oleh sekretaris pribadi Syekh Ahmad Surkati, Abdullah Aqil Bajrei.

One thought on “Diin dan Dun-ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *