Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan adalah ponpes modern yang terletak di Gerumbul Teleng, Kebarongan, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Ponpes ini juga merupakan Ponpes tertua di wilayah Banyumas, didirikan pada 1878 oleh KH Muhammad Habib bin Nur Hamdani.
Sejak didirikan sampai saat ini Ponpes MWI telah mengalami 12 kali pergantian pemimpin. Yang menarik, dari 12 kyai yang pernah memimpin Ponpes ini, tiga orang adalah alumnus Madrasah Al-Irsyad Batavia dan murid langsung dari Syekh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Mereka adalah KH Marghoni, Kyai Sunan Muhdir, dan Kyai Asifudin Zawawi. Kyai Sunan Muhdir ini adalah pengarang buku Sulamul Ma’rifah, buku tentang ilmu sharaf. Selain tiga nama tersebut, ada pula KH Munji Munir, yang tidak lain adalah ayah dari Drs. HM Said Munji, SH, MH, mantan sekretaris jenderal Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah di masa periode akhir Ketua Umum Geys Amar SH.
Informasi ini kami dapatkan dari buku Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa yang ditulis oleh H. Hussein Badjerei, pakar sejarah Al-Irsyad yang beberapa kali menjabat sekretaris jenderal PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Sayang tidak dijelaskan kapan mereka berempat lulus dari Madrasah Al-Irsyad, juga apakah ada lagi keluarga Pesantren Kebarongan ini yang dulu menempuh pendidikan di Madrasah Al-Irsyad selain empat nama tersebut. Bisa jadi ada, dan ini perlu penelitian lebih jauh.
KH Munji Munir adalah ulama yang cukup dikenal di Karisedanan Banyumas di tahun 1960-an sampai 1980-an. Beliau sangat akrab bergaul dengan tokoh-tokoh Al-Irsyad di Purwokerto dan Cilacap, terutama Ahmad Bamu’alim Ba’syir (mantan ketua umum PC Al-Irsyad Al-Islamiyyah Purwokerto) dan Ghozie Ba’syir (mantan ketua PC Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cilacap). Mereka bertiga sudah almarhum.
Said Munji sendiri, saat menjabat Sekjen PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah Said Munji sendiri adalah hakim tinggi di Mahkamah Agung. Kemudian beliau diangkat berturut-turut menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama (Tingkat Banding) di Semarang (Jawa Tengah) dan kemudian di Mataram (NTB). Kemudian menjabat sebagai Ketua PTA Banjarmasin (Kalsel), dan terakhir Ketua PTA Yogyakarta (DIY) sebagai penutup 36 tahun karirnya sebagai hakim agama.
Ponpes ini memiliki tiga jenjang pendidikan, yaitu MI, MTs dan MA Wathoniyah Islamiyah. Ada empat asrama yang menampung ribuan siswa-siswinya, yaitu dua asrama putra (Asrama Umar bin Khottob dan Asrama Abu Bakar As-Sidiq), dan dua asrama putri (Asrama Aisyah dan Asrama Khadidjah).
Di Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah tidak hanya mempelajari mata pelajaran pesantren seperti tauhid, nahwu, shorof, faraid, dan lain-lain, tapi juga mempelajari pelajaran umum, seperti Matematika, IPA, IPS dan lainnya. Para santrinya berasal dari berbagai daerah, bahkan ada yang berasal dari Malaysia dan Singapura. Di Ponpes ini ada diadakan pula beberapa kegiatan ekstrakulikuler seperti BKC, marching band, hadrah, PKS, Keputrian dan lain-lain.
Meski berada di Kabupaten Banyumas yang merupakan basis NU, Kampung Kebarongan termasuk Ponpes Madrasah Wathoniyah Islamiyah dikenal sebagai basis Islam modernis (reformis). Hanya saja tidak jelas apakah pesantren ini dari awal berdirinya sudah berbasis Islam modernis ataukah baru berubah menjadi modernis/reformis setelah kembalinya ustadz-ustadz mereka dari pendidikan di Madrasah Al-Irsyad Batavia.
“Kebarongan memang bukan basis NU. Ini agak berbeda dengan wilayah Banyumas lainnya,” kata Said Munji kepada Pusdok Al-Irsyad Bogor. Untuk pelajaran aqidah-tauhid, kitab pegangan utamanya adalah Fathul Majid, yang ditulis oleh Abdurrahman bin Hassan Al Syaikh, dan merupakan syarah (penjelasan) dari Kitab At-Tauhid al-Ladzi Huwa Haqqullah ‘ala al-‘Abid karya Muhammad bin Abdul Wahhab. Tak heran kalau kemudian Ponpes ini dituduh beraliran wahabi oleh kalangan tradisionalis, sebuah tuduhan yang aneh karena pesantren ini juga mengajarkan kegiatan seni musik seperti marching band dan hadrah yang tentunya sangat ditentang kelompok salafi-wahabi.
Dalam sebuah wawancara yang dimuat di Jurnal Al-Qalam, terbitan Balitbang Depag Makassar (2020), pengasuh Ponpes ini, Dr KH Ahmad Janan Asifudin juga menolak tuduhan ini. “Memang ada beberapa orang dengan paham Wahabi yang pernah mengajar di sini, tapi kemudian mereka keluar karena berseberangan dengan pemahaman di Ponpes MWI,” katanya.
Tauhid yang dikembangkan bagi santri dan alumni Ponpes MWI adalah Tauhidnya Rasulullah saw. “Tauhid yang murni dan tidak dikotori oleh kemusyrikan. Di sisi lain hendaknya tauhid menjadi ruh dan landasan menyeluruh dari segala sisi kehidupan kita,” kata Ahmad Janan Asifudin.
Said Munji juga menjelaskan, Kebarongan itu juga sudah lama dikenal sebagai kampung sarjana. “Rata-rata warganya kuliah, bahkan banyak yang menjadi doktor dan guru besar,” hatanya. Ia menyebutkan beberapa di antaranya, seperti Prof Dr. Susanto Zuhdi, ahli sejarah di Universitas Indonesia. “Kebetulan ia satu angkatan dengan saya,” tambah Said.
Ada pula Prof. Muhajir Markum, ahli linguistik yang juga guru besar di UI; Prof dr Rifki Muslim, mantan Direktur RS PKU Muhammadiyah Roemani, Semarang; Prof Dr Saad Abdul Wahid (paman Said Munji) di Jogjakarta; dan Dr. Inayah Asifudin, yang pernah menjadi dekan Fakultas Ushuludin UIN Jogjakarta.* (MANSYUR ALKATIRI)